Oleh: Raudhatul Ulfa
Berdiri di atas puing-puing kenangan masa lalu. Mungkin itulah yang dilakukan gadis itu sekarang. Mencoba bertahan walau terlihat sangat tidak mungkin. Kejadian mengerikan itu memang sudah lama berlalu, bahkan mungkin banyak orang yang telah melupakan kejadiannya. Yah, peristiwa yang terjadi sebelum tsunami menimpa tanah kelahirannya. Sebelum adanya perjanjian Helsinki.
Pada saat itu, gadis kecil yang baru berumur 5 tahun telah melihat dan mengalami banyak hal. Tanah kelahirannya saat itu memang sangat jauh dari ketentraman. Dia hanya dapat mendengar bunyi-bunyi letusan senapan yang memekakkan telinga. Hanya dapat melihat sungai darah mengalir dari tubuh manusia tak berdosa yang dibantai dan dibunuh bagaikan binatang disekitarnya. Gadis itu sama sekali tidak tahu bahwa itu adalah awal mula kehidupan keras yang menghampirinya. Kehidupan yang menghadapkannya pada sang waktu yang tidak kenal belas kasihan.
Namanya Cut Arindisa Azhar. Melihat namanya, sudah jelas bahwa dia berasal dari tanah Rencong-Aceh. Gadis kecil yang akrab disapa Arin itu dilahirkan sebagai anak pertama dalam keluarga yang berkecukupan. Dia memiliki semua yang dibutuhkan anak seusianya. Ayahnya, Teuku Azhar sangat memanjakannya. Sedangkan ibunya, Siti Maisarah sangat memperhatikan dan mengawasi segala aktivitasnya. Kasih sayang yang berlimpah ruah dari mereka berdua tiada henti diberikan untuknya. Apapun yang diinginkan, hampir selalu dipenuhi oleh kedua orang tuanya. Sangat jelas terlihat keluarga kecil itu adalah keluarga yang amat bahagia. Akan tetapi, kebahagiaan itu seakan sirna dalam sekejap.
Hari itu, sang dewa siang masih malu malu menampakkan sinarnya dan burung burung mulai terbangun dari peraduannya. Terlihat seorang gadis kecil baru saja terbangun dari tidurnya. Mungil, berambut lurus sebahu dengan poni pagarnya yang tampak berantakan dan mengenakan pakaian tidur pink bergambar barbie. Gadis yang sangat manis, tetapi ada yang aneh dalam sorot mata gadis itu. Sorot mata kepolosannya terlihat bingung saat melihat ibunya duduk membelakangi dirinya di pinggir kasur tempat gadis itu tidur. Terdengar samar oleh telinganya suara tangisan dari sang ibu. Gadis itu lalu bergegas bangun dan dengan tangannya yang kecil, disentuhnya bahu orang yang sangat disayanginya itu perlahan.
“Mak, mamak kenapa? Kok nangis sih?” tanyanya masih dengan tatapan bingung.
“Eh, Arin anak mamak sudah bangun ya? Sudah lama bangunnya sayang?” perempuan yang dipanggil mamak oleh gadis kecil yang bernama Arin itu membalikkan badannya dan tersenyum ketika melihat sang anak yang sangat disayanginya itu sudah bangun.
“Arin baru aja bangun mak. Tapi, mamak kok nangis sih? Kan mamak udah besar bukan anak kecil lagi, jadi kenapa nangis?” Arin masih terus bertanya pada mamaknya.
“Haha iya nih Rin, mamak kayak anak kecil ya. Padahalkan mamak udah besar jadi eggak boleh nangis lagi.” jawab mamak Arin seraya tertawa mendengar pertanyaan polos malaikat kecilnya. Ditatapnya penuh sayang buah hatinya itu seraya menarik Arin kedalam pelukannya. Mungkin hanya Arinlah yang dapat melupakannya sejenak pada kejadian yang sangat mengiris hatinya subuh tadi.
“Sini mak, Arin sapu dulu air matanya.” Arin melepas pelukan mamaknya dan menyapu air mata sang mamak dengan kedua tangannya. Kemudian Arin juga mencium kening sang mamak yang membuat mamaknya sedikit merasa lebih tenang .
