Beranda Feature Kopi Gayo

Kopi Gayo

BERBAGI

Takengon terhampar diantara lekuk bukit dan gunung-gunung
Sapuan awan tipis menutupi kumpulan atap rumah putih memantulkan cahaya pagi
Hutan hijau lapis berlapis beitu angun
(Adalah kutipan sajak yang dilantunkan Fikar W. Eda, mengambarkan geografis dataran tinggi Gayo.)

Sinar mentari belum terasa menghangatkan badan saat jam masih menunjukan pukul 06.00 WIB, hawa sejuk masih mengintari di sepanjang tubuh, awan putih yang baru saja menyelimuti pegunungan kini mulai beranjak pergi seiring datangnya mentari, itulah pagi-pagi di dataran tinggi Gayo.

“Tos kope kupi Nia (Tolong buatkan kopi Nia),” unjar Aman Sulas, seorang laki-laki yang berprofesi sebagai petani kopi. Rambutnya mulai memutih, kain sarung berwarna gelap tak pernah lekang dari pinggangnya, kulitnya mulai mengkerut di sepanjang wajahNya.

Iklan Souvenir DETaK

Hampir setiap pagi Aman Sulas tidak bisa dipisahkan dari kopi dengan balutan tembakau dari daun nipah, namun akhir-akhir ini kebiasaanya itu sudah ia tinggalkan karena penyakit yang mulai mengerogoti tubuh tuaNya itu.

“Gere I osah dokter ne minum kupi (Tidak dikasih dokter lagi minum kopi),” ungkap istrinya. Jamkesmas yang ia kemas dengan plastik kresek selalu menjadi andalannya setiap kali berobat.

Dulu, Aman Sulas memang selalu disibukkan dengan dengan kebun kopi di Bur Gajah (nama gunung), 1 km dari rumahnya. Setiap pagi dengan setelan kemeja setengah bagus , di pundaknya digantungkan sarung, celana kain berujung lebar dengan tambahan sepatu boat berwarna hitam Ia berjalan kaki ke kebun. Tangan kiriNya memagang sebotol kopi dan tangan kananya memegang sebilah parang.

Ia tidak sendirian, biasanya sang istri juga ikut mendapinginya, kegiatan yang ia lakoni selama berpulu-puluh tahun ini terbukti dapat menghidupi istri dan kelima putrinya sampai sekarang.

Dataran tinggi Gayo terletak di tengah provinsi Aceh, masyarakat disana banyak yang mengantungkan diri pada sektor pertanian, hampir sebagian besar petani mempunyai lahan sendiri untuk digarap. Kopi, tomat, kentang, nanas, al vokat adalah sebagaian komoditas unggulan yang ditawarkan. Untuk perkebunan kopi tidak kurang 86.000 ha yang tersebar di kabupaten Aceh Tengah, Gayo Lues dan Bener Meriah. Tumbuhan ini memang menjadi primadona sebagian besar masyarakat dunia, selain karena kopi dapat menghilangkan rasa kantuk, kopi dapat juga dijadikan bisnis yang cukup menjanjikan.

Ada beberapa varietas kopi unggulan yang mempunyai nilai ekspor , seperti varietas Timtim, P88 dan Borbor. Untuk mendapatkan kopi yang berkualitas, tentu banyak hal yang harus diperhatikan seperti tinggi tanah permukaan dari laut. Varietas timtim hidup lebih baik di ketinggian 1.250 m, varietas P88 di ketinggian 1.400m sedangkan untuk varietas borbor di ketinggian 1.520 m.

Tingkat produksi yang dapat dihasilkan per ha kebun kopi sebesar 680 Kg untuk setiap tahunnya atau untuk lahan 45.000 ha lahan dapat menghasilkan 31.000 ton per tahunnya. “Hasil ni kupi ni ke ngok ken kebutuhan morep,” tangkas Kartini (31), anak keempat Aman Sulas.

Nampaknya wanita yang akrab disapa dengan Tini ini engan meninggalakan jejak sang bapak sebagai petani kopi, didampingi suaminya Tini sekarang juga telah memilki sebidang kebun kopi di desa Atu Lintang.

Tak ayal seperti layaknya seorang patani di Indonesia pada umumnya, Kartini juga pernah mengalami masa-masa sulit, wanita yang sedang hamil ini mengaku pendapatanpada awal bulan ini mengalami kekurangan diakibatkan buah kopi yang tak bagus.

Untuk dapat pergi ke kebun, tini harus bangun pagi-pagi sekali, maklum saja jarak yang harus ia tempuh untuk mencapai kebun memakan waktu sekitar satu jam. Tangan Tini memang tak semulus tangan wanita yang hidup di perkotaan, sejak kecil Tini sudah diperkenalkan bagaimana caranya memetik buah kopi.

“Bulen ini sen pe gere ara sebeb uah ni kupi gere jeroh, kenak ne kite kemasen sen menea, ngok ken belenye pacu kude (Bula ini uang pun tidak ada karena buah kopi tidak bagus, seharusnya kita simpan uang kemarin untuk belanja di pacuan kuda),” unjarnya dalam Bahasa Gayo.

