Oleh Zulfata
Suka tidak suka politik adalah bagian dari hidup manusia dalam menciptakan peradaban di permukaan bumi ini, dengan kata lain politik di mana-mana. Sangat beragam para ilmuan mendefenisikan makna dari politik, baik ilmuan dari Yunani kuno seperti Plato, maupun ilmuan dari Islam klasik seperti Alfarabi. Dari defenisi masing-masing ilmuan diatas dapat direkonsiliasi bahwa tujuan dari politik tersebut adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia di permukaan bumi ini.
Terkadang titik pembicaraan politik hanya terfokuskan pada persoalan bagaimana mendapatkan kekuasaan, menjalankan kekuasaan hingga mempertahankan kekuasaan yang luput dari tujuan dari politik yang sebenarnya. Prof. Dr. Nurcholish Madjid (pemikir islam cendekiawan dan budayawan Indonesia) yang akrab disapa Cak Nur, menurut dia peristiwa seperti ini pelakunya adalah orang-orang yang tenggelam dalam syarat. Artinya, sebelum sampai ke kemaslahatan umat namun berlama-lama dalam ketentuan syarat yakni selalu ada kekerasan dalam memperebutkan kekuasaan tersebut.
Rekam jejak atau sejarah perkembangan politik seperti ini sangat memprihatinkan perpolitik di Nusantara. Sejatinya politik adalah sarana atau alat untuk memediasi kesejahteraan dari penguasa kepada rakyat. Artinya, melalui politik efesiensi tranformasi pendidikan, ekonomi, agama, dan kesehatan dapat dirasakan oleh rakyatnya. Membedah makna politik tidak lepas dari subjek yang memainkan perannya terhadap objek-objek politik. Sehingga yang harus diketahui untuk memprediksi politik yang bermanfaat untuk masa yang akan datang ialah dengan memahami indikator-indikator yang erat kaitannya dengan subjek dari politik itu sendiri. Indikator pertama adalah memahami potensi sumber daya manusia yang nantinya bersentuhan langsung dengan aktivitas politik. Ketika sumber daya manusia baik atau stabil, maka baik pula kondisi perkembangan politiknya. Untuk menelusuri perkembangan baik atau tidaknya sumber daya manusia (SDM)-nya, salah satunya dengan cara menulusuri segala sistem kebudayaan yang berkembang pada masyarakatnya, hal inilah yang ditawarkan E.B Taylor, salah satu tokoh ilmu antropologi dan sosiologi. Dengan demikian kita dapat mengetahui apakah tingkat kebaikan SDM membaik atau sebeliknya, kerena pencipta dari budaya yang berkembang berasal dari ide atau gagasan dari seluruh masyarakat.
Indikator yang kedua adalah stabilitas perkembangan agama yang dialami oleh manusia dalam menjalani hidupnya, hal ini perlu dikarenakan agama sangat berperan penting dalam menciptakan karakter-karakter rakyat dan penguasa (sumber daya manusia) sebagai subjek dan penentu jalannya dialektika poltiti tersebut.
Sangat disayangkan bahwa perkembangan politik dewasa ini terlanjur mengedepankan hal-hal yang bersifat profan, yakni segala perilaku politik dilepaskan dari ajaran-ajaran agama yang dianut oleh subjek politik. Padahal dunia telah membuktikan tidak ada suatu ajaran agama pun yang tidak menciptakan kemaslahatan bagi pemeluknya. Dan tujuan dari agama tersebut sangat selaras dengan tujuan politik, sehingga menurut tokoh ternama di Mesir yaitu Hasan Albanna mengatakan, bahwa pergerakan atau perilaku politik tersebut adalah bagian dari perilaku beragama.
