Opini | DETaK
Pembunuhan dua anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Nisam Antara dan penembakan terhadap seorang anggota Polres Pidie yang ditembak oleh gembong narkoba pengedar ganja merupakan sebuah rentetan peristiwa miris yang terjadi di Aceh beberapa waktu lalu.
Melihat peristiwa pembunuhan terhadap dua anggota TNI dan seorang anggota Polres Pidie tersebut, penting untuk melihatnya dalam kacamata berbeda. Selama ini, kejahatan yang terjadi di Aceh selalu dikaitkan dengan urusan politik dan perebutan kekuasaan. Padahal di daerah lainya di belahan nusantara juga pernah terjadi hal yang sama.
Tetapi mengapa setiap kasus yang terjadi di Aceh selalu dilebih-lebihkan? Padahal tidak selamanya faktor terjadi pembunuhan dan kekerasan itu disebabkan oleh perebutan kekuasaan ataupun ketidak senangan terhadap suatu kelompok. Karena bisa jadi ada motif ekonomi yang melatar belakangi kejahatan tersebut.
Dalam konteks pertumbuhan ekonomi dana Otonomi Khusus (Otsus) yang begitu banyak dan migas belum mampu mensejahterakan rakyat Aceh. Sebaliknya angka kemiskinan dan pegangguran semakin meningkat. BI bahkan sempat merilis PDRB menempapati urutan terendah di Sumatera. Ironis, uang trilyunan yang diberikan pemerintah pusat terhadap pemerintah Aceh, hanya dikuasai oleh segelintir orang dan kelompok kepentingan elit pemerintahan. Keadaan ini justru berbeda apa yang dirasakan oleh rakyat. Dimana lapangan kerja sempit, kebutuhan hidup setiap hari makin bertambah dengan kenaikan harga BBM, dan akhirnya rakyat mengalami tekanan mental, stress, dan tidak jarang melakukan cara apa pun untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Hal inilah mendorong seseorang untuk melakukan pelaku menyimpang dan melawan norma hukum dan sosial.Ketika pekerjaan sulit didapatkan, rakyat cenderung melakukan tindakan apa saja, kadang-kadang melakukan tindakan yang memang tidak masuk akal. Menjual ganja dan sabu-sabu agar cepat kaya merupakan sudah suatu tren masa kini, ketika negara ini tidak memberikan jalan yang benar kepada rakyatnya.Membunuh karena terlilit utang, menculik orang-orang kaya untuk meminta tebusan puluhan juta bahkan sampai ratusan juta rupiah merupakan fenomena yang terjadi di awal 2015.
Kasus pembunuhan terhadap dua anggota TNI dan tewasnya seorang anggota Polres Pidie, merupakan suatu sinyal kepada pemerintah bahwa pemerintah telah gagal memberikan kesejahteraan dan kemakmuran kepada rakyatnya. Keadaan sebaliknya justru berbeda pada pemerintah, para pejabat pemerintahan saling berebut kekusaaan dan memperlihatkan kemewahan akan hidup mereka di tengah potret kemiskinan yang melanda rakyat Aceh.
Sudah semestinya pemerintah dalam menangkapi kekerasan yang terjadi selama ini di Aceh dengan cara persuasif yang paling penting adalah bagaimana membangun sektor perekonomian yang pro rakyat, karena kita lihat Aceh ini, memiliki kekayaan hasil alam yang luar biasa, sebatang tongkat bisa menjadi tanaman itulah keajaiban negeri ini,sekarang tergantung bagaimana caranya pemerintah mengelola kekayaan hasil alam, dalam mengelola hasil alam sudah semestinya pemerintah mengajak unsur-unsur akademisi untuk dilibatkan dalam pembangunan ini, karena kalau kita lihat fenomena sekarang, setiap tahun universitas di Aceh mewisuda ribuan alumninya, tapi apa konstribusi pengabdiannya kepada masyarakat, sudah seharusnya pemerintah memanfaatkan para lulusan Akademisi untuk mengabdi dan ikut serta dalam mendobrak perekonomian pro rakyat. Semoga dengan memanfaatkan para lulusan perguruan tinggi yang berkompeten sesuai dengan keahlian masing-masing, perekonomian rakyat Aceh bisa meningkat dari tahun ketahun, mungkin dengan meningkatnya taraf perekonomian rakyat, angka kekerasan yang selama ini terjadi bisa dikurangi.[]
Penulis adalah Tibrani, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Unsyiah jurusan Ilmu Politik.
Editor: Riska Iwantoni