Beranda Cerpen Petasan untuk Aulia

[DETaR] Petasan untuk Aulia

Ilustrasi. (Shahibah Alyani/DETaK)

Nana Dahliati | DETaK

Malam-malam terakhir di bulan Ramadhan seperti biasa bagi Aulia tanpa keramaian, tanpa orang tua, tanpa teman dan hanya ada kakak laki-lakinya yang berumur 16 tahun, yang kadang pun pergi untuk bekerja ke desa tetangga sampai seminggu lamanya. Malam ini pun sama, Aulia yang seorang diri di rumah kecil mereka, berusaha untuk keluar karna kesepian di rumah. Bocah 9 tahun itu terus menyusuri jalan melihat pemandangan indah di rumah tetangganya. Semuanya beramai-ramai bermain petasan, membakar kembang api dengan lilin-lilin yang berjejer di rumah mereka, pemandangan yang sangat indah bagi Aulia.

Aulia hanya berdiri dari kejauhan melihat tetangga yang seumuran dengannya sedang asik bermain, sorot matanya penuh dengan kesedihan yang sangat kentara. Hingga akhirnya matanya bertemu dengan mata anak lain di tempat itu yang membuat mereka saling melihat sejenak. Anak perempuan itu berbisik-bisik sejenak dengan temannya sebelum akhirnya menghampiri Aulia.

“Kamu Aulia, kan? Anak yang rumahnya di ujung sana?” tanya gadis kecil berbando pink di kepalanya.

“I… iya,” jawab Aulia singkat dengan sedikit gemetar.

“Kamu gak main petasan?” tanyanya lagi kepada Aulia.

Nggak, kakak bilang aku gak boleh bermain petasan,” jawab Aulia datar.

“Kenapa?” tanya gadis itu lagi sambil memegang pundak Aulia.

“Kami gak punya uang untuk beli petasan, kakak bekerja agar kami bisa makan, sayang kalau uangnya dihabiskan untuk bermain petasan dan juga….. ” Sebelum sempat Aulia menjelaskan semuanya, perkataannya terpotong.

“Ya sudah, kau mau ambil punyaku?” tanyanya sambil menyodorkan petasan yang ada di dalam plastik yang sedari tadi ia pegang dengan tangan kirinya.

“Beneran? tapi ini terlalu banyak,” tanya Aulia dengan mata yang berbinar.

“Iya, betul. Ambillah.” Gadis kecil itu tersenyum sambil menyerahkan kantong plastik berisi petasan kepada Aulia.

Di tempat itu juga Aulia merasa senang bukan main, suara petasan yang meledak-meledak di langit membuat seakan langit berbunga, seakan impiannya untuk bermain petasan akan segera dapat terwujud. Ia kemudian pulang ke rumah dengan segera sambil membawa petasan yang diberikan oleh gadis kecil tetangganya itu.

Di rumah ia bersiap-siap untuk segera membakar petasan-petasan yang ia dapat itu, tetapi Aulia baru ingat dia tidak punya teman untuk diajak bermain. Aulia tidak pernah sekolah, ayahnya meninggal saat ia berumur 3 tahun dan ibunya meninggalkan mereka dengan alasan bekerja, padahal tidak pernah memberi kabar sekalipun. Dengan kondisi seperti itu, bisa makan setiap hari adalah hal yang sangat mereka syukuri, mereka tidak lagi berani membayangkan tentang pendidikan.

Di saat Aulia hendak membakar petasan tersebut, tiba-tiba ia melihat sekerumunan orang menghampiri dirinya yang sedang bermain.

“Aulia, berani kamu, ya! Mentang-mentang gak ada kakak kamu, kamu sudah berani nakal!” teriak seorang tetangga Aulia, yang membuat Aulia sangat kebingungan dengan situasi itu. Ditambah lagi, gadis kecil berbando pink yang Aulia temui tadi sedang menangis tersedu-sedu di depan mereka.

“Kalau gini sudah jelas Aulia yang ambil petasan Winda, Aulia kan gak mungkin mampu beli petasan yang seperti ini!” seru seorang warga, yang membuat Aulia tertegun sekaligus ketakutan seketika.

Gadis kecil yang ternyata bernama Winda itu menangis tersedu-sedu sambil tangannya di dipegang erat oleh ibunya yang juga ikut-ikutan marah kepada Aulia. Sungguh situasi yang sangat membingungkan bagi Aulia, hingga akhirnya dia mulai berani berbicara.

“Sa… saya tidak mencuri petasan ini, ta… tapi Winda yang memberikannya,” jelas Aulia dengan terbata-bata hingga membuat semua tetangganya diam sejenak.

“Betul Winda? Kamu kasih petasannya ke Aulia?” tanya ibunya Winda kepadanya sambil mengambil petasan-petasan tersebut, yang kemudian dijawab dengan gelengan kepala sambil menangis tersedu-sedu. Aulia kemudian kembali menerima cemoohan dari tetangga-tetangga rumahnya sampai seseorang datang ke kerumunan dan berbicara.

“Saya melihat kejadian tadi, Aulia tidak mencurinya, Winda yang memberikannya, atau mungkin anak-anak lain tau. Kenapa kalian diam saja? Kalian juga akan masuk penjara kalau ternyata Aulia tidak bersalah setelah diperiksa,” jelas seseorang sambil sedikit menakuti anak-anak lain, yang disambut rasa takut dari anak-anak saat itu.

