Beranda Cerpen Karena Akbar

Karena Akbar

BERBAGI
(Foto: Ist.)

Cerpen | DETaK

Allahu Akbar! Allahu Akbar!”

Suara azan yang dikumandangkan oleh *Teungku Taleb, seorang imam Masjid membuat ayunan langkah Hamid semakin cepat. Mukanya tampak kecut dan masam sama halnya dengan aroma tubuhnya yang bermandi peluh.

Iklan Souvenir DETaK

Terdengar bisikan kecil dari Hamid menyahut azan, “Allahu Akbar.” Ia sampai di rumah dan tepat di depan pintu, Abu sudah berdiri berkacak pinggang. Hamid langsung mencium tangan Abu.

“Maafkan Hamid, tadi Hamid membantu Fatimah mengambil sandalnya yang dilempar ke parit oleh Uma, Abu.”

Abu memang sangat menjaga anak bungsunya Hamid. Bagaimana tidak, Hamdan, abangnya Hamid sudah sangat mengecewakan beliau. Sebagai seorang anak, Hamdan memang anak yang pandai dan selalu menjadi juara kelas, hanya saja ia sering kali ketus dan berkata asal kepada Abu dan Umi. Sebagai orang tua, Abu sudah beberapa kali memberi peringatan, namun semua itu malah membuat Hamdan semakin melunjak. Bahkan, pernah suatu ketika Hamdan dipukul Abu dengan rotan sampai punggungnya memerah. Sejak itulah Hamdan keluar dari rumah. Hamdan pergi merantau entah kemana, ia tak pernah mengirim kabar ke kampung. Inilah mengapa Abu benar-benar menutup hati pada si sulung ini.

Lailahaillallah.”

Azan sudah berakhir. Dua bapak anak itu membaca sebait doa setelah azan, barulah Abu menjawab.

“Sudahlah, kau pergi mandi sana dan lekaslah salat. Bukan sekarang waktunya bicara, keburu gelap,” ujar Abu sembari memperbaiki letak pecinya dan segera berjalan menuju Masjid.

Seketika Hamid langsung ke sumur bersiap untuk menghadap Sang Khaliq. Ia benar-benar berbeda dengan Hamdan abangnya, bahkan dari hal-hal kecil sekalipun, seperti menyahut azan. Hal ini juga salah satu alasan kenapa Abu seringkali marah dan mukanya memerah ketika Hamdan kecil masih di rumah, ia tidak beranjak dan asik dengan komik-komik horornya saat azan terdengar, bahkan sama sekali tidak dihiraukannya. Berbeda dengan Hamdan yang dulunya anak rumahan, Hamid kesehariannya selalu saja kelayapan ke semak-semak atau hutan. Hebatnya Hamid adalah karena ia tidak pernah meninggalkan salat, bahkan ia tidak pernah absen menyahut azan. Inilah kenapa Hamid selalu mendapat nilai tambah dari Abu.

Setelah salat Hamid menyantap makan malam dengan lahap bersama Abu dan Umi sebelum berangkat ke *Balee untuk mengaji.

“Hamid harus jadi anak yang benar. Jangan sampai kau salah kaprah macam abang kau itu, tadi hampir saja Abu meraut rotan. Burung sudah pulang ke sangkar, kau masih macam anak liar di jalan, macam tak punya rumah!” ujar Abu disela suap nasi yang dilahap.

Dengan jailnya ia menjawab, “Baik Abu, tenang saja. Menolong orang kan, tidak selalu saat pagi hari, kalau mereka membutuhkan pertolongan saat magrib bagaimana?” jawab Hamid sekaligus balik bertanya.

“Hamid!” tegur ibunya dengan kening yang berkerut, sebagai kode peringatan bahwa Hamid telah lancang menyahut Abu.

“Bukan begitu Mid, yang Abu maksud bukan tidak boleh menolong orang saat magrib dan boleh saat pagi. Tapi kau harus pandai-pandai menjaga waktu,” sahut Abu sembari mencuci tangan ke dalam sebuah mangkuk kecil, matanya menatap lebih tegas.

