Beranda Cerpen Sepotong Roti Hambar

Sepotong Roti Hambar

(Foto: Ist.)
loading...

Cerpen | DETaK

Seperti hari sebelumnya, aku bergegas menuju Toko tempatku bekerja,  bukan toko besar tetapi juga tidak terlalu kecil, toko roti yang terletak di pinggiran jalan milik Pak Rusdi tersebut menjadi tumpuan harapanku dan keluargaku untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Aku adalah chef pembuat roti di toko tersebut,  menjadi anak pertama dan satu-satunya lelaki di keluarga membuatku harus menjadi tulang punggung keluarga,  apalagi setelah kepergian Ayah lima tahun lalu,  aku memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah meski sangat menginginkannya,  Apalagi aku mempunyai lima orang adik yang juga sedang bersekolah, akan lebih baik jika aku fokus untuk bekerja agar adik-adikku bisa sekolah.

loading...

Seperti hari-hari sebelumnya aku bekerja seperti biasa, tetapi mataku menyorot hal yang terjadi di luar toko,  sepertinya Pak Rusdi sedang memarahi seseorang,  aku memperhatikan kejadian tersebut dengan saksama karena penasaran.

Dan benar saja Pak Rusdi sedang memarahi seseorang, di depannya ada seorang anak kecil mungkin sebaya adik bungsuku,  anak itu terlihat sederhana dan baik, nampak jelas dari tatapan matanya,  dan dia tidak melawan atau menangis mendengar perkataan Pak Rusdi,  aku menangkap isi percakapan mereka.

“Pak, apa bapak bisa memberikan sedikit tepung yang sudah jelek di toko bapak? saya ingin memberi kejutan  untuk teman saya yang berulang tahun, rencananya saya akan menyirami nya dengan tepung untuk memberi kejutan, apa bapak bisa memberikan sedikit tepung yang sudah tidak bapak pakai?” Pinta gadis berambut panjang tersebut.

“Apa?  Kamu berbicara dengan saya hanya untuk meminta tepung? Di toko saya tidak ada tepung yang jelek, semuanya kualitas bagus, kamu tidak lihat pelanggan di toko saya banyak, itu karena kualitasnya bagus, dan kalaupun ada saya tidak akan memberikan apalagi untuk dihambur-hamburkan karena teman berulang tahun, sama sekali tidak bermanfaat” Bentak Pak Rusdi kepada gadis kecil tersebut

“Yasudah pak tidak apa-apa” Gadis kecil itu tampak tegar meski di bentak panjang lebar,  dia lalu pergi.

Ini bukan pertama kalinya Pak Rusdi membentak orang, dia sangat sering membentak karyawan di tokonya bahkan aku pun sering kali dibentak oleh Pak Rusdi,  pernah suatu hari aku berpikir untuk berhenti bekerja di tempatnya,  tapi karena ini adalah tumpuan harapan keluarga kami, aku tidak bisa berhenti hanya karena omelan Pak Rusdi aku memilih bersabar dan hanya diam.

Sepulang dari tempat ku bekerja aku mampir ke toko bahan makanan, dan membeli beberapa keperluan bahan makanan untuk persediaan rumah,  mulai dari telur,  beras,  sayur, tempe dan juga tepung untuk membuat kue ulang tahun untuk adikku yang akan berulang tahun dalam minggu ini.

Di jalan pulang, aku melihat anak perempuan berambut panjang yang di bentak Pak Rusdi tadi, aku yang sudah melupakan kejadian tadi, tiba-tiba langsung teringat kembali saat-saat pak Rusdi membentaknya.

“Assalamu’alaikum dek,  Adek mau kemana?” Aku menghampiri anak itu yang kebetulan sedang berjalan di jalan yang sama

“Waalaikumsalam,  saya mau pulang” Sahutnya dengan senyuman.

“Saya Ridho, saya bekerja di toko roti Pak Rusdi, kebetulan tadi saya melihat adik ini meminta tepung kepada pak Rusdi,  kalau adik mau adik bisa ambil tepung ini” Aku lalu memberikan tepung yang ku beli tadi untuk anak ini,  dia terlihat baik dan itu alasan aku memberikannya.

“Ini kan tepung bagus bang” Serunya dengan terkejut.

“Tidak apa-apa,  ini memang bagus,  saya membelinya untuk membuat kue ulang tahun untuk adik saya,  tetapi tidak apa-apa,  Adek boleh ambil,  besok saya akan membeli lagi untuk membuat kue” Aku lalu menyodorkan kantong plastik berisi tepung terigu kepada anak itu.

“Terima kasih banyak Bang,  terimakasih,  semoga Allah membalas kebaikan abang, sekali lagi terimakasih” Anak itu berkali-kali mengucapkan terimakasih dia terlihat amat sangat senang seperti baru saja mendapatkan hadiah besar padahal aku hanya memberi nya sekantong plastik tepung.

Sesaat setelah aku hendak pergi tiba-tiba seorang anak kecil berlari memanggil dan menghampiri gadis kecil tersebut.

“Kak Rania, Kak Rania…..  ” Anak laki-laki tersebut berteriak amat kencang.

“Kenapa Abdul?” Tanya Gadis kecil yang ternyata bernama Rania dengan keheranan dan terlihat sangat khawatir.

“Ibu kejang- kejang kak” Anak laki-laki bernama Abdul itu juga terlihat tidak kalah khawatir.

Mendengar perkataan anak lelaki itu yang ternyata adalah adiknya Rania, Rania dan adiknya bergegas berlari pulang menuju rumahnya,  spontan aku juga berlari mengikuti mereka,  mungkin anak itu membutuhkan bantuan karena ibunya sedang sakit pikirku.

