Potret Idealisme Mahasiswa
Di mana-mana, di dunia, mahasiswa memegang peranan penting, memiliki kapasitas dan otoritas publik yang tinggi, agen pergerakan, pemantik perubahan. Mahasiswa merupakan generasi penerus perjuangan bangsa. Artinya, estafet kepemimpinan suatu bangsa diserahkan kepada generasi yang telah atau pernah mengenyam pendidikan tinggi. Dengan perkataan lain, mahasiswa, yang hari ini berkesempatan menempati kursi perguruan tinggi sangat potensial menjadi pemimpin di masa yang akan datang. Pengalaman empiris telah membuktikan hal itu.
Syahdan, meskipun demikian, tidak semua mahasiswa berpeluang dapat merebut estafet tersebut. Hanya segelintir mahasiswa yang terorbit menjadi pemimpin-pemimpin masa depan yang qualified, yaitu mereka yang memiliki empat fraksi (1) kompetensi, (2) kualifikasi, (3) kontribusi dan (4) kejujuran (morality); mereka yang memiliki visi dan visi kemahasiswaan yang ideal; mereka yang memiliki idealisme yang baik, komitmen moral yang tinggi, dan kepedulian sosial baik; mereka yang berpikir logis dan kritis, bertindak smart, dinamis, kreatif, dan inovatif.
Mahasiswa yang berpikir kritis tentunya care ‘peduli’ dan respek atas segala persoalan yang mencuat, baik yang tercuat dari dalam dirinya maupun yang terlihat di luar dirinya; baik yang terjadi dalam sistem internal (civitas akademika) maupun sistem eksternalnya (masyarakat luas). Mahasiswa yang memiliki pola pikir seperti ini tentunya tidak akan berbuat hal-hal yang tidak logis, seperti melakoni hidup dengan santai, enjoy aja, dan suka bermalas-malas, sementara atasnya sesak dengan beban, baik beban akademik maupun beban nonakademik. Mahasiswa yang berpikir logis dan kritis tentu tak cuek dengan persoalan-persoalan krusial atau ketimpangan-ketimpangan soasial yang terjadi di seputar dirinya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa ciri substansial mahasiswa adalah rajin membaca dan rajin menulis. Melalui membaca mereka meyerap ilmu, dan melalui penulis mereka mentranformasikan ilmu. Itulah ciri masyarakat belajar, masyarakat ilmian atau ilmuan. Peribahasa mengatakan, “Rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya”. Banyak bembaca banyak tahu, banyak menulis banyak memberi tahu, belajar memperkaya jiwa mempertajam wawasan.
Di pihak lain, memiliki ilmu tinggi, tetapi tidak dibarengi dengan moral yang baik akan menjadi petaka bagi kehidupan manusia. Hari ini betapa banyak di atas bumi ini berkeliaran orang-orang berilmu atau tinggi ilmunya tapi tidak bermoral. Hal ini terlihat langsung dari sikap dan gaya dalam melakoni hidupnya. Bukankah leluhur orang Aceh, misalnya, berpetuah, “Kajak sikula hai aneuk mangat bek roh jipeungeuet le gob, kajak beuet hai aneuk mangat bek roh kapeungeut gob” ‘Tuntutlah ilmu (umum; di sekolah) biar kita tak ditipu orang, dan tuntutlah ilmu (agama; mengaji; di pesantren) agar kita tak menipu orang’. Dalam ungkapan tersebut mengandung filosofi ‘keseimbangan antara ilmu dan moral. Adakah hal itu terjadi sebaliknya. Jawabnya ada, dan banyak. Mengapa itu bisa terjadi? Barangkali jawabnya adalah peribahasa sebagai motto hidup yang dijunjung tinggi bukan lagi “Rajin Pangkal Pandai, Hemat Pangkal Kaya”, melainkan “Nikmat Pangkal Paha”.
Terminologi “Rajin Pangkal Pandai dan Hemat Pangkal Kaya” merupakan simbol intensitas atau kesunguhan dalam belajar dan berkarya, sedangkan “Nikmat Pangkal Paha” merupakan simbol nafsu; kenikmatan, kesenang-senangan, ke-enjoy-an, dan sifat-sifat hedonisme lainnya.
Kenyataan hari ini, apa yang dilakoni oleh mahasiswa kita, khususnya di Aceh, sudah jauh dari idealisme kemahasiswaan. Beberapa indikator dapat dibeberkan untuk membuktikan hal itu.