Tiga bulan terakhir petani kopi memang dikejutkan oleh menurunnya kualitas kopi yang diakibatkan oleh musim kemarau, tentu saja kondisi ini dapat mempengaruhi tingkat harga yang dijual oleh petani. Biasanya harga yang dipatok toke kopi (sebutan untuk pembeli kopi) bisa mencapai Rp13.000 per Kg disaat harga normal, namun kini hanya Rp10.000 per Kg.

Tini memang cukup mahir menghafal musim berbuahnya kopi, “Biasae wan seton ulen onom sawah ulen siwah kupi gere muah, nye awal ni ulen sepoloh sawahulen duebelas kupi baro muah. (Biasanya dalam setahun bulan Juni sampai September kopi tidak berbuah, namun awal bulan Oktober hingga bulan Desember kopi akan berbuah. Kemudian awal januari kopi mulai berbunga lagi),” paparnya.

Tidak kurang dari 10 kaleng untuk 1 ha perkebunan kopi dapat ia hasilkan setiap kali panennya, “Biasae ke seger ngotep so mera sepoloh tem (Biasanya bila sekali panen dapat menghasilkan sepuluh kaleng),”ungkapnya. Namun, kondisi ini tentu belum cukup menghidupi keluarga dan cabang bayi yang sedang ia kandung.

Untuk memenuhi kebutuhan keluarga Tini juga bekerja pada perusahaan pengelola biji kopi, memang hanya sekedar mensortir kopi, akan tetapi bagi seorang wanita duduk seharian dengan mengandalkan kelincahan tangan juga dirasa sama beratnya dengan memanen kopi.

Keinginan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak memang pernah terbesit di pikiran Tini, wanita yang sudah sejak kecil dibesarkan di lingkungan petani kopi ini mengaku suatu saat ia dapat menjadi toke kopi, hanya saja karena kekurangan modal impian tersebut tak urung tercapai. Profesi menjadi toke kopi memang profesi yang cukup menyenangkan, bagaimana tidak untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda cukup dengan modal jaringan ke pasar.

“Niet mujadi toke kupi ke ara, tapi modal ilen gere genap (Niat untuk menjadi toke kopi kan ada, tapi modal belum cukup),” keluhnya.

Kondisi serupa juga dirasakan oleh Wartini(29) seorang janda yang harus menjadi kepala keluarga bagi kedua anaknya, kesehariannya ia habiskan di tempat kerja bersama si bungsu yang masih berusia empat tahun. Rp4000 hingga Rp10.000 dapat ia bawa pulang kerumah, tentu saja untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari ia harus pandai membagi-bagi keperluannya.

Selain itu Wartini juga bekerja sebagai tukang cuci dan setrika, jelas saja kondisi ini masih menyulitkannya untuk mencukupi keperluan sehari-harinya. Bekerja sebagai tukang cuci kerap ia lakukan saat ada waktu luang di tengah kesibukkannya bekerja sebagai penyortir kopi.

Kemelut petani kopi tentu saja berimbas kepada tingkat kualitas dan kuantitas kopi yang dihasilkan, kondisi inilah yang telah membawa para eksportir kopi kerap tidak dapat memenuhi permintaan pasar, pada tahun 2008 silam, Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) gagal mencapai target perdagangan kopi sebesar 6.000 ton.

Data yang di peroleh dari ICO (international coffee organization) diperoleh tingakt konsumsi kopi pada tahun 2005 mencapai 118 juta karung sedangkan pada tahun 2007 mencapai 125 juta karung, kondisi ini berarti mengalami peningkatan sebesar tujuh juta karung dalam kurun waktu dua tahun terakhir.

Ekspor kopi terutama kopi arabika ke pasar internasioanl dikenal dengan beberapa nama seperti Sumatra Gayo, Mandheling Coffee, Sumatra Mandheling, Mandheling Gayo, Super Gayo, Gayo Mountain Coffee dan Retro Mandheling.

Dari beberapa negara penghasil kopi lainnya, seperti Brazil dan Afrika, Indonesia jauh ketingalan dalam meningkatkan kuantitas ekspor.

Jalur perdagangan kopi Gayo ke pasar internasional memang tidak langsung di ekspor dari Aceh ke mancanegara, namun harus melalui luar provinsi seperti Medan. “Pelabuhan di Aceh belum mempunyai peran dalam bidang ekspor impor, sehingga banyak hasil pertanian harus diekspor melalui luar daerah,” Ungkap anggota DPD RI Ir. Musyid.

Harga kopi Gayo di pasar internasional tidak kalah bersaing, memang cukup mahal dibandingkan dengan komoditas ekspor lainnya, namun kehidupan masyarakat setempat yang mengantungkan kehidupannya pada kebun kopi tidak urung berubah dari tahun ke tahun.

Untuk meningkatkan penjualan tentu para eksportir kopi harus bekerja keras meningkatkan kualitas dan sfesifikasi produk sesuai dengan standar yang ditetapkan perusahaan kopi yang dituju, seperti penjualan ke perusahaan kopi terbesar asal Amerika Starbucks Coffee Co yang menetapkan standar C.A.F.E (Company and Farmers Equity Practies).