|

Implementasi POLMAS Melalui Kearifan Lokal

Kebersamaan menjanjikan kekuatan yang luar biasa, karena sesuatu yang besar hanya dapat diraih melalui kebersamaan. Semangat kebersamaan di Indonesia untuk mencapai mewujudkan suatu negara yang merdeka dan berdaulat.

Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Untuk mencapai hasil yang maksimal dari fungsi ini dibutuhkan kebersamaan antara polisi dan masyarakat, sehingga satu dengan yang lainnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Polisi tidak akan dapat menciptakan situasi yang tertib dan aman dalam suatu lingkungan masyarakat tanpa adanya kemauan dan kesadaran dari masyarakat itu sendiri, akan pentingnya suasana yang aman dan tertib.

Sebagai ujung tombak dalam menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat, Polri harus mampu beradaptasi dengan segala perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.

Seiring dengan bergulirnya era reformasi yang telah menggugah kesadaran seluruh komponen bangsa untuk melakukan pembenahan dan pembaharuan atas berbagai ketimpangan, kinerja dan hal-hal yang dianggap tidak profesional serta proporsional menuju masyarakat sipil yang demokratis. Polri pun tidak lepas dari wacana besar perubahan ini. Karena kepolisian merupakan cerminan dari tuntutan dan harapan masyarakat akan adanya rasa aman, keamanan, ketertiban dan ketentraman, yang mendukung produktifitas yang mensejahterakan warga masyarakat.

Salah satu tantangan utama Polri ke depan adalah menciptakan polisi masa depan, yang mampu secara terus-menerus beradaptasi dengan perkembangan sosial, budaya, ekonomi dan politik. Polisi harus dapat menjadi mitra. Memahami atau cocok dengan masyarakat, menjadi figur yang dipercaya sebagai pelindung, pengayom dan penegak hukum.

Di samping itu sebagai pribadi dapat dijadikan panutan masyarakat dan mampu membangun simpati dan kemitraan dengan masyarakat. Polri dalam hal ini harus membangun interaksi sosial yang erat dan mesra dengan masyarakat, yaitu keberadaannya menjadi simbol persahabatan antara warga masyarakat dengan polisi dengan mengedepankan dan memahami kebutuhan adanya rasa aman warga masyarakat, yang lebih mengedepankan tindakan pencegahan kejahatan (crime prevention).

Paradigma baru Polri tersebut menjadi kerangka dalam mewujudkan jati diri, profesionalisme dan modernisasi Polri sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat, berada dekat masyarakat dan membaur bersamanya. Inilah paradigma yang dikenal sebagai community policing.

Model community policing ini telah diatur dalam Surat Keputusan Kapolri No.Pol: Skep/737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005 tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.

Community Policing adalah bentuk polisi sipil untuk menciptakan dan menjaga keamanan dan ketertiban dalam masyarakat yang dilakukan dengan tindakan-tindakan : (1) Polisi bersama-sama dengan masyarakat untuk mencari jalan keluar atau menyelesaikan masalah sosial (terutama masalah keamanan) yang terjadi dalam masyarakat. (2) Polisi senantiasa berupaya untuk mengurangi rasa ketakutan masyarakan akan adanya gangguan kriminalitas, (3) Polisi lebih mengutamakan pencegahan kriminalitas (crime prevention), (4) Polisi senantiasa berupaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Penerapannya dengan mengedepankan untuk senantiasa memperbaiki dan menjaga hubungan antara polisi dengan warga komuniti sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing.

Hubungan polisi dengan warga komuniti dibangun melalui komunikasi dimana polisi bisa menggunakan dengan kata hati dan pikirannya untuk memahami berbagai masalah sosial yang terjadi maupun dalam membahas masalah yang bersifat lokal dan adat istiadat masyarakat sukubangsa setempat.

