Beranda Headline Indra Patra Yang Terabaikan

Indra Patra Yang Terabaikan

BERBAGI

Siang itu sekitar pukul 15.00 team DETaK mengadakan hunting liputan ke Indra Patra, Aceh Besar. Suasana pantai yang panas dengan sentuhan desiran angin laut Indra Patra mendorong Crew Detak untuk menguak sejarah yang terdapat didaerah tersebut. Indra Patra adalah salah satu peninggalan sejarah dari peradaban Hindu-Budha di Aceh.

Pantai Indra Patra yang terletak berseblahan dengan pantai Ujong Batee dan ujuong kareung ini, telah menininggalkan sejarah yang membuat setiap pengunjung penasaran dan masih bertanya-tanya terhadap benteng yang berdiri tegak disebelah timur laut itu. Dari hasil pengamatan DETaK, benteng yang terletak di indrapata sebenarnya semua berjumlah lima benteng. Namun tiga benteng lagi telah roboh dimakan waktu, hanya tertinggal puing-puing batu.

Sebelum Islam menapakkan kaki di bumi Serambi Mekkah ini, komunitas hindu lebih dahulu merintis kehidupan dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan yang bersifat religius. Mereka, pada waktu itu, telah mampu membangun tempat peribadatan dengan memanfaatkan bahan-bahan yang terdapat dialam hingga menjadi sebuah bangunan yang sangat artistik.

Iklan Souvenir DETaK

Seperti halnya benteng Indra Patra. Benteng ini dibangun pada abad ke-tujuh oleh raja Lamuri (Indra Patra). Ia merupakan kerajaan hindu pertama di Aceh. Benteng ini dibangun dengan bahan dari alam yaitu batuan yang menggunakan bahan pengikat batu kapur plus telur yang disusun menjadi tembok yang kokoh. Mereka membuat benteng ini di tempat yang sangat strategis, yaitu berhadapan langsung dengan selat malaka.

Benteng ini memiliki empat bagian utama, yaitu bagian yang pertama kali ditemui bila kita melewati pintu gerbang. Tempat ini, sebagaimana dijelaskan masyarakat disekitar benteng Indra Patra, digunakan sebagai tempat peristirahatan raja dan keluarganya. Sayang, bangunan itu kini tidak terlihat lagi (sudah roboh).

Selain itu, salah satu benteng tersebut juga digunakan sebagai tempat peribadatan. Pada bagian ini memiliki dinding yang lebih tinggi daripada bagian yang lainnya,ketinggian dinding ± 6 meter, dan luas ± 250 m². didalamnya terdapat empat kubah pelindung mata air untuk bersuci, tempat yang spesial terdapat ditengah-tengah untuk melakukan peribadatan.

Bagian selanjutnya yaitu benteng pertahanan dirancang khusus yang menghadap kelaut(selat malaka). Bagian ini memilki tembok lebih tebal dari bagian yang lainnya yaitu ±140 cm, dengan ketinggian ±5 meter dan memiliki luas ±200 m², karena berfungsi sebagai benteng pertahanan. Benteng ini memiliki 11 lubang sasaran bidik, diantaranya dua di tembok depan yang dilengkapi dengan bunker meriam, tiga lubang kiri dan kanan dan tiga di tembok belakang. Berdasarkan beberapa literatur menyebutkan bahwa, lubang tersebut berfungsi sebagai jalur pemasok amunisi dan senjata dari gudang senjata, dan tepat ditengah-tengah benteng terdapat bunker persiapan amunisi dan senjata. Dibagian belakang benteng pertahanan terdapat bagian penyimpan senjata, juga sudah tak terlihat lagi bentuknya hanya puing-puing yang berbentuk gundukan.

Pada masa Aceh berstatus Daerah Operasi Militer (DOM) benteng ini sempat terbengkalai dan tidak terawat, sehingga ditumbuhi tanaman liar yang menutupi seluruh bagian benteng. Akhirnya tempat ini pun menjadi tempat yang ditakuti oleh warga setempat, konon tempat yang bersejarah ini pun menjadi momok jika salah satu warga sakit yang dikarenakan hanya melewati benteng tersebut……

Keunikan benteng ini terlihat dari bentuknya yang sekilas seperti bangun ruang limas, tetapi masih tetap persegi. Disetiap sisi dindingnya terdapat lubang-lubang, kira-kira terdiri dari 11 lubang pada benteng pertahanan kedua. Lubang tersebut adalah tempat para prajurit menyondongkan meriam-meriam mereka kearah laut. Guna mengantisipasi serangan musuh yang belayar kearah daerah indrapata.

Didalam benteng itu terdapat dua bunker, bunker pertama terletak ditengah-tengah halaman, dan satunya lagi terletak disisi sebelah kanan belakang. Bunker pertama adalah tempat penyimpanan peluru dan senjata para prajurit. Sedangkan bunker ke dua adalah tempat penyimpanan meriam besar, ukurannya lebih besar dibandingkan dengan bunker pertama.

Setelah melihat-lihat keadaan didalam benteng pertahanan kedua, kami pun menuju pada benteng pertahanan utama, dengan menelusuri anak tangga kami pun memasuki benteng itu. Bangunan pertama yang terlihat adalah sebuah kubah yang terdapat sumur kecil didalamnya, kubah itu dinamakan dengan stupa. Yaitu tempat bersucinya orang hindu.

Dahulu, sebelum islam menyebar, agama hindu merupakan agama yang menjadi anutan para warga Indra Patra. Konon sebelum agama Islam tersebar di Aceh. Warga Aceh sendiri masih menganut agama hindu, yang mana hindu adalah agama tertua di dunia.

Selain stupa masih banyak pondasi-pondasi lain yang tidak jelas lagi bentuknya ,yang mana banyak yang roboh dimakan oleh waktu. Selain disebabkan oleh kondisi alam, pemugaranpun prnah dilakukan setelah tsunami.

Bila di bandingkan dengan sejarah-sejarah yang terdapat di daerah lainya. Aceh tidak kalah dengan peninggalan sejarah diluar kota sana, seperti di jawa tengah, jawa timur, Cirebon dan kota lainya.
Hanya saja pusat informasi yang masih gamang keberadaanya, dan juga perlu adanya sejarawan yang memahami khusus tentang sejarah – sejarah peninggalan. Hal ini akan menguak sejarah- sejarah Aceh lainnya yang masih belum banyak diketahui, sebagaimana Indra Patra.

Terabaikan

Kondisi ini semakin diperparah jika melihat Indra Patra saat ini. Tidak sedikit, karena sepinya pengunjung, benteng Indra Patra dijadikan sebagai tempat pacaran para kawula muda, sebagaimana yang dikatakan oleh masyarakat setempat.

“Setiap hari minggu, banyak muda-mudi yang menjadikan benteng ini sebagai tempat pacaran, namun kami tak mengizinkan hal itu terjadi, kami berharap tempat ini diperhatikan pemerintah dengan dijadikan sarana pendidikan untuk mengenal sejarah,” ungkap jumarni, salah seorang warga Ladong.

Kawasan benteng indraparta ini banyak dikunjungi oleh masyarakat di akhir pekan atau hari libur. Namun tempat wisata purbakala yang sejatinya harus diperhatikan pemerintah agar tetap terjaga dan terawat untuk bukti aset sejarah negeri ini luput dari perhatian pemerintah dan intansi terkait.

DETaK | Ferdian Ananda, Adhri Naldi dan Zuryati