Beranda Cerpen Sungai Berdarah

Sungai Berdarah

BERBAGI

Oleh Ramajani Sinaga

ilustrasi

Negeriku memanas saat ini. Setiap hari awan gelap menyelimuti desaku. Tak ada yang indah, aku tak pergi ke sekolah. Ayah melarang keras jika aku berangkat ke sekolah. Setiap wajah menampilkan ketakutan luar biasa. Air mata nanah mengalir di mana-mana. Kamu jangan menganggap negeriku masih dijajah Jepang atau Belanda. Sungguh, naskah proklamasi telah menggema, merah putih pun telah berkibar gagah. Negeriku telah merdeka. Tapi semua orang tutup mulut tanpa bersuara; Merdeka!

Negeriku menakutkan waktu itu. Ibukota negaraku pun hampa. Di atas tugu monas yang gagah. Awan hitam selalu menyetubuhi negeriku. Semua orang takut dan bungkam.

Iklan Souvenir DETaK

Negeriku punya lubang sumur amat dalam. Di dalam sumur itu malam tadi, Jenderal Ahmad Yani dan pahlawan revolusi lain tanpa ruh dikumpulkan oleh pemberontak. Partai Komunis Indonesia mulai berkibar di negeriku.

***

Siang ini ayah melarangku keluar rumah. Entah apa yang terjadi di luar sana. Ayah memerintahkanku untuk tidur. Terpaksa, kornea mata kututup. Ibu membelai tanganku dengan lembut. Ibu mencium keningku pelan. Ibu pun bernyanyi lirih dan pelan. Pelan-pelan suara ibu menghilang. Aku pun tertidur sejenak di siang ini walaupun ketakutan selalu menghampiri.

Matahari hampir berlalu di ufuk barat. Aku terbangun dari mimpi burukku. Aku mencari ayah dan ibuku. Aku berlari ke kamar, dapur hingga ruang tamu. Namun aku tak juga menemukan ayah dan ibuku. Hingga kuberanikan membuka pintu. Walaupun ayah dan ibuku berpesan agar aku jangan pernah membuka pintu. Aku dilarang keluar rumah tanpa ayah dan ibu. Semua terjadi karena situasi negeriku sedang memanas. Pelbagai masalah menimpa negeriku ini. Pintu kubuka pelan. Aku mencari di halaman luar rumah, namun ayah dan ibuku tak kunjung kutemukan.

Aku berlari tak tentu arah di bawah langit gelap ini. Tatkala aku melihat sekumpulan orang berbaju loreng. Aku menghentikan langkahku. Di balik pohon aku mengintip. Aku melihat seorang laki-laki dan perempuan sedang menangis dan meronta. Mereka dikerumuni orang berbaju loreng.

“Dasar PKI!” Seseorang yang berbaju loreng berkata.

“Kalian mengkhianati negeri kalian sendiri!”

“Kalian penghianat!!”

“Seret mereka berdua!!” Perintah seseorang yang berbaju loreng.

Laki-laki dan perempuan itu diseret paksa. Tubuh mereka menggoresi tanah yang kering. Di tanah itu darah menetes dari luka mereka. Sunyi sekali desaku ini. Aku mengikuti mereka pelan. Aku ingin tahu kemana laki-laki dan perempuan itu akan dibawa.

“Penggal kepalanya!” Lelaki berloreng memerintah dengan suara yang besar seakan menggema seluruh alam, hingga burung-burung terbang ketakutan. Mereka berkumpul di atas sebuah jembatan. Di bawah jembatan sebuah sungai mengalir. Sungai meraung-raung dan mengalir deras. Di bawah sungai batu-batu besar terhampar luas. Sungai yang siap melahap siapa saja dalam keheningan.

Tak beberapa lama, laki-laki yang penuh luka dipenggal kepalanya. Tatkala darah segar mengalir dari lehernya dan menetes ke dasar sungai, hingga sungai berubah warna menjadi merah. Lelaki itu dibuang ke dasar sungai. Menyusul perempuan istri laki-laki itu pun ikut dipenggal juga. Dari lehernya mengalir darah. Pun perempuan dibuang ke dalam sungai. Melihat kejadian itu, aku ingin berteriak histeris. Kau tahu? lelaki dan perempuan yang dipenggal itu adalah ayah dan ibuku!

Aku berlari menuju rumah. Air tak mengalir lagi dari kornea mataku. Air mataku telah kering terhisap waktu. Seminggu  yang lalu paman dan bibiku dipenggal di sungai itu. Selang beberapa hari kakekku pun menyusul mereka. Hingga ayah dan ibuku pun dipenggal di sungai itu. Sungai itu neraka darah dan neraka jahannam. Tapi tempat itu adalah surga seluruh keluargaku. Sekarang, aku tinggal sendiri tanpa seseorang pun di sini.

Jika aku sedang pilu, kebiasaanku adalah menulis buku harian. Dalam buku harian aku bisa menulis apa saja, dan aku tak bisa didakwa atau ditangkap gara-gara menulis. Dalam tulisan, aku bisa memaki dunia, memaki presiden, memaki menteri-menteri, memaki gubernurku atau memaki seluruh pemimpinku. Bahkan dalam buku harian aku bisa memaki Tuhan. Tak ada yang marah. Mungkin kau menganggapku aneh.

Tahukah kau? yang sedang kamu baca ini adalah kutipan dari sebuah buku harian, yang bertanggal 3 Oktober tepat ulang tahun pernikahan ayah dan ibuku. Mungkin kamu menyesal membaca cerita ini. Kamu menganggap telah membuang waktu hanya untuk membaca bacaan usang ini. Entah pun kamu menyesal karena membaca tulisan seorang anak dari keluarga partai komunis. Sebelum aku menulis kalimat terakhir, aku berharap kamu mendoakanku agar aku dapat berkumpul bersama keluargaku di surga Tuhan nantinya.

Setelah menyelesaikan tulisan dalam buku harianku ini, aku akan pergi menyusul seluruh keluargaku dalam sungai itu. Aku akan melompat dari tempat tertinggi di jembatan hingga kepalaku pecah terbentur batu-batu padas di dasar sungai. Kamu jangan pernah malarangku. Lebih baik aku sendiri yang melompat dan mati dari pada orang-orang berloreng itu memenggal kepalaku. Bagaimana pun, orang-orang itu sedang mencariku dan akan memenggal leherku sekarang.

Penulis adalah mahasiswa PBSI FKIP Unsyiah angkatan 2011; Lahir di Medan.