Model community policing dapat dianalogikan bahwa posisi polisi adalah dapat berpindah secara fleksibel yaitu ; 1) Posisi setara antara polisi dengan warga komuniti dalam membangun kemitraan dimana polisi bersama-sama dengan warga dalam upaya untuk mencari solusi dalam menangani berbagai masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat. 2) Posisi di bawah adalah polisi berada di bawah masyarakat yaitu polisi dapat memahami kebutuhan rasa aman warga komuniti yang dilayaninya, dan 3) posisi polisi di atas yaitu polisi dapat bertindak sebagai aparat penegak hukum yang dipercaya oleh warga masyarakat dan perilakunya dapat dijadikan panutan oleh warga yang dilayaninya.

Tugas Polisi yang mencakup tugas perlindungan, pengayoman dan pelayanan disamping tugasnya sebagai alat negara penegak hukum membuka format yang lebih luas kearah pemberdayaan masyarakat. Namun demikian dalam operasional Polmas adalah dalam lingkup wilayah yang kecil (Kelurahan atau RW) dengan tetap menitik beratkan kepada orientasi pada masyarakat yang dilayaninya (polisi cocok dengan masyarakat). Dalam penyelenggaraan tugas Polri community policing akan dikenal dengan istilah Polmas (Perpolisian masyarakat) .

Paradigma baru ini didasari oleh kenyataan bahwa sumber daya manusia kepolisian yang terbatas tidak mungkin mengamankan masyarakat secara solitair atau seorang diri. Polisi membutuhkan peran serta masyarakat dalam menjaga keamanan dan ketertiban.

Syarat utama dari paradigma baru ini adalah terjalinnya kedekatan hubungan antara polisi dan masyarakat. Tepatnya, kemitraan yang harmonis dan upaya – upaya untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat khususnya yang berkaitan dengan keamanan dan rasa aman warga masyarakat.

Melalui konsep Polmas, kemitraan yang terjalin antara anggota Polri digaris depan dengan masyarakat yang berada dalam kawasan tugasnya, akan sangat mendukung dan memberikan kontribusi bagi keberhasilan anggota Polri tersebut menyelesaikan setiap masalah sejak dini.

Namun begitu, penerapan Community Policing atau perpolisian masyarakat ini tidak bisa diterapkan dengan sistem baku, yaitu sistem yang sama untuk semua provinsi di Indonesia. Karena, Bangsa Indonesia bersifat multicultural. Dimana keragaman budaya, adat istiadat dan bahasa, menjadi rmasalahan untuk menerapkan polmas secara baku.

Keberagaman Indonesia ini menjadi tantangan tersendiri bagi kepolisian dalam mengimplementasikan polmas secara menyeluruh. Berbagai perbedaan disetiap daerah merupakan situasi yang harus dipikirkan Polri. Apalagi ditambah dengan kondisi tingkat ekonomi, pendidikan dan strata yang ada dalam masyarakat, implementasi polmas sudah harus melihat sisi kedaerahan atau kondisi lokal. Karena, apabila salah penangan polmas tidak akan bisa diterima oleh masyarakat yang masih kental akan adat istiadatnya.

Dengan melihat keanekaragaman ini, kepolisian dapat mencari solusi setiap permasalahan yang terjadi dalam masyarakat, sehingga berbagai kemungkinan dan isu-isu negatif, kemungkinan–kemungkinan terjadinya konflik, dapat diketahui dan dicari solusinya untuk kepentingan bersama, khususnya dalam hal mewujudkan partnership building dan mendukung Kamdagri.

Dalam upaya Kepolisian Negara Republik Indonesia membangun kepercayaan (trust building) masyarakat maka perlu diterapkan suatu perpolisian yang memasyarakat, membumi, demokratis, dan sarat dengan nilai-nilai budaya bangsa.

Namun pelaksanaan polmas ini hendaknya dapat melihat pada karakteristik suatu daerah, budaya, agama dan pranata sosial setempat. menurut Endang Poerwanti, nilai-nilai budaya sebagai manifestasi dinamika kebudayaan tidak selamanya berjalan secara mulus. Permasalahan silang budaya dalam masyarakat majemuk (heterogen) dan jamak (pluralistis) seringkali bersumber dari masalah komunikasi, kesenjangan tingkat pengetahuan, status sosial, geografis, adat kebiasaan dapat merupakan kendala.