Hamid mulai sadar kalau Abu serius, tidak ajak main-main. Akhirnya Hamid merasa bersalah telah menjawab asal-asalan nasihat Abunya tadi.

“Iya Abu, besok Hamid tidak akan mengulanginya lagi.”

“Kau jangan berulah seperti abangmu, kau lihatlah dia sekarang. Anak tak berbudi seperti abangmu itu tidak ada orang yang suka sekalipun ilmunya berkarung,” Abu mulai bertutur pelan. Matanya seakan menerawang ke ambang masa lalu.

“Tidak ada yang tahu dia berpijak di bumi mana sekarang. Jangankan orang lain, saya Abunya saja tidak akan peduli pada anak seperti itu. Katanya dia pandai dan bisa hidup sendiri, tapi entah ada Abu lain di luar sana yang mau menjadi ayah bagi anak pandai namun tak berbudi.”

Mendengar pembicaraan Abu mulai serius, Umi langsung menyela, “Ini sapu tangannya Abu, Hamid lekaslah kau ke balee, jangan sampai kau kena hukuman dari teungku lagi. Selalu saja kau terlambat.”

Hamid langsung meneguk air putih, tidak lupa ia mencium tangan kedua orang tuanya.

Assalamu’alaikum, Abu, Umi.”

***

“Untuk apa kau membantu Fatimah? Seperti pahlawan kesiangan saja kamu!” gertak Uma sepulang mengaji.

Hamid menjawab tegas, “Aku hanya membantu Fatimah. Kau ini jahilnya kelewatan, sudah magrib kau malah melempar sandalnya ke parit.”

“Awas kalau kau ikut campur lagi!” ujar Uma sembari mendekatkan mukanya ke arah Hamid, lalu pergi.

Astaghfirullah! Kenapa Uma tak sadar-sadar,” gerutu Hamid sembari menyusuri jalan setapak yang mulai sunyi.

Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB. Selebihnya, suasana di kampung Lawang memang seperti kampung mati. Hamid melangkah di jalan setapak yang remang-remang dan sawah disekelilingnya. Hanya terdapat beberapa rumah disitu, termasuk rumah keluarga Hamid.

Sreek

Kaki Hamid tak sengaja menyepak sebuah bungkusan di depannya. Bungkusan itu tidak nampak lusuh.

“Ini apa ya? Tapi Hamid tidak boleh membukanya,” gumam Hamid sembari matanya menelisik kearah sekitar, siapa tahu pemiliknya belum jauh pergi.

Lalu Hamid melihat di ujung jalan berbatu ada bocah yang sedang menyingkap semak-semak, melihat kesana kemari, dan mencoba memungut setiap kantong hitam yang ia temui di pinggiran jalan lalu membuangnya kembali, ia kelihatan sedang mencari sesuatu.

“Itu sepertinya pemilik bungkusan ini, dari tadi ia memungut setiap bungkusan  yang tercecer.”

Lalu Hamid melangkah ke arah bocah itu, tapi tiba-tiba ia seakan tersentak dan menghentikan langkahnya.

Astaghfirullah! Ini sudah larut, kalau Hamid kejar bocah itu pasti Hamid akan di marahi Abu.”

Ia menggaruk-garuk kepalanya karena bingung harus mengejar bocah itu atau pulang ke rumah karena sudah larut malam. Ia berada dalam pilihan yang serba benar.

“Tidak boleh kelayapan pulang mengaji, kau harus langsung pulang untuk belajar, jangan setiap saat yang kau tahu hanya main, main, dan main!” terngiang petuah yang selalu diperingatkan Abu saat ia hendak berangkat mengaji.

Lalu Hamid mengambil keputusan, berpikir terlalu panjang hanya akan membuatnya semakin terlambat pulang, dan pemilik bungkusan itu akan hilang di telan kelam.

Ia berlari sembari memanggil bocah itu, “Dik, berhenti lah!”

