Oleh: Rahmat Taufik
Dari bencana, mereka belajar hidup harmoni bersama alam. Sebuah cerita tentang masyarakat yang mampu memetik pelajaran dari kisah pilu para indatu. Kearifan lokal yang diakui dunia.
Laut di depan kami. Bukit rimbun dengan pohon menjulang di belakang. Selain panorama alam, Salur kian memesona dengan keramahan masyarakatnya.
Ini hari kedua kami di Simeulu. Selama di sini kami menginap di Salur, sebuah kecamatan arah timur Sinabang, ibu kota Kabupaten Simeulu. Dari Sinabang, butuh setidaknya sejam perjalanan menggunakan sepeda motor ke sini, dengan kecepatan rata-rata 60 kilometer per jam.
Salur, seperti banyak wilayah lain di kabupaten berjuluk Atee Fulauan itu, adalah wilayah pesisir. Masyarakat menggantungkan hidup di laut. Kapal-kapal nelayan yang banyak kami jumpai dalam perjalanan ke sini sudah cukup menjelaskanya.
Selain hasil laut, Salur juga terberkahi dengan tanahnya yang subur. Cengkeh tumbuh baik di sini. Aromanya khas, menyengat dari cengkeh kering yang dijemur di halaman rumah warga di kecamatan ini. Kami beruntung datang pada musim panen rempah-rempah yang digilai Negara kolonialis pada abad pertengahan dulu itu.
Salur juga punya sisi historis penting di daerah kepulauan itu. Konon, melalui daerah inilah Islam masuk ke Simeulu. Mesjid Jamik Salur, menurut masyarakat di sana, adalah mesjid pertama dan tertua di Simeulu.
Jumat pagi menjelang siang itu, kami duduk di sebuah warung makan, di tepi jalan yang menghubungkan Simeulu Tengah dengan Sinabang. Selain saya dan Nasir, juga ada Hussein dan anak bungsunya. Kami sedang menanti sang empunya warung, Kaharuddin. Darinya, kami ingin mendengar banyak cerita.
Husein ini masih saudara sepupu teman saya Nasir. Saya menerka umurnya sekitar 40 tahunan, merupakan warga asli Meulaboh, Aceh Barat. Sudah lebih 15 ia tahun merantau ke Simeulu. Awalnya untuk mencari penghidupan, kini Husein sudah menetap dan berkeluarga di Simeulu.
Kami harus berterima kasih banyak pada Hussein ini. Selama di Simeulu, di rumahnyalah kami diberikan tempat menginap. Makan kami juga ditanggungnya. Gratis. Kami berutang budi banyak padanya.
Kaharuddin adalah pemangku adat di Salur ini. Ia tokoh yang dituakan masyarakat. Meski tak menempuh pendidikan formal tinggi, menurut Hussein, Kahar adalah orang yang tepat untuk ditanyai soal sejarah Simeulu. Termasuk soal smong 1907.
***
Teh manis di depan saya tersisa setengah gelas. Sudah sekitar setengah jam kami menunggu di warung ini. Di sela-sela menunggu, saya mengambil beberapa lembar foto untuk dokumentasi perjalanan.
Menjelang pukul setengah sebelas, Kahar datang. Wajahnya sudah mulai berkeriput, menampakkan usianya yang sudah menginjak kepala tujuh. Ia lahir tiga tahun sebelum Indonesia merdeka.
Pun demikian, semangatnya bangkit kembali kala diajak berbicara soal smong 07. Nada bicaranya meninggi, menyiratkan antusiasme yang tinggi. Sejenak, saya lupa umurnya sudah 71 tahun.
“Itu cerita kuno,” katanya. “Kalau saya cerita sama masyarakat, mereka sering bilang tak usah mengungkit-ngungkit lagi cerita kuno.”
Kata Kahar, sudah jarang ada orang yang mau mendengar cerita itu. Di warung-warung kopi, kala Kahar bercerita soal Smong 07 itu, generasi yang lebih muda tak lagi terlalu menghiraukan cerita itu. Makanya ketika kami datang, ia begitu bersemangat bercerita.
Riwayat smong 07 adalah riwayat tentang bencana tsunami yang pernah menimpa Simeulu pada masa lalu. Smong sendiri adalah sebutan bahasa lokal yang merujuk kepada ombak laut besar yang menerjang daratan. Sedangkan 07 merujuk kepada tahun 1907, saat bencana itu menimpa masyarakat Simeulu.