Karena itu, pelaksanaan polmas dengan kearifan lokal mutlak diperlukan karena akan menjadi formulasi yang baik. Formulasi yang dihasilkan akan memberi gambaran dan pemahaman kepada kepolisian tentang kondisi daerah setempat sehingga Kamdagri yang telah dicanangkan kepolisian dapat terealisasi dengan baik.

Parsudi Suparlan (2004), menyatakan bahwa polisi untuk dapat memperoleh kepercayaan dari anggota-anggota komuniti harus dapat memahami corak kehidupan dalam komuniti tersebut. Beliau mengatakan bahwa dengan memperhatikan corak kehidupan warga dalam kelompok-kelompok sosial dan dalam komuniti-komuniti.

Sebagaimana sasaran dan tujuan Polmas, yaitu membangun dan meningkatkan pemahaman masyarakat dan polisi, mengenai keanekaragaman budaya, suku, maupun ras yang ada di masyarakat setempat.

Beberapa pendekatan melalui kearifan lokal yang dapat dilakukan kepolisian diantaranya adalah :

1. Pendekatan Agama

Implementasi Polmas melalui pendekatan agama merupakan salah satu kunci keberhasilan polmas. Sebagaimana dinyatakan KH Hasyim Muzadi (2009), beragama yang benar akan membuahkan sikap toleransi serta inklusif dengan berbagai perbedaan. Pendekatan subtansi ini akan mendekatkan antara agama dan Indonesia.

Untuk implementasi di Provinsi Aceh misalnya, tentu tidak akan bisa sama penerapannya dengan Provinsi Bali. Perbedaan mayoritas agama di kedua provinsi ini tentu dibutuhkan implementasi yang berbeda.

Bali mayoritas penduduknya beragama hindu, tentu tidak dapat menerapkan sistem kerja polmas di Padang. Demikian halnya sebaliknya. Perbedaan-perbedaan subtansial ini dapat menjadi pijakan Polri untuk mencari solusi dalam mengimplementasikan polmas dalam masyarakat.

Di Aceh bahkan, penerapan polmas juga melibatkan lembaga poendidikan dayah. Dayah merupakan lembaga pendidikan agama telah berakar kuat dalam perjalanan agama di Aceh.

Lalu bagaimana jika satu daerah memiliki multi agama, maka dapat dilakukan dengan mempertemukan tokoh-tokoh agama setempat. Berdialog dan berdiskusi bagaimana perapan polmas. Dari hasil musyawarah tersebutlah maka polmas akan mudah dilaksanakan ditengah-tengah kehidupan masyarakat yang multi agama. Melibatkan tokoh agama akan meminimalisir perbedaan-perbedaan yang mungkin akan timbul dalam pelaksanaan polmas.

2. Pendekatan Bahasa

Harus difahami, pendekatan bahasa merupakan faktor penting dalam keberhasilan polmas. Bahasa, secara tidak langsung akan memudahkan jalinan komunikasi antara personel kepolisian dengan masyarakat setempat.

Dalam penjelasan www.wikipedia.org, pendekatan bahasa merupakan salah satu cara untuk mengetahui kondisi dari masyarakat setempat. Bahasa merupakan sarana pendekatan paling efektif.

Untuk itu, setiap personil kepolisian yang terlibat dalam polmas, diharapakan faham dan mampu berbahasa daerah dimana dia bertugas agar memudahkan komunikasi. Karena, harus diakui, masih banyak masyarakat Indonesia di pedalaman yang belum faham dan tidak mengerti dengan bahasa Indonesia.

Memahami bahasa daerah setempat secara tidak langsung akan mendekatkan kepolisian dengan masyarakat. Interaksi sosial akan lebih mudah tercapai dengan bahasa daerah.

Sebagaimana salah satu sasaran dan tujuan forum kemitraan polisi dan masyarakat (FKPM) adalah mempererat hubungan dan meningkatkan komunikasi antara polisi dan masyarakat. Apabila bahasa setempat tidak mampu dimengerti oleh personil kepolisian, tentu tujuan ini akan sulit tercapai.

3. Pendekatan Adat Istiadat

Pendekatan khusus ini menjadi penting dalam implementasi polmas. Karena, hingga kini masih banyak daerah-daerah di Indonesia yang tetap menggunakan hokum adat dalam menyelesaikan sebuah permasalahan.