“Mamak jangan nangis lagi ya.” Arin berkata sambil tersenyum ke arah mamaknya.
“Iya sayang, makasih ya Arin.” Mamak Arin benar-benar bangga memiliki seorang anak seperti Arin yang bukan hanya pintar, tetapi gadis kecil itu juga selalu dapat membuatnya tersenyum walaupun perasaannya sedang sedih. Padahal umurnya masih terbilang sangat belia. Tetapi banyak hal yang membuat gadis kecil itu seakan mengerti tentang perasaan orang lain, khususnya mamaknya.
“Mak, ayah dimana? Ayah udah ke kantor ya, mak?” Tanya Arin ketika menyadari tidak melihat ayahnya sedari tadi.
“U..uudah Rin. Ayah tadi berangkatnya sebelum kamu bangun.”
“Yaaaahh, ayah kok nggak pamitan sama Arin sih mak? “ Rengek Arin. Biasanya walaupun dia sedang tidur, ayahnya pasti membangunkannya untuk berpamitan.
“Kayaknya ayah ada rapat penting di kantor jadi harus berangkat lebih awal sayang.” Tutur mamak Arin berbohong. “Mungkin sebaiknya memang Arin tidak mengetahui masalah yang sebenarnya. Dia masih terlalu kecil untuk mengetahui itu.”Batin mamak Arin.
***
Seorang perempuan setengah baya yang sedang hamil tua berbalut kerudung kuning duduk di jambo (pondok) halaman depan rumahnya seraya mengamati putrinya yang sedang bermain bersama teman sebayanya. Raut wajah wanita itu terlihat gusar, seperti ada hal yang dikhawatirkannya. Pikirannya mengawang ke kejadian beberapa hari yang lalu.
“Dek, na ureung nyang meujak meureumpok ngoen abang (dek, ada orang yang ingin bertemu dengan abang).“ pria dengan postur tubuh tinggi kekar dan wajah khas orang Aceh berkulit sawo matang berkata kepada sang istri.
“soe bang? Pakoen meujak meurumpok ngon dron? Peu na masalah? (siapa bang? Kenapa ingin bertemu denganmu? Ada masalah apa?)” tanya perempuan yang bernama Sarah kepada suaminya.
“hana lon turi dek, tapi i kheun gobnyan dari kanto polisi. Lon pih, hana teupeu na urusan peu gobnyan ngon lon (aku ga tau dek, tapi katanya orang itu dari kantor polisi. Aku juga ga tau ada keperluan apa dia denganku)” jelas sang suami
“Kakeuh, menyoe meunan neu jak laju. Mungken na masalah penteng. Tapi beu teugoh beuh, bang. Bagah neu woe bek trep-trep that nyan (ya sudah kalau begitu pergi saja, mungkin ada masalah penting. Hati-hati ya bang. Cepat pulang jangan lama-lama)”
“Get dek, lake doa bek na sapeu-sapeu lheuhnyan lon trok u rumoh ngon seulamat. Lon titep aneuk geutanyoe beuh (iya dek, berdoa saja semoga tidak ada apa-apa dan aku sampai rumah dengan selamat. Aku titip anak kita ya)”
“Jeut bang, lon preh droen i rumoh beuh (oke bang, aku tunggu kamu di rumah ya).” Bu Sarah mengantar kepergian Pak Azhar sang suami sampai ke ambang pintu dan menyalami tangan suaminya sebelum Pak Azhar menghampiri mobil kijang hitam yang terletak di depan rumahnya. Terlihat ada dua orang lelaki yang bertubuh besar dan berkulit gelap berdiri di samping kiri kanan mobil itu. Ketika suaminya hendak mencapai mobil itu, lelaki yang berdiri di sebelah kiri tadi menarik paksa lengan Pak Azhar yang membuat Pak Azhar mencoba melepaskan diri sambil memanggil-manggil nama Bu Sarah. “Dek, ka tulong lon (dek, tolong aku)” suara minta tolong Pak Azhar membuat panik istrinya. Perasaaan istrinya sudang mulai tidak enak. Dengan tertatih, Bu Sarahpun bergegas menghampiri sang suami. Akan tetapi, terlambat, terlambat sudah. Pak Azhar sudah berhasil di masukkan secara paksa ke dalam mobil dan mobil itu langsung berjalan dengan kecepatan tinggi meninggalkan rumah bewarna putih itu. Ketakutan langsung menjalar di tubuh Bu Sarah ketika melihat mobil itu sudah berjalan jauh. Pikirannya mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan orang-orang bertubuh besar yang memakai seragam hitam tersebut.
