Devy Alya Pratama | DETaK
Darussalam — Diskusi publik di ruang Video Conference Fakultas Hukum (FH) Unsyiah dengan tema “Mengembalikan Tujuan Suci Pembentukan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA)” disambut baik oleh mahasiswa. Selasa, 25 April 2017.
Wakil Dekan (WD) III FH mengatakan bahwa seminar kali ini membahas apakah UUPA telah diimplementasikan dalam pemerintahan Aceh.
“Hari ini kita akan membahas apakah item-item atau norma-norma yang ada di dalam UUPA itu sudah diimplementasikan dalam operasional pemerintahan kita,”. ungkapnya.
UUPA merupakan Undang-Undang (UU) yang memang didapat setelah perjuangan yang begitu keras dari pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) melalui konflik selama kurang lebih 30 tahun.
Seperti yang diketahui ketidakpuasan rakyat Aceh muncul ketika pemerintah pusat dirasa berlaku tidak adil kepada Aceh.
Namun seiring berjalan waktu, aturan yang ada didalam UUPA sendiri tidak dirasa mengcover permasalahan yang ada. Sampai saat beberapa waktu lalu, pasal yang ada di dalam UUPA digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pasal 67 UUPA memuat tentang syarat pencalonan gubernur dan wakil gubernur. Calon yang dimaksud tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara minimal 5 (lima) tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali tindak pidana makar atau politik yang telah mendapat amnesti/rehabilitasi.
Pasal ini di cabut melalui Judical Review oleh salah satu calon Gubernur kemarin. Bahkah sebelumnya pasal 256 UUPA tentang calon independen juga dibatalkan oleh MK.
“UUPA ini adalah UU yang melibatkan begitu banyak stakeholder, UU ini lahir karena kebutuhan. Secara formal UU ini lahir karena MoU Helsinki, namun sebenarnya MoU Helsinki merupakan jalan lahirnya UU ini” papar Mawardi Ismail (Akademisi FH).
Sebenarnya UUPA itu mempunyai 4 draf. Salah satunya draf dari GAM. Nurzahri (DPRA) mantan aktivis GAM mengatakan bahwa tujuan awal UUPA itu sudah hilang arah.
“Karena UUPA tidak sejalan dengan MoU Helsinki. Perlu diketahui MoU itu tidak diratifikasi, karena itu ketika tidak sejalan dengan MoU, UUPA tidak bisa digugat. Maka dari itu saya setuju UUPA harus direvisi dan mari kita samakan tafsir terkait UUPA ini,” jelasnnya.
M. Nazar, perwakilan Lembaga Wali Naggroe Aceh mengatakan bahwa setelah lahirnya UUPA, pelaksanaannya tidak sesuai.
“Lihat saja sudah 2 kali Pilkada, semakin lama, kita semakin tidak sepakat dengan UUPA. Contoh lain, didalam UUPA, MoU Helsinki dan Qanun ada disebutkan mengenai Lembaga Wali Nanggroe namun operasional Wali Nanggroe sendiri itu baru berjalan 2016 kemarin,” ungkanya.
Diskusi mengarah pada pelaksanaan UUPA yang ditunggangi pelakon-pelakon politik.
“Ngon politik jeut peuhanco hukom (dengan politik hukum itu bisa hancur), Hukom han ie peuanco politik tapi politik yang ie peuanco hukom (hukum tidak menghancurkan politik, namun politik yang menghancurkan hukum),” papar Apa Karya.[]
Editor: Dhenok Megauwlandari