Beranda Terkini PSDP-Himapol Unsyiah Adakan Seminar Wawasan Kebangsaan Terkait Eksistensi Demokrasi Tanpa Perpecahan

PSDP-Himapol Unsyiah Adakan Seminar Wawasan Kebangsaan Terkait Eksistensi Demokrasi Tanpa Perpecahan

BERBAGI
Masrizal saat memaparkan materi terkait krisi kepercayaan yang dihadapi masyarakat Aceh, (Sumber: doc. panitia).

Siaran Pers | DETaK

Darussalam- Pusat Studi Demokrasi dan Pembangunan (PSDP) berkerja sama dengan Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik (HIMAPOL) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) menggelar acara seminar wawasan kebangsaan dengan tema “Eksistensi Berdemokrasi Tanpa Perpecahan Menuju Kedaulatan Negara”. Senin, 30 Januari 2017 di aula Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu politik (FISIP) Unsyiah.

Effendi Hasan selaku Wakil Dekan I FISIP Unsyiah dalam kata sambutannya menyampaikan, bahwa dengan adanya seminar wawasan kebangsaan ini, diharapkan  dapat memberikan solusi bersama untuk menghindari perpecahan dalam berdemokrasi.

Iklan Souvenir DETaK

Pakar hukum Unsyiah, Basri Effendi mengatakan bahwa kita harus mengenal Indonesia sebelum berbicara Indonesia. Indonesia adalah bangsa yang luas dan memiliki berbagai macam jenis suku dan budaya. Dari Aceh sampai Papua memiliki keanekaragaman budaya yang kaya. Tentunya keragaman ini menjadi rahmat bagi Indonesia .

“Banyak dinamika yang terjadi Indonesia, untuk itu perlu adanya aturan main. Aturan main harus berjalan sesuai keadilan dan pemimpin harus bijak dalam menghadapi keanekaragaman yang di miliki Indonesia. Tentu berbeda cara menghadapi orang Aceh dan orang Kalimantan,” kata Basri.

Basri Effendi menambahkan Solusi untuk bangsa Indonesia adalah kembali kepada indetitasnya yaitu Pancasila, maka Indonesia akan dapat menjadi bangsa yang damai dan maju.

Masrizal, sosiolog Aceh mengungkapkan  bahwa karakter yang di munculkan oleh pemimpin Aceh saat ini menyebabkan krisis kepercayaan masyarakat Aceh kepada pemimpin.

“Saya memberikan beberapa solusi agar demokrasi dapat berjalan tanpa perpecahan. Pertama, membangun kembali semangat mufakat. Kedua, meningkatkan kapasitas diri pengetahuan tentang demokrasi. Ketiga, membentuk kader-kader pemuda yang memiliki sikap bersatu padu sesuai dengan tata nilai. Keempat, menghidupkan kembali diskusi tentang demokrasi yang hakiki. Kelima, menguatkan dan menjaga tata nilai yang  bersumber dari hukum formal dan non formal,” jelas Masrizal.

Radhi Darmansyah, sebagai kepala pusat studi demokrasi dan pembangunan menjelaskan bahwa ketika komunikasi yang berjalan antar budaya yang berbeda. Harus ada satu tujuan yang jelas dan keikhlaskan, agar komunikasi ini dapat menyatukan bukan memecahkan.

“Masyarakat yang dulunya bersatu, maka dapat berpecah apabila demokrasi tidak dapat diatur dengan baik. Pilkada  Aceh  15 Februari merupakan  pesta demokrasi di Aceh, dapat terlihat perpecahan masyarakat terjadi apabila peraturan tidak ditegakkan dengan baik,” ungkap Radhi. []

Editor: Maisyarah Rita