Selama ini, institusi adat di berbagai daerah telah banyak terbentuk namun banyak juga yang tidak berjalan. Untuk itu, kehadiran polmas akan memaksimalkan tugas dan peran adat yang sudah terbentuk tersebut.

Jika lembaga atau istitusi adat dapat berjalan, maka secara tidak langsung akan mendukung keamanan dalam negeri yang diharapkan oleh polri.

Di Provinsi Aceh misalnya, lembaga adat sudah terbentuk sejak lama. Herman RN (2009), salah seorang aktivis jaringan Komunitas Adat (JKMA) menyatakan bahwa, yang memahami tentang masyarakat di suatu tempat adalah orang-orang yang dipilih oleh masyarakat setempat, yang telah berbaur bersama masyarakat setempat.

Pernyataan tersebut dibenarkan oleh pendapat Hendra Fadli (2007), bahwa implementasi polmas tidak harus diseragamkan dengan model yang berlaku di provinsi lain, apalagi secara historis komunitas Aceh memiliki kecenderungan sulit untuk beradabtasi dengan hal-hal baru yang berpotensi mereduksi fungsi tatanan sosial yang telah ada.

Aceh sendiri memiliki lembaga adat yang telah diakui pemerintah setempat, yaitu Tuha Peut. Yaitu sekumpulan orang yang dituakan karena memiliki beberapa kelebihan.

Kondisi yang sama juga terjadi di Papua dan Irian Jaya. Implementasi polmas dengan pendekatan adat mutlak diperlukan. Posisi adat di masih sangat kuat.

4. Memahami Karakteristik Masyarakat Lokal

Multikultural Indonesia memang harus difahami secara mendalam oleh setiap personil kepolisian yang bertugas dalam polmas. Perbedaan karakter masyarakat antara satu provinsi dengan provinsi lainnya sangat penting difahami dan dipelajari.

Personel kepolisian yang bertugas di daerah hendaknya melihat dan memahami karakteristik masyarakat setempat. Karakteristik masyarakat yang keras tentu berbeda menghadapinya saat bertemu dengan karakteristik masyarakat yang santun.

Masyarakat Papua memiliki karakteristik tersendiri, begitupun dengan masyarakat Bugis dan karakteristik masyarakat di provinsi lainnya. Semuanya memiliki karakteristik yang berbeda-beda.

5. Psikologi Sosial Masyarakat

Selain masalah agama, adapt istiadat, bahasa dan karakteristik masyarakat, implementasi polmas hendaknya juga melihat psikologis sosial masyarakat.

Kondisi psikologi masyarakat yang belum stabil akan mempengaruhi implementasi dilapangan. Apalagi jika psikologis social tersebut masih berkaitan dengan unsusr kepolisian atau aparat keamanan, tentu perlu penanganan khusus agar masyarakata mampu menjali kerjasama dan dapat membuka diri.

Ambon contohnya. Kekerasan berdarah yang pernah terjadi dan meluluhlantakkan provinsi ini tentu belum dapat terhapus tuntas dalam bayangan masyarakatnya. Beban psikologi ini harus difahami personil kepolisian yang bertugas.

Selain itu ada Papua. Hingga kini, konflik antar suku kerap terjadi dalam kehidupan mayarakat setempat. kondisi psikologis ini sangat labil dan rentan bagi implementasi polmas. Setiap personel kepolisian harus benar-benar memiliki kapasitas dan cavabilitas yang mumpuni dalam mengimplementasikan polmas di Papua.

Begitu juga dengan Provinsi Aceh. Konflik berkepanjangan yang sempat melanda Aceh, ditambah bencana maha dahsyat tsunami tahun 2004 silam tentu masih meninggalkan trauma mendalam bagi masyararakat. Selain harta benda, korban nyawa juga tak terhitung.

6. Pendekatan Ekonomi Masyarakat Berbasis Lokal

Permasalah ekonomi masyarakat menjadi salah satu pilar keberhasilan implementasi polmas. Tatanan ekonomi yang berbeda antara satu daerah dengan daearah lainnya juga bagian dari kerifan local yang harus difahami personel.

