Beranda Artikel Kenali Gangguan Mental Selfitis pada Orang yang Hobi Swafoto

Kenali Gangguan Mental Selfitis pada Orang yang Hobi Swafoto

BERBAGI
(Ist.)

Artikel | DETaK       

Swafoto sudah tidak asing lagi bagi masyarakat pada umumnya dan merupakan salah satu rutinitas yang kerap dilakukan oleh sebagian orang ketika momen-momen tertentu, hari spesial bahkan tidak momen tertentu pun kerap swafoto. Biasanya orang yang melakukan swafoto akan membagikan foto-foto mereka ke media sosial yang mereka miliki. Swafoto tidak memandang umur dari anak-anak bahkan orang dewasa kerap melakukannya. Pada Maret 2014, Time merilis kota-kota penduduk yang gemar berswafoto. Peringkat pertama diduduki oleh Kota Makati, Filipina, dengan prevalensi 258 pengambil swafoto per 100 ribu.

Swafoto sering dihubungkan dengan narsisme dan berkaitan dengan kebutuhan akan pengakuan yang besar. Narsistik  menurut DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders – Fourth Edition) merupakan gangguan kepribadian yang ditandai dengan ciri-ciri berupa perasaan superior bahwa dirinya adalah paling penting, paling mampu, paling unik, sangat eksesif untuk dikagumi dan disanjung, kurang memiliki empati, angkuh dan selalu merasa bahwa dirinya layak untuk diperlakukan berbeda dengan orang lain.

Iklan Souvenir DETaK

Menurut seorang Psikoterapis Diana Parkinson, manusia selalu melakukan swafoto sejak dulu, baik gambar-gambar di gua atau potret diri. Ini adalah evolusi alamiah yang mengafirmasi ulang identitas kita. Di tahun 2017, Janarthanan Balakrishnan dan Mark D. Griffiths mempublikasi di International Journal of Mental Health yang mengklarifikasikan bahwa swafoto termasuk gangguan mental yang disebut dengan “Selfitis”. Selfitis adalah keinginan kompulsif obsesif untuk memotret diri dan mengeksposkannya di media sosial sebagai cara untuk mengatasi kekurangan harga diri dan untuk mengisi kesenjangan dalam keintiman. Ada 3 tingkat kondisi selfitis. Pertama, batas sebelum akut, yaitu melakukan swafoto 3 kali sehari tapi tidak mempostingnya di media sosial. Kedua, akut yaitu memotret diri sendiri setidaknya tiga kali sehari dengan memposting masing-masing foto di media sosial. Ketiga, kronis yaitu dorongan tak terkendali untuk memotret diri sendiri sepanjang waktu dan memposting foto di media sosial lebih enam kali sehari.

Fenomena swafoto banyak dilakukan penelitian oleh para ahli, peneliti dari Universitas Nottingham Trent bekerja sama dengan Sekolah Manajemen Thiagarajar melakukan riset terhadap swafoto dan faktor-faktor pemicunya. Menurut psikolog, selfitis adalah kondisi mental yang membuat seseorang merasa terus-menerus melakukan swafoto dan mengunggahnya di media sosial. Tak hanya melakukan penelitian, para ahli juga mengembangkan skala perilaku selfitis (Selfitis Behaviour Scale).

Mengapa swafoto dianggap sebagai gangguan? Alasan-alasan tertentu mengapa swafoto dianggap sebagai gangguan antara lain (Andrea Donitta .G, 2015): ingin menciptakan risiko privasi, bisa membuat kecanduan, dapat merusak hubungan yang nyata, menempatkan terlalu banyak penekanan pada fisik penampilan. Ada beberapa pendapat pakar tentang swafoto: Swafoto bukan kecanduan, tetapi gangguan symptom of body dysmorphic yang melibatkan pemeriksaan penampilan seseorang dan mengambil foto narsis adalah bentuk “acting out” pada kaum muda dan bisa menjadi teriakan minta tolong. Salah satu pemulihan yang bisa dilakukan adalah terapi perilaku kognitif yang digunakan untuk membantu pasien mengenali alasan untuk perilaku kompulsifnya dan kemudian belajar bagaimana memoderasinya.[]

Penulis bernama Reni Ferida. Ia merupakan mahasiswi angkatan 2015 Jurusan Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala.

Editor: Herry Anugerah