Opini | DETaK
Poligami merupakan isu yang tidak ada habisnya untuk diperbincangkan. Banyak pejabat, tokoh masyarakat, artis bahkan pemuka agama yang melakukan poligami. Poligami juga menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Hasil survey kerjasama LSI, Goethe Institut, Friedrich Nauman Stiftung dan Fur Die Freiheit pada November 2010 menunjukkan dari 1496 responden, 0.8% sangat mendukung poligami, 12.7% setuju dengan poligami, 52.9% menolak poligami, 32.9% sangat menentang poligami dan 0.6% abstain.
Hasil survei tersebut menunjukan bahwa ada yang setuju dengan poligami namun tidak sedikit pula yang menolaknya. Hal ini menunjukan jika poligami masih menjadi isu polemik di masyarakat.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan poligami, toh buktinya banyak Ustadz-Ustadz yang melakukan poligami dan tentunya mereka hidup rukun. Contohnya saja poligami yang dilakukan oleh Ustadz Arifin Ilham yang hidup rukun dengan ketiga istrinya. Jadi, mungkin timbul pertanyaan, terutama bagi orang yang setuju dengan poligami yaitu apa masalahnya dengan poligami, poligami diperbolehkan oleh agama dari pada berbuat zina. Jadi bukankah lebih baik berpoligami?
Poligami memang diperbolehkan dalam islam. Akan tetapi, apakah pernah memikirkan bagaimana perasaan istri dan anak ketika seorang suami memutuskan untuk berpoligami, bagaimana perasaan kecewa, sakit hati dan merasa dirinya tidak berguna, sehingga membuat istri tidak siap untuk dipoligami dan memutuskan untuk bercerai.
Setelah bercerai siapa yang menjadi korban? Tentunya sang anak yang menjadi korban, anak harus merasakan tinggal dengan keluarga yang tidak lengkap dan membuat risiko kenakalan dan penyalahgunaan narkoba menjadi meningkat. Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama Nazaruddin Umar menjelaskan bahwa angka perceraian setiap tahun terus meningkat akibat poligami. Poligami juga merupakan penyebab utama kesengsaraan pada anak dan rentan terhadap terjadinya penelantaran keluarga yang dilakukan oleh suami akibat sudah memiliki keluarga baru.
Suami yang berpoligami cenderung memilih istri kedua serta tinggal dengan istri kedua dan meninggalkan anak dan istri pertama, bahkan terkadang suami yang memutuskan untuk berpoligami juga tidak memiliki kesadaran tentang kemampuan ekonomi, sehingga tidak mampu untuk memberikan nafkah kepada anak dan istri yang membuat kebutuhan materi mereka menjadi terganggu.
Sebuah studi yang dilakukan oleh sister in islam(SIS) menemukan bahwa kebanyakan istri pertama dan anak-anak yang berasal dari keluarga poligami tidak bahagia dengan kondisi tersebut. Poligami juga membuat kepercayaan diri baik pada anak maupun istri menurun yang berdampak pada interaksi dengan lingkungan menjadi terganggu, istri maupun anak menjadi malu untuk berinteraksi dengan tetangga maupun orang lain dan membuat mereka sering mengasingkan diri dan menjadi pemurung.
Poligami sering disebut sebagai bentuk kekerasan terhadap wanita maupun anak, baik kekerasan fisik maupun psikis (kata-kata kasar yang diberikan untuk istri maupun anak yang menyakiti hati mereka dan menimbulkan perasaan tertekan). Contohnya seperti kasus yang dimuat di detik.com yaitu penganiayaan yang dilakukan ayah kepada anaknya karena tidak terima madunya dilabrak oleh anak dan istri pertamanya.
Kasus lain dimuat di tribunnews.com, yaitu percobaan bunuh diri yang dilakukan oleh istri pertama karena merasa tertekan oleh keputusan poligami yang dilakukan sang suami. LBH APIK juga menjelaskan bahwa poligami merupakan bentuk kekerasan terhadap istri maupun anak baik tekanan psikis, penganiayaan fisik, penelantaran istri dan anak-anak, ancaman dan teror serta pengabaian hak seksual istri.
Melihat dampak yang dirasakan oleh anak dan istri akibat poligami, apakah para lelaki masih inggin melakukan poligami?Jika ia, mohon dipertimbangkan lagi kesiapan istri dan anak karena dalam melakukan poligami kesiapan anak dan istri juga diperlukan. Jangan sampai poligami menjadikan keluarga anda menderita akibat kekerasan yang anda lakukan. Dan pastikan lagi apakah anda sudah dapat berlaku adil baik secara materi maupun kasih sayang dan perhatian. []
Penulis bernama Rini Tri Utami. Ia merupakan mahasiswi jurusan Psikologi angkatan 2014, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala.
Editor : Missanur Refasesa