“Saya mengetahuinya dari angku Alimuddin, kakek saya,” kenang Kahar.
Kahar kecil adalah anak yang punya rasa penasaran yang tinggi. Ia masih fasih mengingat betapa ia menyukai memijit kaki sang kakek. Sebagai imbalan, angku Alimuddin secara sukacita berbagi kisah hidupnya, termasuk saat mengalami smong 07.
Menurut cerita angku-nya, kisah Kahar, smong 07 terjadi pada hari Jumat. Seperti pada tsunami 2004, smong itu juga disertai linon (gempa) besar. Linon bahkan terjadi secara berturut-turut tujuh hari lamanya sebelum Jumat itu. Namun, linon paling besar terjadi sesaat sebelum smong itu datang.
Terjangan smong itu menelan banyak korban jiwa. Penyebabnya, mereka berduyun-duyun ke laut untuk memungut ikan yang menggelepar demi melihat air laut yang surut sesaat setelah linon besar. Akibatnya, saat smong menerjang, mereka tak punya waktu yang cukup untuk evakuasi ke tempat yang lebih tinggi. Kiranya, kisah ini identik dengan cerita tsunami Aceh 2004 lalu, yang juga menelan amat banyak korban jiwa.
Jangan bayangkan smong 07 di Simeulu sama dengan tsunami 2004. Takkan ada bantuan besar yang datang, tak ada masa tanggap darurat. Juga tak ada lembaga rehabilitasi dan rekonstruksi. Di pulau itu, mereka terisolasi. Sendiri.
Penderitaan masyarakat Simeulu pada saat itu kian bertambah karena smong ikut merusak lahan pertanian. Sawah-sawah gagal panen, mengakibatkan terjadinya krisis pangan. Masyarakat juga makin merana karena bantuan dari luar pulau tak ada.
Kisah pahit itu begitu membekas dalam memori masyarakat. Kahar ingat betul betapa kakeknya berpesan agar segera menjauh dari laut ketika terjadi linon. “Lihat laut, kalau airnya surut berarti akan ada smong,” pesan Kahar mengenang petuah kakeknya dulu.
***
Komplek kuburan itu ada di sebuah kebun di belakang sebuah rumah di Simeulu Tengah. Ilalang tumbuh meninggi. Beberapa pohon keras juga ada di sana. Suasananya cukup adem dan tenang.
Sinyal Telkomsel kurang bagus di sini. Beberapa kali saya mengecek layar hp, dan beberapa kali pula sinyal di layar hp saya muncul dan hilang. Seorang warga mengingatkan, “sinyalnya memang kurang bagus, Dek. Tolong ditulis, ya…agar dibangun tower di sini.”
Nyaris tidak bisa menandai kuburan kalau tidak ada batu nisan di kepala dan kaki liang lahat. Gundukan yang biasanya ada di setiap kuburan kini sudah rata dengan tanah sekitarnya. Rumput sudah menghijau rata di atas liang-liang kubur itu.
Ini adalah komplek kuburan keluarga Rawianah. Almarhum ayahnya, Cut Banda, dimakamkam di sini. Kami menziarahinya Sabtu, 25 Mei 2013 lalu, satu hari setelah kami menemui Kaharuddin di Salur.
Di makam itu, beberapa lama kiranya Rawianah mencari kuburan almarhum Cut Banda. Ia tidak lagi ingat persis letaknya. Beberapa nisan diperiksanya, diusap-usap ukirannya yang mulai tertutupi debu. Sejenak mencari, makam itu ketemu juga. Sepotong fatihah kami kirimkan untuk almarhum ayahnya itu.
Seperti halnya Kaharuddin, Rawianah ini adalah orang yang juga menerima kisah smong 07 dari sumber pertama. Ayahnya, almarhum Cut Banda ini, mengalami langsung bencana tsunami yang melanda Simeulu pada 1907 silam. Ia mewariskan riwayat bencana itu kepada anaknya untuk terus dilanjutkan ke cucu-cicitnya kelak.
Rawianah adalah perempuan kelahiran Kampung Aie, Simeulu Tengah, 1947 silam. Namun kini, ia menetap di Simeulu Timur, bersama salah seorang anaknya. Dari Kampung Aie tempatnya lahir dan tumbuh, kira-kira butuh setidaknya dua sampai tiga jam perjalanan menggunakan sepeda motor ke tempat tinggalnya kini.