Sambil melambai-lambaikan tangan kearah jalan berbatu itu. Bocah itu melihat dari kejauhan, ia terheran-heran siapa gerangan malam-malam begini memanggilnya.

“Dik, benar ini punyamu?” tanya Hamid dengan napas tersengal karena ia baru saja berlari kencang. Meskipun hanya berjarak 100 meter tapi tetap saja napasnya naik turun seakan baru selesai lari maraton.

Bocah tersebut segera membuka bungkusan itu. “Ia bang terima kasih, Alhamdulillah ya Allah!”

Terlihat rona bahagia di wajah bocah itu, ia meloncat kegirangan. Lalu tiba-tiba ia bersujud ke tanah sebagai tanda syukur, entah seberapa berharganya bungkusan itu bagi bocah ini. Namun ia benar-benar ingin mengeluarkan air mata, matanya berkaca bening.

“Huh, begitu berharganya bungkusan itu baginya, meski bagiku mungkin hanya bungkusan plastik, gumam Hamid dalam hati.

Kenyataan yang mengharukan tapi malam benar sudah kelam. Ditambah dengan aroma dingin malam yang semakin menusuk dan kesunyian yang kian melebur bersama liuk ranting di pinggir parit.

“Tadi saya temukan bungkusan itu di samping parit, di ujung jalan yang dekat dengan sawah sana. Siapa namamu, Dik?” tanya Hamid.

“Saya Akbar bang, ini obat untuk Abu. Sesak napasnya semakin parah akhir-akhir ini,” jawab Akbar dengan mulut bergetar. Tampak raut kesedihan di wajahnya.

Hari sudah semakin malam, sedangkan kedua anak itu makin larut dalam  pembicaraan hangatnya sambil duduk di rerumputan. “Besok abang akan main ke rumah Akbar, sekaligus jenguk Abu. Akbar jangan sedih, obatnya sudah ketemu dan lekaslah pulang. Malam sudah larut jangan sampai Abu kumat,” ujar Hamid kepada Akbar sembari mengusap-usap kepala bocah itu. Tampak ia begitu lenyap dalam cerita Akbar sedari tadi.

Akbar mencium tangan Hamid dengan begitu takzimnya. Seketika Hamid tersentak, ia yang baru kelas VI SD sudah ada yang menciumi tangannya. Sebagai anak bungsu, Hamid memang tidak pernah disalami sebagai seorang abang, tapi malam itu ia merasa seakan Akbar adalah saudara kandungnya sendiri, tapi tidak mungkin. Hamid hanya memiliki seorang saudara kandung dan itu pun adalah abangnya yang sampai saat ini belum pernah bersua. Ia hanya mendengar cerita dari Abu tentang abangnya, itu pun saat ia diomeli karena berbuat salah. Pernah sesekali Umi yang menceritakan tentang Hamdan. Abangnya tak selalu buruk seperti yang digambarkan Abu selama ini. Menurut cerita Umi, sekarang Hamdan sudah berusia sekitar 30 tahun. Pastilah ia sudah berkeluarga layaknya rekan sebaya Hamdan di kampung.

Akbar berlalu pulang sambil berlari kecil. Hamid langsung teringat Abu dan Umi dirumah. Ini sudah begitu gelap dan Hamid telah melanggar peraturan rumah. Kali ini dia memang sudah keterlaluan. Hamid berlari kencang menuju rumah, suara napasnya yang naik turun sejalan dengan suara langkah kaki.

Sesampainya di rumah Hamid mengucap salam sambil mengetuk pintu. “Assalamua’laikum!

Wa’alaikumsalam!

Terdengar sahutan dari dalam diikuti dengan derap suara langkah kaki yang terburu-buru menuju pintu.

“Suara Umi yang menjawab salam, lalu Abu kemana?” gumam Hamid yang mulai berkeringat, tidak hanya karena berlari kencang tetapi juga karena kepanikannya.

Driiit

Suara derit pintu. Lalu muncul Umi di hadapannya. Hamid mencium tangan Umi. “Ya Allah Hamid! Baru saja tadi magrib kau diperingati, ini jam dua belas malam, Nak! Kemana saja kamu?” Umi menyambut Hamid dengan pertanyaan yang cukup sulit dan butuh waktu lama untuk menjawabnya.