Kegiatan masyarakat yang terlibat langsung dengan hutan dan laut, adalah usaha masyarakat dalam meningkatkan perekonomian keluarga. Lahan pekerjaan tersebut diakui sangat rentan terhadap penyalhgunaan dan penyelewengan, khususnya dari oknum-oknum tertentu.

Masyarakat masih banyak yang menerapkan tanah ulayat dan tanah adat yang dikelola secara bersama-sama. Bahkan, tidak sedikit dari permasalahan lahan ini menjadi pemicu konflik antara warga. Peran polmas sangat dibutuhkan.

Kepolisian harus mempu menjembatani kelompok-kelompok ekonomi di daerah yang telah terbentuk. Termasuk kelompok-kelompok ekonomi yang dibentuk oleh lembaga-lembaga independent, tentunya memiliki perbedaan dalam hal pengelolaan ekonomi kedaerahan, khususnya yang terkait dengan ekonomi dari sumber daya hutan dan laut.

Apalagi, Polmas sendiri akan mengupayakan agar dapat menginisiasi kelompok usaha ekonomi berbasis potensi lokal, yang sebagian hasilnya diharapkan dapat dimanfaatkan untuk menunjang operasional Polmas.

Hal ini sesuai dengan sasaran dan tujuan polmas, yaitu Membangun kerja sama dengan kelompok bisnis, serta kelompok-kelompok maupun organisasi-organisasi setempat guna meningkatkan kepedulian dan kerja sama dalam menjaga dan mewujudkan kamtibmas dan kepentingan bersama.

7. Memahami Politik Lokal

Perkembangan perpolitikan di Indonesia diakui semakin mengalami perbaikan. Selain partai politik nasional, sebagain daerah juga memiliki karakteristik politik yang berbeda. Aceh misalnya, selain partai nasional, kehadiran partai local juga menjadi daya tarik tersendiri dalam dunia perpolitikan di Indonesia.

Kehadiran partai politik lokal di Aceh telah memberi pelajaran kepada siapapun, bahwa dinamika politik bersifat dinamis. Dari perpolitikan Aceh ini, akhirnya meluas dan layak diterapkan di daerah lain, walaupun bukan dalam bentuk partai politik. Melainkan dalam hal calon perseorangan untuk menjadi pimpinan daerah. Sebuah perubahan yang sangat signifikan. Karena, selama ini, pimpinan daearah hanya bisa diusulkan dari partai politik peserta Pemilu.

Pasca keputusan revisi terbatas UU Nomor 32 Tahun 2004 khususnya mengenai diperbolehkannya calon perseorangan untuk ikut berkompetisi, menurut Wahyurudhanto (2009), tentu saja akan membuat dinamika politik lokal mempunyai warna baru. Ada hal yang sangat spesifik dalam pemilihan kepala daerah. Yang pertama, kampanye Pilkada akan selalu mengangkat isu lokal Saat ini telah terjadi pergeseran dalam paradigma kampanye di Indonesia. Jika dulu kampanye hanyalah sarana untuk meyakinkan pemilih, kini kampanye sudah merupakan komunikasi politik dan pendidikan politik.

Wahyurudhanto menambahkan, isu kampanye dan komunikasi politik dalam kampanye yang tidak tepat akan menyebabkan ketersinggungan pada kelompok-kelompok di daerah. Hal ini ditunjukkan dengan isu-isu yang diangkat selalu merupakan isu yang bisa membawa kebanggaan daerah, baik dalam kesejahteraan maupun semangat kebanggaan atas kepopuleran daerah.

Selain itu, terkait dengan revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 perihal calon independen, maka antisipasi konflik akibat dinamika politik lokal yang tidak terkendali harus bisa sejak awal “dibaca” oleh Polri selaku penanggung-jawab keamanan dalam negeri.

Implementasi Polmas melalui optimalisasi deteksi dini oleh petugas polmas dan masyarakat merupakan langkah yang tepat dalam situasi seperti sekarang ini, karena petugas Polmas akan bisa secara intensif berfungsi melakukan pengumpulan bahan keterangan terhadap dinamika dan perubahan masyarakat yang meliputi aspek statis dan dinamis dalam kehidupan masyarakat.

