Beranda Terkini Pernyataan Sikap SAKA Menolak Revisi UU KPK

Pernyataan Sikap SAKA Menolak Revisi UU KPK

BERBAGI
Ist

Siaran Pers | DETaK

Banda Aceh – Kami dari Sekolah Anti Korupsi Aceh (SAKA) dengan penuh kesadaran menilai bahwa sampai hari ini DPR belum menunjukkan sikap keberpihakan terhadap pemberatasan korupsi yang dilakukan oleh KPK. Hal ini kembali terlihat draft Revisi Undang-Undang KPK  dalam Prolegnas Prioritas 2016, yang sebagian besar pengaturannya melemahkan kewenangan KPK dalam memberantas korupsi. Oleh karena itu, dengan niat untuk menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar kami menolak dengan tegas Revisi Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang KPK  dengan alasan sebagai berikut:

Penyadapan yang wajib meminta izin tertulis dari Dewan Pengawas (Pasal 12B ayat (2) juncto Pasal 12A Poin b Revisi UU KPK) dan penyitaan penyidik dengan izin dari Dewan Pengawas (Pasal 47 Revisi UU KPK) adalah kemudharatan berganda karena:

  • Akan men-subordinasi kedudukan pimpinan KPK (yang telah diseleksi melalui proses yang tidak singkat) dalam penentuan kebijakan operasional teknis penegakan hukum dan penyitaan.
  • Memperlambat mobilitas KPK khususnya penyelidik maupun penyidik dalam upaya percepatan pemberanatasa korupsi melalui fungsi penindakan, karena bukan tidak mungkin Dewan Pengawas tidak akan memberikan izin penyadapan maupun penyitaan,
  • Mengacaukan fungsi penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana anti-korupsi (anti-corruption criminal justice system) karena masuknya intervensi lembaga non-penegak hukum (Dewan Pengawas) dalam teknis penegakan hukum.
  • Merusak sistem ketatanegaraan karena tidak relevan dengan fungsi lembaga pengawas penegak hukum pada umumnya seperti (Komisi Yudisial: bukan sebagai pemberi izin pengadilan menjatuhkan hukuman mati, Kompolnas: bukan sebagai pemberi izin kepolisian melakukan penyadapan, penyitaan, atau penembakan ditempat, atau Komisi Kejaksaan: bukan sebagai pemberi izin kejaksaan dalam menuntut hukuman mati). Sehingga, lembaga pengawas harus diposisikan untuk memantau dan mengevaluasi pelaksanaan kewenangan, bukan malah mengintervensi sejak awal  sebagai penentu kebijakan teknis kewenangan lembaga yang diawasi.
  • Mengekangi prinsip kemandirian fungsi penegakan hukum yang bebas dari campur tangan kekuasaan manapun, karena pelibatan Dewan Pengawas dalam teknis penegakan hukum adalah bentuk intervensi nyata dari Pemerintah (executive) kepada fungsi penegakan hukum (judicative). Hal ini bertentangan dengan prinsip pemisahan kekuasaan (Sparation of Power) dalam negara hukum modern (welfare state). Mengingat, pemilihan dan pengangkatan seluruh anggota Dewan Pengawas dimonopoli oleh Presiden tanpa perlu melibatkan peran serta masyarakat atau lemabag lain. Sehingga, keberadaan Dewan Pengawas menjadi satelit bagi Pemerintah untuk mengontrol KPK dari dalam.
  • Merusak hakikat kerahasiaan penyadapan sebagai barang bukti atau petunjuk yang bersifat rahasia (confidential evidence), berpotensi menggagalkan tujuan utama penyadapan untuk kepentingan hukum (lawfull interception system) karena tidak menutup kemungkinan akan diketahui sejak dini oleh orang di luar KPK, apalagi ketika akan disadap adalah kerabat Presiden atau pejabat tinggi lain yang diduga terlibat korupsi.
  • Ketidak-jelasan dasar operasional/unsur keanggotaan Dewan Pengawas berpotensi disusupi oleh kepentingan penguasa untuk mengggembosi KPK dari dalam dengan menunjuk anggota Dewan Pengawas dari kalangan tertentu/menteri dalam Kabinet Pemerintah seperti pada keanggotaan Kompolnas. Sehingga, dapat dipastikan KPK tidak dapat lagi leluasa menindak pelaku korupsi dari pejabat tinggi maupun pebisnis kelas kakap (big fish).
  • Pembatasan kewenangan KPK dalam mengangkat penyelidik dan penyidik yang harus dari unsur kepolisian atau kejaksaan (Pasal 43 juncto pasal 45 Revisi UU KPK) akan memasung prinsip independensi KPK. Kewenangan KPK dalam mengangkat penyelidik maupun penyidik harus tetap dilakukan secara mandiri dna independen berbasis kompetensi kerja, bukan atas dasar unsur perwakilan/status sebagai pegawai kepolisian atau kejaksaan. Hal ini rentanmembawa dampak pelemahan secara kelembagaan bagi KPK ketikan akan mengusut korupsi di tubuh kepolisian atau kejaksaan. Buak tidak mungkin instansi asal penyidik atau penyelidik akan menggunakan segala cara terhadap bawahannya di KPK untuk melindingi kops institusinya, termasuk dengan menariknya kembali dari dinas di KPK.
  • Prosedur pemeriksaan tersangka korupsi berdasarkan pengaturan umum (lex generali) dalam KUHAP (Pasal 46 ayat (1) Revisi UU KPK) bertentangan dengan karakter dan jenis tindak pidana korupsi membutuhkan tata cara dan pengaturan khusus (lex specialis) yang berbeda dengan tata cara penanganan tindak pidana pada umumnya.
Iklan Souvenir DETaK

Berdasarkan keseluruhan alasan diatas, maka kami menuntut:

Presiden Jokowi agar menolak Revisi Undang-Undang KPK, karena bertentangan dengan poin ke-4 (penjelasan) nawa cita Presiden Jokowi sendiri

Ketua DPR RI, ketua Komisi III bidang Hukum DPR RI, dan seluruh Ketua fraksi di DPR RI agar mencabut Revisi Undang-Undang KPK, karena bertentangan denga harapan dan aspirasi seluruh masyarakat Indonesia

Pimpinan KPK agar satu pandangan menolak Revisi Undang-Undnag KPK karena pengaturannya cenderung melemahkan kewenangan KPK dalam menjalankan fungsi penindakan dna berpotensi membuka konfrontasi di tubuh KPK karena adanya penentu kebijakan ganda selain pimpinan KPK

Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan Mabes Polri agar menolak Revisi Undang-Undang KPK karena mengacaukan fungsi penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana dengan adanya intervensi lembaga non-penegak hukum dalam teknis penegakan hukum.

Seluruh anggota DPR RI yang daerah pemilihannya/berasal dari Aceh agar dengan tegas menolak Revisi Undang-undang KPK karena bertentangan dengan perjuangan Pemberantasan tindak pidana Korupsi.[]

Editor: Riska Iwantoni