Beranda Opini Le ‘Ud Maka Le Teunget

Le ‘Ud Maka Le Teunget

BERBAGI


Oleh
Wirduna Tripa
Sederatan literatur sejarah peradaban Aceh dari masa ke masa semenjak Titah Sultan Iskandar Muda hingga beberapa sultan penerusnya, belum pernah tercatat bahwa Kesultanan Aceh pernah jipeungeut ‘dikelabui’ oleh bangsa, suku dan, agama lain. Keadaan ini membuktikan bahwa para tetua Aceh tidak pernah mewarisi kepada para regenarasi sebagai generasi yang pasrah dengan keadaan dan selalu mencari titik aman serta harus selalu rela dalam keadaan jitipe alias jipeunget. Nah, jadi petuah dari mana dan dari siapa sehingga para pemimpin Aceh saat ini selalu menjadi objek keunong peungeut? Sementara para tetua tak pernah mewarisi perangai itu.
Mari sedikit kita telaah artikel ini yang saya beri judul “Le ‘Ud Maka Le Teungeut” ‘terlalu banyak makan sehingga banyak tidur’, lebih kurang seperti itu pengertian dalam bahasa Indonesia. Le ‘Ud mengandung pengertian bahwa terlalu banyak makan atau makan yang melampoi kapasitas atau ruang yang tersedia di dalam perut. Perut manusia mempunyai tiga buah ruang yaitu, pertama, ruang untuk mengisi makanan, kedua ruang untuk mengisi minuman dan, ketiga, ruang untuk oksigen. Ketiga ruang tersebut mempunyai kapasitas serta fungsinya masing-masing, seperti untuk menyeimbangkan dan menetralisasikan perut.
Nah, apa jadinya bila ketiga ruang tersebut dipaksakan untuk dipenuhi hanya dengan makanan dan minuman, hingga tak tersedia lagi ruang untuk oksigen. Bisa jadi fungsinya macet total. Sehingga menyebabkan le teunget karena kebanyakan makan, Bu sikai ie sikai, tro prut dho pikiran. Jelas bahwa orang yang banyak makan itu akan berdampak banyak tidur, karena bila sudah melebihi kapasitas yang tersedia diperut, maka bawaannya malas dan menjadi pendamping kasur sepanjang hari atau dalam istilah bahasa gaul Aceh eh malam.
Secara leksikal, pengertian “Le ‘Ud Maka Le Teungeut” kurang lebih seperti ulasan di atas. Namun bila kita mengkajinya secara pragmatis, frasa tersebut bisa saja mempunyai makna yang lebih dalam dan lebih tajam. Mari kita ulas sedikit, Le ‘Ud dapat juga diartikan banyak mendapat pemberian, sogokan atau sedekah bersyarat dan hibah bermusabab. Karena Le ‘Ud ‘terlalu banyak makan sogokan, pemberian’ maka tenggorokan akan tertahan dan tak dapat bervokal lantang karena telah terlanjur atau terlalu banyak menelan. Dengan demikian karena sudah terlalu banyak tertelan menjadi peuteunget droe ‘pura-pura tidur’, seakan-akan tak terjadi peristiwa apapun disekitarnya.
Ulasan di atas merupakan gambaran ril kondisi yang terjadi di Aceh saat ini. Potret ini mulai menopengi wajah Aceh adalah ketika dinasti Daud Beureueh memimpin Aceh beberapa dekade silam. Banyak pakar sejarah yang mencatan sejarah pergerakan sosial Aceh tempo dulu. Ketika merebut kemerdekaan dari tangan penjajah sampai dengan masa-masa tegang Indonesia atau durasi transisi republik akhir penjajahan-mulanya kemerdekaan negeri ini. Kala itu, kemajuan dan keberlanjutan kemerdekaan Indonesia sangat bergantung pada Aceh. Diibaratkan Aceh saat itu bak jantung bagi keberlangsungan hidup Indonesia. Posisi jangtung dalam kehidupan sangatlah urgen, secara fungsional jantung sebagai alat untuk memompa darah keseluruh tubuh. Mustahil bisa hidup bila jantung tak ada.
Begitulah keberadaan Aceh kala itu. Sebuah bukti yang sekarang masih terpangpang di pusat kota Banda Aceh yaitu, di Blang Padang atau gelar barunya pasca tsunami Thank World sebuah kerangka Pesawat Seulawah, pesawat yang disumbangkan oleh masyarakat Aceh untuk Indonesia demi mendorong Indonesia dalam melewati masa transisi pasca kemerdekaan. Kala itu, Aceh sanggup menyumbangkan pesawat untuk Indonesia, sementara belahan-belahan lain di nusantara ini jangankan untuk menyumbangkan pesawat, untuk memenuhi kebutuahn primer pun masih amburadur.