Indikator yang ketiga adalah sistem pengaturan atau regulasi yang memfasilitasi perkembangan politik. Aspek ini tidak kalah penting dengan kedua indikator diatas. Karena regulasi yang mengatur permainan (dinamika) politik itu sendiri dan bagi subjek politik regulasi merupakan bagian dari politik itu sendiri. Dalam hal ini ingin menganalisa bahwa sejauh mana keterlibatan penciptaan regulasi tersebut dengan pertisipasi rakyat. Terkadang regulasi yang diciptakan sekaligus hal yang menghidupi perkembangan politik tidak terekonsiliasi dengan harapan rakayat. Faktanya adalah regulasi mengenai hukum selalu tajam ke bawah dan tumpul keatas, ironis memang, kalimat yang seperti itu sangat familiar bagi rakyat Indonesia. Tidak hanya itu, kalimat yang mengatakan hukum hanya milik “penguasa” pun terus berkembang di semua lapisan masyarakat.
Dari tiga indikaor itu akan melahirkan wajah politik yang disajikan dalam bentuk stabilitas politik, yang secara tidak langsung akan mempengaruhi proses peradaban ilmu pengetahuan bagi rakyat, dan kita paham bahwa ilmu pengetahuan adalah kebutuhan dasar setiap orang (rakyat) dan Indonesia sendiri menjaminnya dalam undang-undang.
Peristiwa-peristiwa sepert ini bukanlah hal yang baru bagi setiap negara khususnya negara Indonesia. Jauh sebelum negara Indonesia terbentuk peristiwa ini sudah terjadi di peradaban Arab klasik, walaupun secara teknis berbeda. Buktinya peristiwa ini sempat terekam melaui salah satu karya ilmuan dari Maroko yang terkenal dengan karya “kritik nalar Arab” yaitu Muhammad Abed Al-Jabiri. Tokoh ini megutarakan bahwa salah satu kemerosotan umat Islam dari zaman kejayaannya adalah karena faktor stabilitas politik yang tidak menghidupi perkembangan ilmu pengetahuan yang ada dalam sistem politiknya.
Kita tidak memfokuskan peradaban politik pada masa Arab klasik, namun kita perlu belajar dari peradaban Arab kalsik tersebut yang secara tidak langsung telah berbicara. Bahwa saat ini kita tidak pernah belajar dengan sejarah, sehingga kerap kali kita melakukan kesalahan yang telah terjadi pada waktu yang sebelumnya ataukah memang benar bahwa negara Indonesia tidak pernah belajar dari sejarah?, hanya kita sendiri lah yang dapat menjawab tentang itu.
Refleksi terhadap Aceh
Berkaitan dengan wacana di atas dapat diselaraskan dengan persosalan-persoalan politik yang belum terjawab di Bumi Iskandar Muda, yang dikenal dengan bumi Serambi Mekkah. Label-label seperti Serambi Mekah, Bumi Iskandar Muda, Daerah Modal, Bumi Srikandi dan lain sebagainya, itu hanyalah bentuk sejarah yang tidak mungkin bisa diwujudkan dengan kondisi dan kapasitas sumber daya manuasi (SDM) Aceh saat ini.
Diantara banyak persoalan yang belum dijawab oleh pemerintah adalah persoalan yang menghebohkan seluruh provinsi-perovinsi di Indonesia yaitu persoalan MoU (Memorandum Of Understanding) Helsinksi dan hubungan pemerintah Aceh dengan pemerintah Indonesia yang tak kunjung terekonsiliasi. Faktanya beberapa turunan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) belum dapat disetujui oleh oleh pemerintah pusat, diantaranya mengenai batas 200 mil laut khusus untuk pemerintah Aceh.
Peristiwa tidak efisiensinya hubungan pemerintah Aceh dengan pemerintah pusat yang selalu menghebohkan media masa melalui statement “Penghianatan atau penipu”, dalam hal ini tidak diketauhaui secara bijak inteletulistik bahwa dari sisi mana dan siapa yang jadi “Penghianat atau penipu tersebut”, karena yang diketahui bahwa perekembangan politik di Indonesia (termasuk Aceh) masih dalam tahapan pembelajaran bukan pematangan politik.