Kisah Rawianah setali tiga uang dengan cerita Kahar. Ayahnya masih remaja belasan tahun saat bencana itu menerpa. Ia sedang berkebun bersama pamannya. Saat smong menerjang, mereka selamat dengan memanjat pohon tinggi.
Dan seperti juga Kahar, Rawianah tak pernah lelah mengingatkan anak cucunya tentang riwayat smong. Dari cerita sederhana itu, ia berharap agar penerusnya kelak memiliki kesadaran yang tinggi untuk mempelajari pola datangnya bencana, untuk kemudian melakukan langkah antisipasi untuk menghindarinya.
***
Jarak Kota Padang, Simeulu Timur, dengan tempat kami menginap di Simeulu sebenarnya tidak jauh: hanya sekitar dua jam perjalanan. Namun kondisi seperti ini membuatnya berbeda: ini pada malam hari. Kami berada pada tempat yang belum pernah kami kunjungi sebelumnya. Untuk pulang butuh waktu setidaknya dua jam, melewati jalanan aspal yang berlubang di sana sini, sepi, dan tak tertebak. Sebagiannya melewati tepi hutan, tepi laut, dan berkilo-kilo tanpa melihat satu pun rumah penduduk.
Dalam kondisi seperti itulah kami menjumpai Safran, warga asli Kota Padang. Ia masih merupakan kakak kelas Rawianah saat sekolah dulu. Perjumpaan kami dengannya adalah hasil dari rekomendasi Rawianah ini.
Kami menjumpainya selepas magrib, setelah menikmati sunset di Teluk Teungku Di Ujong. Selepas zikir yang panjang, kami menyapanya di sebuah masjid di Kota Padang. Sejenak berbicara di masjid, kami diajak bertandang ke rumahnya.
Safran punya ikatan temali yang kuat dengan kisah bencana smong 1907, bahkan mungkin melebihi Kaharuddin dan Rawianah. Keluarga Datok Halim Muhammad, pria yang kelak menjadi ayahnya, ikut menjadi korban langsung smong 1907. Ibu dari Datok Halim Muhammad ini, Ti Arinah (yang juga berarti neneknya Safran) meninggal dalam bencana ini.
Kisah Ti Arinah dan Datok Halim Muhammad itu adalah kisah yang amat pilu. Datok ditemukan warga dalam keadaan tak sadar di atas gelondongan kayu yang terbawa terjangan smong. Tepat di bawahnya, tergeletak mayat Ti Arinah.
Safran kini sudah berusia 67 tahun. Dalam usianya yang sudah senja, ia sudah kenyang dengan pengalaman mengalami gempa. Pengalaman kakenya dulu membuatnya awas. Setidaknya, empat kali ia pernah mengungsi ke gunung sebagai langkah antisipasi tsunami usai gempa besar.
Ia ingat tahun 1950 harus mengungsi ke Gunung Latak Ayah usai gempa besar. Juga tahun 1961, saat 1 hari terjadi 12 kali gempa. Takut terjadi smong, tiga hari lamanya Safran dan warga lainnya harus kembali tinggal di gunung. Hal yang sama terjadi pada 2002 dan 2006, mereka kembali ke gunung lantaran gempa.
***
Kami sedang di sebuah warung kopi di Simeulu. Bukan warung kopi yang mewah, tentu saja, tapi juga tidak terlalu sederhana. Sebuah warung kopi satu pintu berkontruksi beton.
Masih bersama Nasir, berdua kami punya agenda untuk berjumpa dengan Ahmadi, seorang wartawan kawakan di Simeulu. Ini adalah saat kami bahkan belum mengenal Kaharuddin, Rawianah, serta Haji Safran. Tepatnya Kamis 23 Mei 2013 malam, hari pertama kami tiba di Simeulu.
Lalu kenapa Ahmadi?
Ide awal adalah suatu ketika di warung kopi ber-wifi di Banda Aceh (saya tidak ingat warung kopi yang mana, begitu banyak warung kopi ber-wifi yang pernah saya singgahi di sini), secara tanpa sengaja saya membuka sebuah link bacaan tentang kearifan lokal riwayat masyarakat Simeulu melalui seni tutur riwayat smong.
Pada kali lain, di portal atjehpost.com, saya juga membaca tentang Kampung Latiung, sebuah kampung mati yang telah ditinggal penghuni pascatsunami 2004 di salah satu sudut pesisir di Simeulu. Masyarakat kampung itu memilih menepi ke daerah yang lebih dalam. Jauh dari laut. Mereka menghindari kemungkinan datangnya tsunami pada masa yang akan datang.
