Beranda Feature Menjejak Latiung, Menziarahi Sisa Bencana di Sudut Simeulu

Menjejak Latiung, Menziarahi Sisa Bencana di Sudut Simeulu

BERBAGI

Oleh: Rahmat Taufik

Plang nama SDN Latiung.
Plang nama SDN Latiung.

Latiung pada suatu ketika adalah sebuah kampung yang ramai. Masjid, pemukiman warga, kantor desa, dan prasarana lainnya ada di sana. Kini, Latiung adalah kampung mati sisa amukan gempa dan tsunami 2004.

Di sinilah kini saya berada: 50 meter dari tepi laut, di sebuah sekolah yang hanya tinggal reruntuhannya saja. Tidak ada lagi bangunan yang utuh. Semuanya runtuh total. Ruangan kelas yang dulu dipakai untuk kegiatan belajar-mengajar kini hanya tersisa kerangka dan lantainya saja. Keceriaan anak-anak yang saban pagi belajar dan bermain dulu, kini berganti dengan semak dan ilalang yang memenuhi setiap sudut sisi sekolah. Di bagian depan, beberapa pohon hias masih tersisa di antara ilalang yang kian meninggi.

Iklan Souvenir DETaK

Debur ombak terdengar jelas. Sekolah ini memang berada di mulut pantai. Pantai yang dulu menjadi tempat bermain anak-anak Desa Latiung. Pantai yang sama yang juga mengirim air hitam pekat yang mengakhiri segala keceriaan sekolah dan kampung itu.

Sembilan tahun sudah sekolah itu hanya menjadi onggokan beton tua. Hanya plang nama yang masih utuh berdiri. Bencana besar telah merampas semua yang dimiliki sekolah itu dulu. Dari plang nama itu pula kami tahu nama sekolah ini: Sekolah Dasar Negeri Latiung, Kecamatan Teupah Selatan.

Latiung kini adalah saksi bisu perjalanan sejarah. Kampung itu ditinggal para penghuni selepas bencana gempa dan tsunami 2004. Kini, Latiung adalah kampung mati yang hanya berisi reruntuhan bangunan yang pernah dipakai sebelum bencana dahsyat sembilan tahun lalu itu: rumah-rumah warga, sekolah, masjid, dan bangunan lainnya. Reruntuhan itu kini telah menyemak dengan belukar dan ilalang.

Perjalanan kami –saya bersama Muhammad Nasir, kawan sekampus saya- ke Latiung pada suatu sore yang cerah di akhir Mei lalu itu adalah perjalanan menziarahi sejarah. Di sana, kami ‘kembali’ pada memori kelam bencana dahsyat tsunami Aceh 2004 silam.

Latiung sendiri adalah sebuah kampung di garis pantai bagian timur Pulau Simeulu, tepatnya di Kecamatan Teupah Selatan. Dari Sinabang, ibu kota Kabupaten Simeulu, dibutuhkan kira-kira satu jam perjalanan untuk mencapai desa ini.

Perjalanan ke Latiung adalah perjalan yang eksotis. Berkilo-kilo sebelum memasuki Latiung, saya dilena dengan pemandangan bibir pantai dengan nyiur melambai di sisinya. Dari jalan, menoleh ke kanan, yang terlihat adalah pohon kelapa yang menjulang tinggi, ditemani laut biru dan langit biru. Minggu, 26 Mei 2013 saat kami berkunjung, beberapa kali kami berpas-pasan dengan bule yang sedang mencari titik bagus untuk berselancar. Mereka menenteng papan surfing.

Tiba di Latiung, pemandangan pertama yang menarik perhatian kami adalah sisa runtuhan sekolah itu. Tak jauh darinya, juga ada masjid yang sudah terabaikan selama 9 tahun, seiring dengan lamanya warga meninggalkan desa itu. Di bagian-bagian lain, reruntuhan sisa-sisa rumah warga juga masih terlihat beberapa.

Kondisi masjid itu juga tak kalah mengenaskan dibanding SD Latiung itu. Meski tak rubuh, beberapa bagiannya sudah rusak parah. Lantai penuh dengan kotoran ternak. Baunya menyengat. Kusen, jendela, pintu, semuanya sudah rusak. Dinding yang berkonstruksi beton sudah retak dimana-mana; menyembulkan merah marun batu-bata dan kerikil di dalamnya. Di sisi luar, ilalang sudah memenuhi sekelililing area masjid.

Beberapa kilo sebelum tiba ke Latiung
(Beberapa kilo sebelum tiba ke Latiung)

Pada ‘ziarah’ Minggu sore itu, kami beruntung berjumpa dengan seorang penduduk lokal. Ia memperkenalkan diri dengan nama Hariadi, berumur 45 tahun.