Dengan demikian, konteks politik yang berkembang di Aceh dewasa ini hanya terfokus kepada hal-hal yang bersifat materi dan kekuasaan semata, tanpa menyeimbangkan hal-hal yang bersifat pengembangan ilmu pengetahuan dan demi mewujudkan SDM Aceh yang baik. Terkadang dari sisi analisis filosofis akademik, UUPA yang selalu menghebohkan pemerintah Aceh untuk meminta lebih dari sisi kekuasaan, tanpa memandang kapasitas SDM.
Ada asumsi jika pemerintah Aceh sangat serius terhadap pembangunan SDM untuk masyarakat Aceh. Masyarakat Aceh saat ini pasti sepakat bahwa tujuan politik adalah untuk kemaslahatan umat, namun pemerintah Aceh secara subtansial belum menjawab persoalan politik dalam bentuk mewujudkan kesejahteraan dalam masyarakat. Kesejahteraan tersebut akan terwujud bila pemerintah Aceh serius dalam membangun sistem ilmu pengetahuan melalui kebijakan politik (peraturan), artinya subjek politik di Aceh harus dapat menciptakan eksistensi ilmu pengetahuan dikalangan masyarakat terutama generasi muda.
Seiring dengan tawaran di atas sangat jelas bahwa eksistensi atau keberadaan ilmu pengetahuan yang berkembang di Aceh tidak akan pernah menyelimuti pemikiran masyarakat Aceh, selama stabilitas politik di Aceh belum membaik. Sehingga benih-benih ilmu pengetahuan yang ada di setiap perguruan tinggi di Aceh hanya berjalan ditempat (stagnad) tanpa membudaya ke masyarakat. Lebih disayangkan lagi adalah tidak adanya rekonsiliasi antara cendikiawan kampus dengan para “penguasa” di Aceh.
Dan yakinlah bahwa selama subjek politik di Aceh tidak mengalami pembinaan tanpa belajar dari karpet sejarah, maka jangan heran nasib perkembangan ilmu pengetahuan Aceh tidak akan merata dan kemiskinan akan meraja lela. Dampak secara otomatis ialah terhadap pembangunan SDM yang dimimpi-pimpikan itu tidak akan dicapai.
MoU Helsinksi telah memberikan banyak pembelajaran bagi pemerintah Aceh dalam menjalankan roda pemerintahannya. Terlebih dalam mengontrol semangat stege holder di Aceh yang belum terorganisir dengan baik dalam mewujudkan impiannya, yaitu menciptakan kesejahteraan masyarakat. Namun harapan ini akan tercapai bila pemerintah Aceh terbuka menerima saran serta tidak bekerja sama dengan para Non Government Organization (NGO) atau Lembaga swadaya Masyarakat (LSM) di Aceh dalam membangun kapasitas masyarakat, baik dari sisi pendidikan politik, Agama, ekonomi dan kesehatan. Sehingga tercapainya partisipasipasi masyarakat dan budaya subjek politik. Sudah saatnya pemerintah Aceh dan para stage holder dapat bersinergi, tanpa beretorika. Dengan demikian dapat mencerdaskan masyarakat Aceh dalam pendekatan politik intelektual dan bukan politik pembodohan. Hanya melalui pendekatan inilah yang akan menumbuhkan sikap partisipasi dan taat kepada pemerintah, serta siap untuk bekerja sama dalam menghadapi tantangan pemerintah di masa yang akan datang. Dengan sendirinya citra Aceh pada masa kerajaan Iskandar Muda akan terwujud kembali tanpa ada unsur semangat romantika sejarah belaka.[]
Penulis adalah Ketua Senat Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Aktif juga sebagai pengelola Sekolah Anti Korupsi Aceh dan Advokasi Pertambangan Aceh (email: [email protected]).
Editor: Murti Ali Lingga