Benang merahnya adalah kedua artikel itu sama-sama ditulis oleh Ahmadi.
Rasa penasaran saya membuncah. Saya ingin melihat langsung Kampung Latiung, juga menemui langsung narasumber Ahmadi dalam tulisannya mengenai riwayat smong itu. Maka dari itulah, perjalanan saya dan Nasir ke Simeulu bermula.
Ahmadi adalah wartawan kawakan. Saya terka, umurnya sudah lima puluhan tahun, atau setidaknya 40-an akhir. Ia pernah dipukuli dan diancam tembak oleh oknum militer karena liputannya yang mengungkap aksi pembalakan liar di Simeulu.
Malam itu, di sebuah warung kopi yang tak mewah juga tak terlalu sederhana itu, diskusi bersama Ahmadi berjalan hangat. Meski baru pertama kali berjumpa, Ahmadi secara sukarela berbagi cerita rakyat tentang smong, sebagaimana yang ia tahu dari cerita neneknya, serta narasumber tulisannya.
Dalam pandangan Ahmadi, selain cerita tentang duka, cerita tentang smong juga membawa Simeulu menjadi dikenal dunia. Karena cerita itu dan keberhasilan mereduksi dampak bencana tsunami 2004, Simeulu mendapat penghargaan Sasakawa Award oleh ISDR pada tahun 2005.
ISDR adalah singkatan dari International Strategy for Disaster Reduction, yakni sebuah lembaga di bawah PBB yang konsen terhadap upaya mengurangi dampak kerusakan akibat bencana.
Namun Ahmadi menyesali sikap pemerintah kabupaten yang dianggap kurang memberikan perhatian terhadap permasalahan tsunami itu. Padahal, menurutnya, Simeulu isa menjadi pusat kajian dunia soal bencana gelombang laut raksasa itu.
“Saban tahun, peringatan tsunami hanya menitikberatkan ke seremonialnya saja,” keluhnya.
Soal edukasi mitigasi bencana juga menjadi sorotannya. Masalah ini memang pernah diwacanakan masuk kurikulum pendidikan dasar, namun urung menjadi kenyataan. “Hingga kini, belum ada kurikulum tentang tsunami di sekolah.”
Dari Ahmadi juga, kami mendapat akses untuk bertemu dengan Rawianah. Rawianah memperkenalkan kami kepada Haji Safran. Sedangkan dengan Kaharuddin, kami diperkenalkan oleh Husein, empunya rumah tempat kami menumpang tidur dan makan gratis selama di Simeulu.
***
Kisah Kaharuddin, Rawianah, dan Haji Safran bisa jadi hanya kisah sederhana tentang pengalaman hidup ayah, nenek, atau kakek mereka. Tapi sebenarnya, kisah itu jauh lebih dari sebatas riwayat hidup yang terus diceritakan ke anak cucu belaka. Jika kita sedikit lebih jeli, kisah itu adalah kisah tentang kearifan lokal masyarakat Simeulu dalam ‘berdamai’ dengan bencana.
Kisah itu telah menjadi semacam early warning yang sangat efektif bagi masyarakat Atee Fulauan itu. Ketika gelombang pekat hitam mematikan itu kembali hadir pada 2004, ‘hanya’ enam warga Simeulu yang menjadi korban. Padahal kita tahu, lebih dari 200.000 orang meninggal dunia pada tsunami 2004 lalu, yang juga ditetapkan sebagai bencana internasional.
Tapi di Simeulu, masyarakat punya ingatan kolektif atas apa yang pernah menimpa leluhur mereka. Ya, kisah itu bukan hanya kisah keluarga Kahar, Rawianah, dan Safran. Kisah itu adalah kisah warga Simeulu secara keseluruhan. Kisah yang telah menjadi memori kolektif masyarakat dan membentuk kebudayaan mereka dalam mitigasi bencana; khususnya linon dan smong.
Maka tak heran ketika bencana smong berulang di Simeulu 2004 lalu, masyarakat Simeulu sudah tahu langkah antisipasi yang harus dilakukan. Begitu gempa besar terjadi, mereka langsung bergegas menjauh dari laut. Pengalaman pahit masa lalu –yang sebenarnya bukan menimpa mereka- menjadi pelajaran berarti.
***
Kita hidup di Indonesia, sebuah negara yang dilewati tiga lempeng tektonik besar sekaligus: lempeng Indo-Australia, lempeng Pasifik, dan lempeng Eurasia. Pergerakan ketiga lempeng itu membuat Indonesia menjadi daerah rawan gempa dan juga tsunami.