(1) Di internal personal mahasiswa dalam sistem kemahasiswaan, coba bandingkan, berapa persen mahasiswa yang mengalokasikan waktunya untuk belajar di perpustakaan, dan berapa persen yang menghabiskan waktunya untuk poh cakra; peh keurupuk; cang panah atau bahkan ‘berindehoy’ di café-café, kantin-kantin, kios-kios jalanan, dan warung-warung kopi setiap hari. Warung-warung kopi disesaki mahasiswa, mulai awal pagi sampai dengan tengah malam, silih berganti. ‘Berapa sedikit’ kendaraan mahasiswa yang parkir di arena parkir perpustakaan, dan ‘berapa banyak’ yang antre di arena parkir warung kopi.
Kondisi seperti ini, jika terkondisikan secara permanen, akan berimplikasi pada outcome kampus yang tidak sehat. Sarjana yang terorbit dari perguruan tinggi tidak lebih sebagai orang SOK alias ‘Sarjana Otak Kosong’, minim kompetensi, rendah kualifikasi, mungkin tak bisa berkontribusi.
(2) Di komunitas internal mahasiswa dalam sistem civitas akademika, coba hitung-hitung, seberapa pedulinya mahasiswa terhadap kasus-kasus krusial yang terjadi di lingkungan kampusnya. Pernahkan mahasiswa menggugat secara tegas dan tuntas tapi santun atas kebijakan-kebijakan rektorat yang menyimpang di kampusnya. Sebagai contoh kecil, apa sikap mahasiswa atas tidak terpenuhinya kebutuhan minimal civitas akademika, atas ketidakterbukaan (tranparansi) finansial pengelolaan kampus, atas renovasi ruang di masa aktif kuliah dengan tidak mempersiapkan ruang alternatif (di sini telah terjadi pengesampingan proses akademik demi suatu realisasi proyek fisik), dan atas maraknya gaya berpakaian dan bergaul mahasiswa yang tidak islami.
Terkait dengan hal tersebut, perlu juga dipersoalkan bagaimana kesadaran kolektif mahasiswa atas kewajiban dan haknya sebagai warga civitas akademika. Sudahkah mahasiswa menjalankan proses akademik yang sesungguhnya; mematuhi etika tata tertip yang ada; mengawasi segala tindakan yang terjadi. Sudahkah, misalnya, mahasiswa komplen atas kedidakdisiplinan dosen dalam memvasilitasi perkuliannya, atas kedidakdisiplinan karyawan dalam mengerjakan administrasi perkuliannya, dan atas kedidaklayakan sarana dan alat penunjang perkuliannya.
(3) Di komunitas eksternal mahasiswa dalam sistem kemasyarakatan, coba introspeksi, seberapa tanggapnya mahasiswa terhadap kesenjangan-kesenjangan sosial yang terjadi di lingkungan masyarakatnya. Adakah mahasiswa menggugat secara santun, tegas tapi tuntas atas kebijakan-kebijakan pemerintah atau tindakan-tindakan masyarakat yang menyimpang di daerahnya. Sebagai contoh besar, apa sikap tegas dan hasil teriakan mahasiswa atas tidak beresnya rehap-rekon korban tsunami Aceh, atas runyamnya pengelolaan fasilitas publik (seperti air bersih, listrik hidup terus, dan jalan mulus terurus), dan, atas ‘meukeulieb-nya’ penegakan hukum, baik hukum syariah (syari’at Islam) maupun hukum positif. Apa tindakan mahasiswa atas tindakan orang-orang yang jelas-jelas secara kasat mata melanggar hukum (misalnya pejabat yang korup, anggota dewan yang malas, guru/dosen yang bolos, paramedis yang ceroboh, pengusaha yang nakal, supir yang ugal-ugalan, pedangang yang curang).
Meminjam lirik seorang sastrawan, “Kita memang telah melakukan apa yang kita bisa, tapi kerja belum selesai, belum apa-apa’. Mahasiswa dalam beberapa kasus telah menggugat; melakukan aksi dan orasinya. Namun, gaung aksi dan orasinya terkalahkan dengan ‘kebisingan-kebisingan’ yang semu hingga terdiam dan beku bagai debu di pinggir jalan raya. Mereka ‘terbungkamkan’ dengan ‘gertakan-gertakan sambal’ sang penguasa. Mereka ‘terhijaukan matanya’ dengan ‘iming-iming’ yang halutinatif.
Akhirnya, kita sangat berharap idealisme mahasiswa tercerahkan kembali sehingga mereka bisa sense of crisys; respektif melihat, mencermati, dan bertindak terhadap sesuatu secara ideal demi sebuah perubahan yang positif menuju masyarakat yang bermartabat, dunia akhirat. Wallahualam bissawab. Brovo mahasiswa!
oleh Azwardi, S.Pd., M.Hum, Dosen PBSI FKIP Unsyiah
Short URL: https://detak-unsyiah.com/?p=475