Dengan keadaan kalut, Bu Sarah kembali memasuki rumahnya menuju telepon rumah dan mulai menekan nomor handphone suaminya. Nada tunggu lagsung menghampiri pendengarannnya. Namun, tiba-tiba saja nada itu menghilang dan sambungan telepon terputus. Bu Sarah mencoba menghubungi suaminya lagi, tapi begitu terkejutnya dia saat mengetahui nomor itu sudah tidak aktif lagi. Perasaan takutnya semakin bertambah sekarang. Pipinya sudah mulai memanas. Tiba tiba saja, cairan bening dari kedua bola matanya keluar. Bu Sarah berjalan lunglai ke arah kamarnya dan duduk di pinggir sang anak yang masih tertidur lelap. Dia sangat bingung harus melakukan apa sekarang. Di rumah itu, Bu Sarah hanya tinggal bertiga bersama anak dan suaminya. Tempat tinggalnya memang lumayan jauh dengan rumah-rumah warga yang lain. Sehingga susah untuk Bu Sarah meminta tolong kepada warga agar dapat membantunya.
Dengan terpaksa, Bu Sarah menunggu hingga sang dewa siang benar-benar telah menyinari bumi yang akan membuat bumi jauh lebih terang. Dengan begitu, Bu Sarah dapat pergi mencari suaminya dan melaporkan semua kejadian itu ke kantor polisi. Tiba-tiba, handphone Bu Sarah yang terletak di atas meja rias berbunyi. Segera diraihnya telepon genggamnya itu. Ternyata ada sebuah sms yang masuk. Secepat mungkin Bu Sarah membuka sms itu dan membaca tulisan yang mulai muncul di layar. Bek, cuba-cuba kalapor kejadian beunoe bak ureung laen meunyoe han lakoekah mate (Jangan coba-coba melaporkan kejadian tadi kepada orang lain atau suamimu akan mati).
Pesan singkat itu langsung berhasil membuat tubuh Bu Sarah bergetar. Ponsel yang awalnya ada di genggamannya terlepas begitu saja dan meluncur ke atas tempat tidur. Bu sarah sekarang sudah benar-benar kehilangan akal untuk berpikir apa yang harus dilakukannnya. Dengan perasaan cemas dan takut yang luar biasa, dia kembali duduk di pinggir kasur dan mulai menangis tanpa tahu harus bagaimana.
Masih terngiang jelas percakapan singkat Bu Sarah bersama suaminya sebelum suaminya dibawa pergi oleh orang-orang itu. Seakan terekam oleh memori ingatannya setiap detail kejadian yang membuat suaminya belum juga pulang. Tidak ada terlintas dalam benaknya bahwa ternyata orang yang ingin bertemu dengan suaminya itu adalah orang jahat. Bu sarah sudah menceritakan kejadian itu kepada sanak saudaranya yang dengan tulusnya membantu Bu Sarah mencari sang suami. Namun belum juga dapat diketahui keberadaan suaminya itu.
***
Waktu seakan berlalu dengan cepat, tidak terasa sudah 1 bulan suamainya menghilang tanpa meninggalkan jejak sedikitpun. Walaupun pencarian belum pernah di hentikan. Semua kantor polisi sudah didatanginya untuk mencari tau keberadaan sang suami. Berlembar-lembar foto sang suami telah di sebarkannya. Tetapi Bu Sarah masih harus menelan kekecewaannya karena masih juga belum dapat menemukan suaminya. Padahal, kehamilan Bu Sarah sudah 9 bulan dan diperkirakan anak dalam kandungannya akan segera lahir dalam waktu dekat ini. Semenjak kejadian itu, kedua orang tua Bu Sarah tinggal bersamanya karena takut terjadi sesuatu terhadap Bu Sarah dan anaknya Arin. Apalagi Bu Sarah sedang hamil tua. Bahaya sangat mudah datang kepadanya jika dia tidak berhati-hati.