Karena itu, kita jelas memerlukan satu upaya tersistem untuk mereduksi dampak bencana yang bisa saja muncul secara tiba-tiba. Suatu sistem yang dapat memadukan sekaligus perkembangan mutakhir dengan kearifan lokal. Sebuah bentuk perpaduan naluri survival alamiah manusia yang selalu belajar dari alam serta hasil inovasi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Pada 11 November 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan sistem peringatan dini tsunami di gedung Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pusat di Jakarta. Sistem ini dinamai InaTEWS – Indonesia Tsunamy Early Warning System, yakni suatu sistem peringatan dini tsunami secara komprehensif.
Sistem ini bertugas mendeteksi gejala-gejala alam yang berpotensi menimbulkan tsunami, mencari lokasi pusat gempa, memprediksi kemungkinan kerusakan yang ditimbulkan, menentukan daerah yang akan terkena dampak tsunami, serta meminimalkan jumlah korban jiwa. Sistem ini juga diklaim mampu mengirimkan peringatan tsunami hanya berselang lima menit setelah gempa terjadi-tentu saja hanya jika gempa itu berpotensi tsunami. Dari sistem ini pula, dipetakan wilayah yang rentan terhadap tsunami di Indonesia, yakni Aceh, Sumatera Barat, Bengkulu, Banten, Bali, dan Cilacap.
Di Aceh, daerah yang kehilangan lebih dari 200.000 jiwa pada gempa dan tsunami 2004 silam, dibangun enam alarm peringatan dini tsunami. Empat di Banda Aceh, dan dua di Aceh Besar. Keberadaan perangkat ini tentu diharapkan mampu mengirim sinyal bahaya andai ancaman bencana itu hadir kembali.
Sayangnya, teknologi tak selalu dapat diandalkan.
Saya masih ingat, pada Rabu sore yang cerah, 11 April 2012, saat Banda Aceh kembali dilanda gempa besar 8,5 skala richter, alarm peringatan dini itu tak bekerja dengan baik. Masyarakat panik luar biasa. Kemacetan mengular. Masyarakat tak mendapat informasi yang cukup justru pada saat-saat yang genting. ‘Untung’ tsunami tak menerjang.
***
Tulisan ini adalah rangkaian terakhir dari tiga catatan perjalanan kami ke Simeulu. Agak telat memang, tulisan ini baru saya selesaikan 13 November, enam bulan sejak kunjungan kami ke kabupaten penghasil lobster itu. Ke[sok]sibukan dan aktivitas saya membuat ide tulisan ini terbengkalai beberapa waktu. Adapun dua catatan lainnya saya selesaikan beberapa bulan sebelumnya.
Saat menyelesaikan tulisan ini, saya mengenang bagaimana kesederhanaan Kahar, Rawianah, dan juga Safran dalam berkisah: kisah yang telah melegenda, yang (mungkin) secara tak sengaja telah menjadi metode reduksi potensi kerusakan akibat bencana tsunami. Juga soal keprihatinan Kahar tentang minimnya kesediaan generasi di bawahnya untuk mendengar serta terus meneruskan cerita itu ke generasi di bawahnya lagi. Serta keprihatinan Ahmadi tentang kurangnya upaya pemerintah lokal dalam memberikan edukasi mitigasi bencana kepada masyarakat, khususny generasi muda.
Saya tentu tak bermaksud mengatakan bahwa proyek pemerintah InaTEWS gagal memberi peringatan dini tsunami, seefektif seperti riwayat smong 07 ala masyarakat Simeulu. Bagaimanapun, peringatan dini yang diatur dengan sistem komputasi dan teknologi canggih itu perlu. Bahkan sangat perlu untuk terus dikembangkan dan diparipurnakan dari waktu ke waktu. Sistem yang kurang dibenahi, yang keliru diperbaiki.
Namun di sisi lain, mempertahankan kearifan lokal juga sebuah keharusan. Apalagi jika kearikan lokal itu sudah mendapat pengakuan dari lembaga dunia di bawah naungan PBB. Sungguh, bangsa kita kaya-akan nilai-nilai luhur yang diwariskan para leluhur. Kita saja yang (mungkin) kurang menghargainya. []
*Penulis merupakan pemimpin redaksi DETaK Unsyiah periode 2012-2013, tulisan ini merupakan catatan perjalanan di Simeulu pada Mei 2013 silam