Melihat ketulusan Aceh dalam membantu Indoneisa-dalam beberapa catatan sejarah mengemukakan bahwa-Soekarno kala itu pernah memberi kebebasan kepada Gubernur Aceh, Daud Beureuh untuk memilih posisi Aceh, berdiri sendiri atau bergabung dengan republik. Bergabung dengan republik, itulah yang menjadi pilihan Daud kala itu. Ada yang mengatakan, Soekarno telah memberikan jabatan penting untuk Daud, sebelum tawar-menawar terjadi. Apakah alasan itu yang membuat Daud memilih untuk tunduk ke Senayan? Bila iya, berarti le ‘ud hingga le teunget atau peuteunget droe.
Seiring perjalanan waktu, masa itu pun berlalu, awalnya biasa-biasa saja bahkan Aceh diberikan kedudukan yang lebih, yaitu Daerah Istimewa. Perjalanan waktu semakin tak menentu, hingga bergejolak kembali pergerekan-pergerakan Aceh yang bergaung untuk menuntut kemerdekaan dari Indonesia, meski akhirnya kandas. Namun pergerakan itu harus klimaks dengan perjanjian baru melalui Memorandum of Undestanding (MoU) Helsinky. Perjanjian tersebut memang tak mengubah peta Aceh, tetapi hanya pemetaan sistem, kewenangan dan, koordinasi Aceh dengan pusat. Beberapa bagian kewenangan tersebut secara menyeluruh berada di ujung telunjuk Aceh sendiri dan hanya beberapa aspek lain yang masih tunduk ke pusat. Aceh bisa mencari lauk-pauk dan sayur-mayur sendiri hingga memasaknya pun sendiri, mungkin selama ini sudah elergi dengan masakan khas jawa yang manis dan amis, gule asam keueung, gule prik, gule takeh dan gule jruk, bebas memasak apa saja berdasarkan selera. Resep makanan tersebut semua telah, sedang dan akan (mungkin) diatur Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA).
MoU yang dihasilkan dari darah perjuangan rakyat Aceh merupakan kesempatan baru yang kesekian kalinya bagi rakyat Aceh untuk bangun dari keterpurukan serta sebuah kesempatan baru untuk mengatur rumah tangga sendiri. Sebagian besar kewengan tersebut berada pada tampuk kepemimpinan Aceh. Semua itu yang kemudian diatur dalam UUPA, semua undang-undang terkait Aceh mempunyai kewengan untuk membuat dan mengatur sendiri. Dengan demikian jelas bahwa UUPA adalah sebuah mediator untuk mengembalikan kedaulatan Aceh yang selama ini telah sedikit terkikis dari sisi kehidupan masyarakat Aceh, juga dapat memperhatikan kembali kearifan-kearifan lokal yang sedari dulu begitu kental dalam semua dimensi kehidupan masyarakat Aceh.
Namun, enam tahun sudah MoU Helsinky disepakati, belum terlihat sebuah perubahan yang urgen sebagaimana yang diharapkan dan yang diamanatkan dalam MoU Helsinky enam tahun silam. Hal ini menunjukan bahwa para elit politik yang menahkodai Aceh saat ini terkesan kurang serius untuk menjalankan apa yang telah dicapai dari hasil perjuangan yang sangat pedih dan sempat mengoyakkan kehidupan masyarakat Aceh. Enam tahun sudah MoU berjalan, masih begitu banyak permasalahan yang sebenarnya menjadi prioritas utama terabaikan. Salah satunya adalah tidak merealisasikan UUPA dengan semestinya, peluang untuk mengatur diri sendiri terkesan diabaikan, ironisnya para elit lebih menikmati isu-isu non-subtansial sehingga terbuai dengan isu aksidensial. Tiga isu yang seharusnya menjadi prioritas utama dan membutuhkan keseriusan serta PR berat bagi elit adalah realisasi UUPA, pendirian Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan pembebasan Tapol/Napol Aceh yang sekarang masih mendekam di Lapas Cipinang.
Entahlah, apakah Aceh akan melewatkan dan tidak memanfaatkan kesempatan emas yang telah berhasil diraih dengan tumpah darah para pejuang. Akankah kembali jatuh pada lobang yang sama? Amat jelek, “hanya keledai yang jatuh pada lobang yang sama”. Sejarah bukan untuk dipelajari tetapi sejarah untuk dihayati. Mungkinkah para elit Aceh saat ini le ‘ud sehingga le teunget atau le jipeu’ud sehingga le nyan peuteungeut-teungeut droe? Wallahu’alam.

Penulis adalah aktivis mahasiswa Aceh