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 23.00 WIB. Rumah keluarga Pak Azhar sudah tampak sepi. Sepertinya orang yang menempati rumah tersebut sudah terlelap. Akan tetapi, tiba-tiba saja Bu Sarah terbangun karena mendengar suara pintu di ketuk dengan kasar seraya memanggil-manggil penghuni rumah. Setengah sadar, Bu Sarah bangun dari tidurnya dan keluar kamar hendak melihat siapa yang men-gedor-ngedor pintu rumahnya malam-malam begini. Ketika mengetahui siapa orang yang berada di balik pintu, alangkah terkejutnya Bu Sarah karena suaminya lah yang berada disana. Dengan perasaan senang luar biasa, dibukanya pintu itu. Tanpa menyadari bahwa ada orang lain yang berada dengan suaminya.
Saat pintu terbuka, 3 oraang pria bertubuh besar dan mempunyai tatapan yang sangat menyeramkan masuk sambil menyeret Pak Azhar ke dalam rumah. Bu Sarah sangat kaget ketika melihat suaminya sangat lemah dan ada darah disekitar wajahnya.
“Sekarang tunjukan senapan yang kamu simpan itu dan berikan kepada kami!” salah satu pria yang menyeret Pak Azhar tadi bertanya dengan suara sangat keras yang membuat Bu Sarah takut. Padahal ingin sekali rasanya ia memeluk Pak Azhar yang sudah terbaring tak berdaya di lantai. Tapi, mendekat dengan suaminya saja dia tidak berani karena ketiga pria itu terus menerus mengawasi gerak-geriknya dengan tatapan yang sangat tajam.
“Barang yang kalian perlukan ada di lemari kamar saya”jawab Pak Azhar dengan suara yang jelas terlihat sangat lelah.
“Hei kamu. Ambilkan senapan yang di sembunyikan oleh suamimu sekarang!” pria yang bertubuh sangat besar diantara ketiganya dan berkepala botak menunjuk Bu Sarah dan menyuruhnya mengambil sesuatu yang membuat Bu Sarah sangat kebingungan. Karena dia sangat tahu bahwa barang yang di maksud mereka jelas tidak ada di dalam lemari pakaiannya. Ditatapnya sang suami untuk bertanya maksud perkataan sang suami tadi. Tapi, suaminya malah tersenyum dan menyuruhnya untuk menuruti perintah pria mengerikan itu dengan gerakan wajah tanpa suara.
Di sudut ruangan saat Bu Sarah berjalan menuju kamar, terlihat kedua orang tuanya bersama anaknya hendak menghampirinya. Akan tetapi, Bu Sarah menghentikan mereka dan menyuruh mereka tetap berdiri disitu. Ternyata aksi Bu Sarah dilihat oleh pria yang paling kurus dan betubuh tinggi di antara mereka. Pria tersebut langsung berjalan setengah lari ke arah kedua orang tua Bu Sarah dan Arin. Dikeluarkannya sebuah pisau yang terlihat amat sangat tajam dan menyuruh mereka untuk tetap ditempat.
Masih dengan kebingungan yang sama, di bukanya pintu kamar dan dengan segera ketiga pria yang sedari tadi mengikuti langkah Bu Sarah sambil menyeret paksa Pak Azhar langsung menuju lemari tersebut. Di bukanya pintu lemari dengan kasar dan di keluarkannya semua isi lemari itu sehingga membuat isinya berserakan dimana-mana. Akan tetapi, apa yang mereka cari tidak juga ditemukan. Dengan perasaan yang amat sangat marah di hampirinya Pak Azhar dan di pegangnya kerah baju Pak Azhar dengan kasar.
“Dimana kau sembunyikan senapan itu? Jangan kau coba-coba membohongi kami” bentak pria yang menyuruh Bu Sarah tadi. Tapi, orang yang ditanya pria tersebut tak kunjung juga menjawabnya sehingga membuat pria itu semakin marah dan memukili Pak Azhar dengan tonjokan yang sangat keras di berutnya. Melihat suaminya dipukul, Bu Sarah langsung menghampiri sang suami dan hendak menolongnya.