“I… Iya kami tau, Winda pura-pura, tadi sebelum Winda kasih, dia bilang sama kami,” jelas salah satu anak di kerumunan itu.

“I… iya, kami gak mau masuk penjara, tadi memang Winda yang memberikannya, Aulia tidak mencuri,” terang anak lain yang disambut anggukan oleh beberapa temannya.

“Benar begitu Winda?” tanya ibu Winda kepada anaknya yang terlihat malu.

“Iya, Ma, tapi Winda gak sendiri, kami sama-sama buat rencana dan teman-teman lain…..,” jawab Winda dengan nada terbata-bata dan langsung dipotong perkataannya oleh ibunya.

“Mama kecewa, berani sekali kamu buat malu Mama. Ayo pulang!” bentak ibu Winda kepada anaknya, lalu meninggalkan tempat itu dan diikuti oleh warga lainnya.

Di depan rumah Aulia hanya tinggal Aulia dan seorang wanita yang tadi membantu Aulia.
“Aulia, ini untukmu.” Wanita itu memberikan plastik yang juga berisi banyak sekali petasan kepada Aulia, bahkan lebih banyak dari yang diberikan Winda.

“Maaf, Bu, saya tidak tau Ibu siapa, saya takut dituduh mencuri lagi kalau mengambilnya,” tegas Aulia.

Nggak, saya nggak akan nuduh kamu mencuri,” balas wanita itu.

Di tengah-tengah obrolan mereka tiba-tiba kakak Aulia berlari dan langsung memeluk Aulia.
“Kak, Aulia gak ambil punya Winda, Aulia dikasih Winda. Maafin Aulia.” Aulia terus menerus mengatakan hal yang sama kepada kakaknya.

“Iya, Kakak percaya. Kakak sudah dengar ceritanya, Kakak kembali ke kampung karena itu,” jawab kakak Aulia sambil menenangkan adiknya.

“Fajar…. ” Wanita itu tiba-tiba memanggil nama Fajar, kakak Aulia, dengan meneteskan air mata. “Kamu sudah besar, maafin Mama, terima kasih sudah jagain Aulia!” serunya sambil menangis dan hendak memeluk Fajar.

“Mama, untuk apa Mama kembali lagi? Apa Mama sudah lupa kalau Mama melantarkan kami?” tanya Fajar tanpa membalas pelukan ibunya.

“Maafin, Mama. Memang Mama yang salah, maaf.” Ibu mereka terus-terusan meminta maaf kepada Fajar, sementara Aulia hanya terdiam dengan kejadian tersebut.

“Hari itu Mama pergi, setelah kejadian petasan yang menyebabkan Papa nggak bisa melihat lagi, kemudian Mama ninggalin kami. Mama pergi karna Papa nggak bisa lihat lagi, tapi nggak lama kemudian Papa meninggal, sementara kami berdua terpaksa menjalani kehidupan yang serba kekurangan. Cuma berdua, selama ini aku selalu melarang Aulia main petasan karena itu, karena Papa pernah kecelakaan gara-gara petasan. Mama pun sama, setelah kejadian petasan itu Mama nggak pernah lagi pulang!” seru Fajar seakan-akan mengungkapkan isi hatinya yang selama ini dipendam dengan meluap-luap kepada ibunya.

Tanpa berkata apa-apa lagi, ibunya kemudian memeluk mereka berdua dengan erat. Kali ini Fajar tidak menolak, seakan pelukan itulah yang selama ini ia rindukan. Kemudian mereka bertiga menangis tersedu-sedu.

“Aulia, kamu mau kan ambil petasan ini? Kita lupain yang telah lalu. Mulai sekarang kamu boleh main petasan asal hati-hati dan Mama akan selalu bersama Aulia dan Kak Fajar, gak akan pernah ninggalin kalian lagi,” tegas ibu meraka sambil menghapus air mata kedua anaknya.

“Boleh kan kalau Mama kembali lagi ke rumah?” tanya ibu mereka kepada kedua anaknya dan dibalas dengan anggukan kepala keduanya. Mereka kembali berpelukan dan menangis di depan rumah.

“Sekarang ayo kita bakar petasan-petasan ini! Bakar lilin juga, pasti Aulia sudah lama ingin main petasan tapi dilarang Kakak.” Ibu Aulia kemudian memberikan satu petasan besar kepada Aulia untuk dibakar, Aulia melirik kakaknya tiba-tiba.

“Iya, boleh.” Seakan tau apa maksud lirikan adiknya, kakak Aulia pun ikut membantu Aulia memegang petasan besar itu, menyulut apinya dan diarahkan ke langit yang membuat langit di depan rumah mereka nampak berbunga dan sangat indah.

Aulia sangat senang hari itu, ia benar-benar bisa mewujudkan keinginannya bermain petasan. Apalagi kepulangan ibunya yang tidak ia sangka-sangka. Aulia tau ibunya meninggalkan mereka karena petasan dari cerita kakaknya, tapi ia tidak pernah menyangka bahwa karena petasan jugalah ibunya bisa kembali ke rumah di bulan Ramadhan tahun ini.

#30HariBercerita