Beranda Terkini Sosial Politik di Aceh Berubah Pascatsunami

Sosial Politik di Aceh Berubah Pascatsunami

Kuliah umum via Zoom (Dok. Panitia)
loading...

Alfi Nora |  DETaK

Aceh– Fakultas ilmu sosial dan ilmu politik (FISIP) program studi Ilmu Pemerintahan mengadakan kuliah tamu jarak jauh yang ke-8 secara daring via aplikasi Zoom, Sabtu, 16 Mei 2020. Muhajir Al- Fairusy, anggota Majelis Aceh sekaligus perwakilan dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Meulaboh  hadir sebagai pemateri dalam kuliah yang mengusung tema gampong dan perubahan sosial politik di Indonesia.

Muhajir mengatakan banyak sekali perubahan yang terjadi di bumi Aceh pasca tsunami, terutama kedudukan seorang kepala desa atau di Aceh di kenal dengan istilah geuchik. Pra tsunami seorang Geuchik sangat dihormati dan menjadi pemimpin adat, kemudian budaya gotong royong yang kental sebelum tsunami kini juga telah redup.

“Dulu Geuchik itu sangat dihormati dan menjadi ultimatum, tapi sekarang Geuchik sudah menjadi pemimpin birokrasi. Seiring dengan ada dana desa dan sekarang Geuchik dipilih secara demokrasi, ” ungkap Muhajir. 

Menurut Muhajir beberapa hal yang berubah dalam masyarakat pasca tsunami bisa jadi disebabkan karena hadirnya Non-Governmental Organization (NGO) atau konflik. 

“Konflik telah mengubah tatanan gampong, fungsi meunasah atau surau yang dulunya menjadi tempat membentuk karakter, ruang edukasi, namun sekarang tempat tersebut telah sepi, ” tuturnya. 

Selain Muhajir, Nining, sapaan akrab Siti Sumaryatiningsih dari sekolah pembangunan masyarakat desa APDM Yogyakarta mengatakan keterwakilan perempuan dalam pemerintahan gampong sangat sedikit. Walaupun ada, namun tidak ada partisipasi dalam proses pengambilan keputusan. 

“Peran perempuan dalam pemerintahan di desa sangat minim. Kalau pun ada, tapi tidak diikutsertakan dalam pengambilan keputusan, ” ungkapnya. 

Zubaidah Azwan dari koordinator forum aksi bersih pemilu dan pilkada Aceh menambahkan, pra tsunami kriteria seorang pemimpin desa harus sempurna dan merupakan orang yang terpilih dan tokoh teladan bagi masyarakat. 

“Dulu itu syarat seorang Geuchik itu maha sempurna, keteladanannya juga dilihat dari istri dan anaknya. Geuchik merupakan jabatan kehormatan, juga diangkat oleh masyarakat bahkan bisa seumur hidup,” ujar Zubaidah. 

Mereka berharap budaya yang khas dan kental di zaman dulu jangan sampai dihilangkan. Pemuda harus lebih terdorong untuk berpartisipasi dalam kontestasi politik. 

“Pemuda harus jadi teladan dan pemimpin, bukan hanya pemimpin demokrasi tapi pemimpin seutuhnya,” tutup Nining. []

Editor: Missanur Refasesa