“Jangan pukul suami saya. Tolong hentikan ini semua!”teriak Bu Sarah histeris dengan air mata yang sudah mengalir deras di pipinya.
“Apa kau bilang?” pria yang bertubuh paling kecil menarik rambut Bu Sarah dan mendorongnya hingga membuat Bu Sarah terbentur dinding.
“CUKUP! Jangan berani-beraninya kau menyakiti keluargaku. Apa yang kau cari memang tidak ada disini karena aku tidak pernah menyimpan barang-barang itu”Pak Azhar yang dari tadi terlihat tak berdaya bangun dan berdiri seakan ingin menantang mereka.
“Berani sekali kau? Apa kau mau mati hah?”
“Bunuh saja aku sekarang. Lebih baik aku mati disini daripada harus mati di tempat yang tidak di ketahui oleh keluargaku”
“Apa kau benar-benar ingin menantangku hah? Sekarang cepat katakan dimana senapan itu atau kau akan aku tembak sekarang?”pria yang botak itu seperti sudah kehilangan kesabaran dan mengeluarkan senjata dari dalam jaket hitamnya. Senjata itu lalu diarahkan tepat di depan Pak Azhar.
“Aku tidak punya cukup kekuatan untuk menantangmu lagi. Sudah aku bilang bunuh saja aku dan segera tinggalkan rumah ini” Pak Azhar berkata masih dengan wajah yang amat tenang. Diliriknya orang yang dia sangat sayangi terduduk di lantai dengan darah segar yang mengalir. Pak Azhar sangat ingin menghampiri istrinya tersebut.
“Ayaaaaaah…” teriakan seorang anak kecil dari luar kamar membuat pria yang memegang senjata itu terkejut dan sesaat kemudian terdengar letusan diikuti darah yang keluar sangat banyak dari perut Pak Azhar.
“Tidaaaaaaakk”jerit Bu Sarah putus asa.
Dentingan suara piano mulai terdengar dari salah satu gedung besar yang tampak sangat ramai. Hiruk-pikuk suara penonton bergema dalam ruangan besar tersebut. Terlihat seorang gadis dengan gaun berlengan panjang dan berkerudung ungu duduk di atas panggung sambil memainkan piano dengan sangat lihai. Gadis itu mulai menyanyikan bait demi bait nada-nada sebuah lagu dari Seventeen yang berjudul Ayah dengan sangat merdu.
Engkaulah nafasku
Yang menjaga di dalam hidupku
Kau ajarkan aku menjadi yang terbaik
Kau tak pernah lelah
Sebagai penopang dalam hidupku
Kau berikan aku semua yang terindah
Aku hanya memanggilmu ayah
Di saaatku kehilangan arah
Aku hanya mengingatmu ayah
Jika aku tlah jauh darimu
Kau tak pernah lelah
Sebagai penopang dalam hidupku
Kau berikan aku semua yang terindah
Aku hanya memanggilmu ayah
Disaatku kehilangan arah
Aku hanya mengingatmu ayah
Jika aku tlah jauh darimu
Suara merdu itu terus mengalun dan membuat semua orang yang hadir disitu seakan tersihir olehnya. Butir-butir air mata satu persatu mengalir dari mata indah gadis itu. Ketika lagu telah berakhir tepuk tangan meriah terdengar. Tatapan mata gadis itu tertuju pada seorang perempuan setengah baya yang sedang memangku anak laki-laki berumur sekitar 7 tahun. Gadis yang bernama Cut Arindisa Azhar itupun tersenyum kepada kedua orang yang membuatnya mampu bertahan diatas puing-puing kenangan yang tak akan pernah terlupakan.
“Selamat jalan ayah, terima kasih karena engkau telah menjadi ayah yang terhebat dalam hidupku dan terima kasih karena telah menghadirkan Teuku Raffi Azhar sebagai pahlawan baru di tengah keluarga kita. Ayah, Arin amat sangat mencintaimu dan sampai tiupan terakhir napas Arin, ayah akan terus hidup di hati arin” batin Arin.
Penulis adalah mahasiswi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Jurusan Biologi Angkatan 2014 Universitas Syiah Kuala.
Editor: Riyanti Herlita