Hariadi, pria dengan kulit sawo matang berbadan tambun, yang secara kebetulan berjumpa dengan kami, tampaknya baru hendak pergi berkebun. Dari atas sepeda motor, bertelanjangkan dada, ia lebih dulu menyapa kami saat sedang mengambil beberapa lembar foto reruntuhan sekolah SDN Latiung.

“Saya asli warga Latiung,” Hariadi memulai cerita.

Darinya kami mendengar kisah bencana tsunami 2004 di desa mereka. Ia menceritakan bahwa saat terjadi gempa pada 26 Desember 2004 lalu, warga langsung lari ke dataran yang lebih tinggi.

Cerita Hariadi adalah cerita tentang kearifan lokal masyarakat Simeulu dalam berdamai dengan bencana. Masyarakat di sana memang punya riwayat smong 07, yakni cerita tentang bencana gempa dan tsunami yang melanda pulau itu tahun 1907

Hariadi, saat berbagi cerita tentang Desa Latiung
(Hariadi, saat berbagi cerita tentang Desa Latiung)

silam. Dalam bahasa Simeulu sendiri, gempa dan tsunami itu disebut dengan linon dan smong.

Dalam cerita rakyat yang terus diturunkan dari generasi ke generasi itu, diriwayatkan bahwa Simeulu pada 1907 pernah dilanda linon dan smong. Linon itu terus terjadi hingga beberapa hari berturut-turut. Hingga pada suatu Jumat, terjadi linon besar. Air laut surut. Ikan menggelepar di atas laut yang sudah menjadi daratan. Masyarakat di pesisir turun ke lautan demi memungut ikan itu.

Tiba-tiba saja dari tengah laut muncul gelombang raksasa, hitam dan pekat. Gelombang itu kemudian menyapu daratan dan mengakibatkan banyak korban. Masyarakat kian menderita karena gelombang raksasa itu juga mengakibatkan lahan pertanian warga rusak. Konon, bahkan harus ada yang memakai pakaian dari kayu akibat krisis dari bencana itu.

Oleh mereka yang tersisa, bencana itu diceritakan secara terus-menerus kepada anak dan cucu. Hingga kini, cerita itu masih dapat didengar dari para tetua di Simeulu.

Cerita itu pula yang menjadi pedoman bagi masyarakat Latiung ketika tsunami 2004 terjadi. Begitu terjadi gempa besar, masyarakat tanpa dikomandoi sudah mengetahui langkah antisipatif yang harus dilakukan. Mereka berduyun-duyun meninggalkan tepi laut menuju dataran tinggi.

“Sudah ada berita dari nenek-nenek moyang. Setiap ada gempa yang besar, (akan) naik air. Makanya masyarakat langsung lari ke gunung semua (setelah gempa),” katanya.

Nasir, bernasis sejenak di Teupah Selatan (1)
(Nasir, bernarsis sejenak di Teupah Selatan)

Dari Hariadi pula kami mengetahui bahwa tidak ada satu pun korban meninggal saat bencana smong tahun 2004 di Latiung. Padahal melihat lokasinya, kampung itu persis berada di mulut laut. Di sisi lain, lebih 200 ribu jiwa melayang dalam bencana tsunami di Aceh secara keseluruhan.

Warga Latiung kini tinggal di sebuah kampung baru yang juga mereka namai Latiung. Ketakutan akan bencana membuat mereka memilih meninggalkan desanya yang berada di tepi laut. Latiung “baru” itu jaraknya sekitar 2,5 kilometer dari kampung semula, ke arah dalam yang jauh dari laut.

“Semua warga sepakat untuk tak lagi tinggal di sini (Latiung ‘lama’, desa mereka semula di tepi laut).”

Soal pekerjaan, lanjut Hariadi lagi, sebagian masih setia dengan profesi dulu sebagai nelayan. Mereka memang masih punya boat yang ditambatkan di tepi laut di Desa Latiung yang dulu mereka tempati. Sebagiannya lagi memilih berkebun dan menjadi petani.

Di Latiung ‘baru’, kini ada sejumlah 79 Kepala Keluarga. Mereka menata hidup baru di tempat yang dirasa aman dari ancaman linon dan smong. Di sana, mereka sudah mempunyai rumah dari bantuan sebuah lembaga non-government organization (NGO). Semua fasilitas dasar, seperti sekolah, masjid, kantor desa, puskesmas pembantu, lapangan bola, sudah ada di sana.

Dari Latiung, kami memetik satu pelajaran berharga. Bahwa dalam kasus tertentu, bencana mungkin saja tidak dapat dicegah. Tapi setidaknya, kita bisa mempelajarinya untuk bisa hidup ‘berdamai’ dengan bencana. Mempelajari polanya, memprediksi datangnya, dan meminimalkan dampaknya. Masyarakat Latiung sudah mempraktekkannya.[]

*Penulis merupakan pemimpin redaksi DETaK Unsyiah periode 2012-2013,  tulisan ini merupakan catatan perjalanan di Simeulu pada 26 Mei 2013 lalu