Beranda Feature Ironi Pedagang Kaki Lima

Ironi Pedagang Kaki Lima

BERBAGI

Tidak ada yang berubah. Walau zaman terus berganti, pemimpin berganti, kebijakan berubah setiap periodenya, namun kehidupan kaum kecil hampir tidak pernah berubah.

Kondisi inilah yang tergambar dari para pedagang kaki lima. Kehidupan mereka nyaris tidak pernah berubah, dari tahun ketahun. Salah satunya adalah Muhammad Nur. Lelaki berusia 38 tahun ini telah menjalani berbagai jenis profesi untuk membiayai keluarganya, namun, setiap profesi yang digelutinya belum mampu memberi secercah harapan yang nyata.

Kini, saban harinya, Muhammad Nur mencoba keberuntungan dengan berjualan bakso goreng gerobak di di seputaran lapangan tugu Darussalam, Banda Aceh. “Saya baru lima bulan berjualan disini,” ujarnya kepada DETaK, Kamis, dua pekan lalu.

Iklan Souvenir DETaK

Sebelumnya Pak Nur, demikian biasa Ia disapa, telah menekuni pekerjaan sebagai pembelah batu gunung dan bahkan pernah menjadi kernet labi-labi (angkutan umum). Namun pekerjaan kernet tersebut terpaksa ia tinggalkan karena tidak mampu mencukupi biaya hidup yang terus meroket. Harga kebutuhan terus mengalami kenaikan sedangkan pendapatan dari kernet labi-labi semakin berkurang.
Dalam kondisi tersebut, akhirnya Pak Nur beralih profesi sebagai pedagang bakso. Dan ternyata, profesi barunya itu mampu menambah pendapatan beliau. “Alhamdulillah, semenjak berjualan bakso disini, ekonomi keluarga saya semkain membaik dari sebelumnya. Dan pelanggan pun semakin bertambah setiap harinya,” kata Pak Nur bersemangat.

Namun begitu, berjualan di sekitaran kampus Unsyiah bukan berarti Pak Nur aman dari kejaran satpam. Bila pedagang kaki lima umumnya dikejar oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), maka Pak Nur dan pedagang lainnya yang berlokasi diseputaran kampus dikejar oleh stapam kampus.

Bahkan, tindakan satpam kampus itu terkesan berlebihan, sebut Pak Nur. Ucapan kasar dan penghinaan yang diterima Pak Nur sempat membuatnya naik darah. “Saya sempat ingin menyiramkan minyak panas di kuali ke arah mereka karena kesal, namun niat itu saya urungkan,” ungkap Pak Nur.

Selanjutnya, yang terjadi pada hari berikutnya adalah kejengkelan satpam kampus tersebut karena mengusir paksa Pak Nur yang sedang berjualan. Saat itulah keluar kata-kata kasar Pak Nur. Karena emosi Pak Nur mengatakan “Peu use-usee kamoe, kamoe ureung Aceh (Apa usir-usir kami, kami orang Aceh),”ujar Pak Nur, menirukan apa yang dikatakannya dulu kepada satpam kampus tersebut.

Kondisi berbeda dialami Bu Siti (33). Wanita yang berjualan es campur dan kelapa muda ini mengisahkan bahwa usahanya itu baru dijalani selama dua bulan lalu. Sebelumnya Bu Siti sudah pernah berjualan di sekitaran Lapangan Tugu Unsyiah, namun diusir secara halus melalui surat yang dikirimkan oleh pihak direktorat kampus. Tapi saat ini Bu Siti dan pedagang lainnya sudah mendapat izin untuk berjualan di tempat tersebut.

Menariknya, Bu Siti bukanlah pedagang sembarangan. Maklum, walau sebagai pedagang es campur, Bu Siti merupakan sarjana lulusan Fakultas Ekonomi Unsyiah dengan di IPK (Indeks Prestasi Komulatif) diatas 3 (tiga). “Iya, saya sarjana ekonomi dan lulus tahun 2004 lalu,” kata Bu Siti tersipu malu.

Sebenarnya, tambah Bu Siti, pekerjaan ini dilakukan karena terpaksa. Ia telah beberapa kali mengikuti ujian test CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil) namun selalu gagal. “Tapi mungkin belum rezeki saya untuk lulus CPNS,” kata Bu Siti sambil mengupas kelapa muda.

Selam berjualan di lapangan tugu, Bu Siti mengaku tidak mendapat kendala dan mesalah. Hanya saja, sebut Bu Siti, dagangannya pernah rusak berantakan karena dihantam bola kaki. Saat itu, para mahasiswa sedang bermain bola. Kaca rak tempat ibu itu jualan pun pecah. Yang membuat Bu Siti sakit hati bukan karena dagangannya hancur, akan tetapi sikap para mahasiswa itu yang seenaknya. “Jangankan untuk ganti rugi, meminta maaf pun mereka tidak mau,” kenang Bu Siti.

Apa yang dialami Bu Siti dan Pak Nur juga dialami oleh pedagang-pedagang kaki lima lainnya. Keluh kesah dan kesedihan yang terlontar dari bibir mereka nyaris tidak pernah didengar oleh pengambil keputusan di negeri ini.

Kondisi mereka nyaris tidak pernah berubah, sedangkan pemimpin terus berganti dan kebijakan selalu berubah setiap periodenya!

DETaK | Chairul Mubaraq