2. Indikator Pendukung

Implementasi Polmas melalui kearifan lokal diakui memiliki berbagai keuntungan bagi keberlangsungan Polmas. Namun, untuk mencapai semua tujuan ini, selain melihat multikultural bangsa Indonesia, terdapat beberapa faktor pendukung yang sangat mempengaruhi.

Faktor-faktor pendukung ini sudah seharusnya disiapkan oleh Polri guna mencapai sasaran dan tujuan implementasi polmas. Diantara faktor-faktor pendukung tersebut adalah faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor internal merupakan faktor dari kepolisian sedangkan faktor internal adalah faktor dari masyarakat yang multikultural.

A. Faktor Internal

* Kurangnya SDM personil, baik secara kualitas maupun kuantitas.
* Belum adanya sebuah lembaga pendidikan di tingkat provinsi untuk meningkatkan pemahaman tentang suatu daerah. Seperti adat istiadat, bahasa dan lain sebagainya.
* Anggaran yang masih terbatas dalam membentuk sebuah lembaga pelatihan seperti poin a.
* Banyaknya personil kepolisian yang tidak memahami kultur masyarakat setempat.
* System informasi yang minim. Pihak kepolisian di tingkat provinsi belum membuat sebuah buku khusus tentang kepolisian di daerah masing-masing, sebagaimana yang telah dibuat oleh Polda Aceh, yaitu Professionalism, Courage and Dignity. Buku ini menjadi pegangan yang sangat baik bagi personil kepolisian di Aceh.
* Secara kultur anggota masih bersikap militeristik, arogan, diskriminatif, tidak tepat waktu dan lain-lain.

B. Faktor Eksternal

Beberapa faktor eksternal yang harus dilihat oleh setiap personil kepolisian yang terlibat polmas adalah :

* Tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah di beberapa daerah di Indonesia.
* Tingkat ekonomi masyarakat setempat.
* Strata sosial masyarakat yang kuat.
* Faktor psikologis masyarakat karena berbagai hal, seperti konflik dan bencana.

Dari pemaparan dan penjelasan diatas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Multikultural Negara Indonesia menjadi tantangan tersendiri bagi Polri dalam implementasi Polmas. Keragaman bahasa, budaya dan adat-istiadat menjadi agenda utama bagi implementasi polmas.

1. Perlunya pendekatan khusus di berbagai daerah dengan karakteristik masing-masing, melalui :
* Pendekatan Agama
* Pendekatan Bahasa
* Pendekatan Budaya dan Adat Istiadat
* Memahami Karakteristik Lokal
* Psikologi Sosial Masyarakat
* Pendekatan Ekonomoni Masyarakat Lokal
* Memahami Pelpolitikan Lokal

1. Indikator pendukung dalam implementasi polmas mengacu pada kearifan lokal ada dua. Yaitu faktor eksternal dan faktor eksternal. Kedua faktor ini sangat menentukan keberhasilan polmas, serta dapat menjadi rujukan bagi setiap personil kepolisian yang terlibat.

2. Saran

Guna memaksimalkan implementasi polmas melalui kearifan lokal, untuk itu diperlukan sebuah kerja sama yang berkesinambungan. Untuk itu, kepolisian diharapkan :

1. Dapat meningkatan kapasitas personil kepolisian guna memahami permasalah dan kondisi lokal.

2. Memberi pelatihan khusus bagi personil kepolisian yang terlibat polmas guna mempermudah komunikasi dengan masyarakat setempat. khususnya dalam hal penguasaan bahasa daerah setempat.

Faisal Abdul Naser

VN:F [1.9.4_1102]
Rating: 0.0/10 (0 votes cast)
VN:F [1.9.4_1102]
Rating: 0 (from 0 votes)
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  

Short URL: https://detak-unsyiah.com/?p=1457

Posted by redaksi on Oct 24 2010. Filed under OPINI / Artikel. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response or trackback to this entry

Leave a Reply

Share It

  • Digg It
  • Del Icio Us
  • Add to Facebook
  • Google Bookmarks
  • Stumble It
  • Add to Reddit
  • Print This Post

Recently Commented