Beranda Artikel Pelaku Kemalasan Sosialkah Kamu?

Pelaku Kemalasan Sosialkah Kamu?

BERBAGI
(Ist.)

Artikel | DETaK

Keberadaan orang lain dalam suatu kegiatan yang dilakukan secara bersama dapat meningkatkan performa, namun kehadiran orang lain juga dapat menurunkan performa dalam kegiatan yang sedang dilakukan (Mayers, 1996).

Salah satu fenomena yang sering terjadi ketika kehadiran orang lain juga dapat menurunkan performa adalah Kemalasan Sosial (social loafing). Kemalasan sosial menurut J. Clark, Baker, Karau dan Williams (dalam Zahra, 2016) yaitu tindakan individu untuk berperforma secara minimal di dalam kelompok dibandingkan dengan ketika bekerja sendiri.

Iklan Souvenir DETaK

Beberapa penelitian telah dilakukan berkaitan dengan fenomena kemalasan sosial. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Alan Ingham (dalam Sutanto & Simanjuntak, 2015). Penelitian ini menunjukkan bahwa individu akan memberikan usaha 18% lebih besar saat ia tahu bahwa ia bekerja sendirian. Saat individu tidak dinilai secara personal dan tidak dapat mengevaluasi sendiri usahanya, maka tanggung jawab dalam kelompok akan terbagi-bagi menjadi tidak jelas. Menurut Baron dan Byrne (dalam Sutanto & Simanjuntak, 2015) pembagian tanggung jawab yang tidak jelas juga dapat dijelaskan oleh teori difusi tanggung jawab (diffusion of responsibility), di mana semakin banyak orang yang terlibat maka semakin berkurang rasa tanggung jawab individu.

Berkaitan dengan perilaku kemalasan sosial, maka terdapat beberapa faktor internal yang mempengaruhi intensi individu untuk melakukan kemalasan sosial. Menurut Lengkong (dalam Sutanto & Simanjuntak, 2015) yaitu semakin tinggi kebutuhan berprestasi yang dimiliki oleh seseorang, maka semakin rendah intensinya untuk melakukan kemalasan sosial, kurangnya identifiability dari kontribusi individu dalam kelompok menurut Williams, Harkins, dan Latane (dalam Krisnasari & Purnomo, 2017), serta rendahnya motivasi berprestasi menurut Metiase (dalam Krisnasari & Purnomo, 2017), dan rendahnya kohesivitas kelompok menurut Anggareini, Alfian, dan Lam (dalam Krisnasari & Purnomo, 2017).

Earley juga menemukan faktor penyebab terjadinya kemalasan sosial yang berhubungan dengan nilai individualistik yang melawan nilai kolektivitas dalam diri individu, yang artinya individu dapat mengalami kemalasan sosial dikarenakan rendahnya nilai kolektivitas dalam dirinya. Rendahnya nilai kolektivitas dalam diri individu ini dapat membuat individu enggan untuk menolong teman sekelompoknya dalam menyelesaikan suatu pekerjaan.

Faktor lain yang dapat memicu individu melakukan kemalasan sosial adalah toleransi yang diberikan anggota-anggota kelompok lainnya terhadap tindakan kemalasan sosial. Chong (dalam Audi, 2014)  yang mendefinisikan toleransi sebagai sejauh apa individu mampu bertahan pada situasi yang tidak diinginkannya.

Salah satu toleransi yang sering terjadi yaitu saat bekerja dalam kelompok yang terdiri dari teman dekat atau biasa disebut sahabat. Hubungan persahabatan akan menjadi konflik apabila salah satu teman melakukan kemalasan sosial, maka pihak yang terlibat akan cenderung melakukan pengorbanan demi kebaikan hubungan persahabatannya, berdasarkan pendapat Taylor, Pepalu dan Sears (dalam Audi, 2014). Jadi, ketika pelaku kemalasan sosial adalah seorang sahabat, individu dapat lebih menoleransi perilaku sahabatnya tersebut, dengan dasar mempertahankan persahabatan. Dengan demikian, dapat dihipotesiskan bahwa semakin tinggi tingkat persahabatan antara individu dengan pelaku kemalasan sosial, semakin mungkin individu untuk menoleransi perilaku kemalasan sosial yang dilakukan oleh sahabatnya tersebut.

Perilaku kemalasan sosial dapat menjadi sebuah masalah karena dapat menimbulkan kekecewaan pada mahasiswa saat bekerja dalam kelompok, menurut Pang, Tong, dan Wong (dalam Krisnasari & Purnomo, 2017). Mahasiswa mengalami konflik ketika mereka bekerja sama dengan pelaku kemalasan sosial dalam kelompok menurut Goo (dalam Krisnasari & Purnomo, 2017). Selain itu, kemalasan sosial memberi dampak buruk, yaitu dapat menimbulkan rasa sedih atau bahkan iri karena dengan kinerja yang berbeda menghasilkan nilai yang sama. Hal ini berdampak pada hubungan sosial serta dapat membuat kehilangan motivasi bagi anggota lain menurut Teng dan Luo (dalam Krisnasari & Purnomo, 2017).

Dampak bagi pelaku kemalasan sosial yaitu tidak mendapatkan pengetahuan seperti anggota kelompok lain, dan pelaku kemalasan sosial juga akan kehilangan kesempatan untuk melatih keterampilan dan mengembangkan diri dalam kelompok. Produktivitas individu yang melakukan kemalasan sosial juga akan terhambat karena harus bekerja di dalam sebuah kelompok menurut Latane, Williams dan Harkins (dalam Krisnasari & Purnomo, 2017).

Kemudian, kemampuan pelaku kemalasan sosial dalam menyerap pengetahuan baru berupa informasi dari tugas juga berkurang. Namun, menurut Bluhm (dalam Krisnasari & Purnomo, 2017) kemalasan sosial memiliki dampak yang positif dan bersifat adaptif yaitu dapat mengurangi stres bagi individu. Dikatakan bahwa dengan bekerja kelompok (dalam tugas yang dianggap berat), individu bisa mengeluarkan usaha yang sedikit dibandingkan jika menyelesaikan tugas sendirian yang akan mengeluarkan usaha yang banyak dan membuat munculnya stres bagi individu.

Salah satu hal yang dapat mengurangi kemalasan sosial adalah jika anggota kelompok saling bersahabat atau merasa mengenali dan memerlukan kelompok mereka menurut Davis dan Greenles (dalam Mayesr, 1996). Kerja kelompok yang kecil dapat juga membantu para anggota kelompok meyakini bahwa kontribusi mereka merupakan hal penting yang diperlukan menurut Comer (dalam Mayesr, 1996).

Penulis bernama Nunung Ardila. Ia merupakan mahasiswi angkatan 2015 jurusan Psikologi fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala. 

Editor: Herry Anugerah