Mereka masuk ke rumah yang sangat memprihatinkan, beratapkan dedaunan, berdindingkan papan,  dan di dalamnya hanya ada satu ranjang kecil, dan seorang wanita yaitu Ibu mereka berbaring di ranjang tersebut,  di samping ranjangnya ada seorang anak perempuan yang lebih kecil dari Rania dan Abdul.

“Dewi, Ibu kenapa?” Tanya Rania dengan  khawatir.

“Ibu tadi kejang-kejang kak, sekarang sudah lebih baik” Jawab gadis kecil bernama Dewi.

“Alhamdulillah” Rania terlihat sangat bersyukur.

Aku mencoba berkomunikasi dan menanyakan beberapa hal kepada ibu Rania.

“Bagaimana keadaan nya buk? ada yang sakit? apa sekarang sudah baikan?” Aku melontarkan beberapa pertanyaan tapi Ibunya hanya membalas memberikan senyuman dan menggeleng kemudian mengangguk,  aku baru tersadar Ibu mereka tidak bisa berbicara.

“Kak, siapa orang ini?” Tanya Dewi,  adik Rania yang paling kecil dengan keheranan.

“Ini bang Ridho, abang ini memberikan kita tepung,  jadi kita bisa makan besok”

“Alhamdulillah,  terima kasih banyak bang” Abdul terlihat sangat senang.

“Terimakasih bang” Dewi juga ikut berterima kasih kepadaku.

“Hari ini kalian sudah makan?” Tanya Rania kepada dua adiknya.

“Belum kak” Sahut Dewi,  adiknya yang paling kecil.

“Kenapa kalian belum makan, bukannya masih ada sepotong roti buatan Ibu sisa kemarin?” Rania kembali bertanya kepada adiknya.

“Kami menunggu kakak pulang,  jadi bagaimana kami bisa makan,  kakak juga pasti belum makan” Jawab Abdul.

“Yasudah ayo kita makan sekarang” Ajak Rania,  ia lalu mengambil makanan dari dapur.

“Hari ini kita makan ini dulu ya” Rania berkata sambil membawa piring berisikan sepotong roti. Aku tau betul itu adalah kukusan  tepung yang dibentuk sedikit bulat, rasanya pasti sangat hambar,  yang bahkan tidak layak disebut ‘roti’.

Mereka berempat memakan makanan yang mereka sebut ‘roti’ tersebut dangan lahap,  dan saling tersenyum satu sama lain,  raut wajah bersyukur terlihat jelas dari muka mereka berempat,  aku terbungkam melihat kejadian tersebut.

Mereka benar-benar memakan makanan yang jelas-jelas tidak enak dengan lahap,  apalagi dibagi empat.  Dan aku juga tersadar kalau Rania berbohong kepada Pak Rusdi. Dan untung saja aku memberikan tepung dengan kualitas bagus kepada Rania bukan tepung kadaluwarsa.

“Rania,  tadi kenapa Rania bilang tepung itu untuk siram teman ulang tahun kepada Pak Rusdi?,  kenapa tidak bilang tepung itu untuk dibuatkan roti untuk dimakan?” Tanyaku sambil menghampiri Rania.

“Maaf bang,  tadi saya memang berbohong,  soalnya kalau saya bilang tepungnya untuk dimakan,  pasti tidak akan diberikan dengan gratis, dan kami benar-benar tidak punya uang” Jawab  Rania dengan menunduk.

“Selain itu,  apa kalian selalu memakan roti hambar seperti ini?” Tanya ku kepada Rania.

“Kadang kalau tidak ada beras, Ibu membuatkan roti seperti ini dan kalau tepung tidak ada juga kami biasanya tidak makan sama sekali, meski hambar tapi ini terasa enak dan lebih baik dibandingkan tidak makan sama sekali” Jawab Rania dengan mata berkaca-kaca.

Tanpa sadar akupun meneteskan air mata mendengar jawaban Rania,  aku menyeka air mata dengan tanganku, spontan aku sadar kalau sedari tadi jemariku menenteng beberapa kantong plastik berisi bahan makanan.

“Ini untuk kalian,  semoga kalian bisa makan” Aku memberikan kantong plastik itu kepada kedua adik Rania dan mereka berdua terlihat sangat girang,  Rania pun terlihat sangat senang dan bersyukur.

“Alhamdulillah, terimakasih banyak bang atas kebaikan abang, semoga Allah membalas kebaikan bang Ridho” Rania terlihat sangat bergembira dan bersyukur.

“Yeeee,  Alhamdulillah ada tempe,  Dewi sangat ingin makan tempe,  sudah lama tidak makan tempe” Seru Dewi adik bungsu Rania kegirangan.

Ibu Rania pun memberikan isyarat berbicara denganku,  yang sebenarnya tidak aku mengerti,  tapi aku mencoba memahami mungkin saja itu ucapan terima kasih untukku. Dan mereka berempat terlihat sangat senang dan begitu bahagia.

Aku belajar banyak hal dari keluarga Rania hari ini, bahwasannya kita harus bersyukur walau sepilu apapun hidup ini,  dan aku tersadar selama ini karena menjadi tulang punggung keluarga,  kadang aku berkeluh kesah dengan kehidupanku yang sangat sulit,  dan aku lupa di tempat lain banyak orang yang lebih sulit dari kehidupanku,  seperti halnya keluarga Rania,  mereka terlihat sangat bersyukur hanya dengan memakan roti hambar,  dan mereka terlihat bahagia dan saling menyayangi walaupun banyak keterbatasan. Melihat senyum mereka,  membuatku malu akan diriku sendiri.  Aku sering berkeluh kesah padahal kerasnya kehidupanku tidak sebanding dengan kehidupan mereka.[]

Penulis bernama Nana Dahliati. Ia merupakan mahasiswi Jurusan Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala.

Editor: Cut Siti Raihan