“Jangan panik Umi, Abu mana mi?” Hamid balik bertanya.

Seketika langsung terdengar suara Abu dari belakang Hamid. “Dari mana kamu, Mid? Kau minta Abu ini marah? Kau mau Abu mati berdiri karena anak seperti kamu?”

Kali ini Abu benar-benar marah, suaranya bernada tinggi, keras, matanya merah, dan tangannya menggenggam sebilah rotan.

Hamid yang tadinya mengira hampir selamat dari Abu ternyata salah besar. Ia telah mengundang amarah Abu, sama dengan belasan tahun silam. Ya, amarah yang sempat meluap sampai Hamdan benar keluar dari rumah.

“Ham..Ham..Hamid tadi..” jawab Hamid gemetar benar.

Plak! plak! plak! Tidak sempat berkata panjang rotan itu sudah mendarat di punggung Hamid. Hamid seketika menjerit kesakitan, “Ahaa! Aha! Aduuuuhh! Abu! Ampun Abu! Ampun!”

Plak! Plak! Plak! Abu melanjutkan ayunan rotannya. Sedangkan Umi sudah menjerit di sebelahnya. “Abu, hentikan! Jangan kau ulangi kesalahan yang sama! Umi mohon Abu!”

Hamid terjatuh ke lantai, ia kehabisan daya dan Abu yang sudah gelap mata masih saja mengayunkan rotannya. Plak! Plak! Plak!

Abu masih saja menggerutu kesal, sedangkan Hamid sudah hampir mati dihajar rotan. “Malam ini kau dapat pelajaran berharga Hamid! Pelajaran yang setara dengan yang diterima abang kau yang sangat cerdas itu! Pelajaran agar kau bisa menghargai orangtua! Masih sekecil ini kau sudah berani berulah!”

Lalu Abu menjatuhkan rotan dari genggamannya dan duduk dikursi dengan lirih.

“Ampun Abu, sakit,” suaranya terdengar lirih, Umi yang melihat anaknya meringkuk kesakitan langsung merangkulnya masuk ke dalam.

***

“Sakit Umi..”

Pagi itu Hamid terjaga lebih awal tanpa perlu dibangunkan Umi, tidak seperti biasanya. Bagaimana tidak, ia tidak bisa tidur nyenyak semalaman bahkan Hamid pun harus tidur tertelungkup agar memar dan lebam bekas pukulan Abu semalam tidak terkena kasur tempat ia berbaring.

Umi yang semalaman menunggui Hamid pun lekas terjaga mendengar rintihan Hamid si bungsunya. “Baru jam empat pagi Mid, kau sudah bangun?” tanya Umi sambil melihat jam.

“Hamid tidak bisa tidur Umi, sakit..” rengek Hamid.

“Iya, kau harus sabar ini pasti sembuh. Kau harus istirahat dulu hari ini dan tidak usah sekolah. Biar Umi hubungi wali kelasmu nanti,” tukas Umi sambil memeriksa lebam-lebam di punggung Hamid.

“Hamid sanggup sekolah, Mi. Nanti Hamid pasti sudah sembuh.”

Hamid tetap ingin sekolah hari ini karena teringat rencananya yang ingin menjenguk Abunya Akbar sepulang sekolah.

“Hamid, kau dengarlah nak kata Umi. Kau tidak sanggup sekolah hari ini, istirahat saja dulu dirumah. Kenapa kau begitu keras kepala,” gerutu Umi dengan gemas melihat Hamid yang begitu bersikeras untuk sekolah.

“Aduh sakit Umi, ya sudah Hamid istrahat tapi rencananya Hamid mau menjenguk Abunya Akbar sepulang sekolah,” Hamid meringis.

“Akbar? Siapa dia, Nak?” Umi heran karena selama ini tidak ada kawan Hamid yang bernama Akbar, setahu Umi.

“Semalam Hamid terlambat pulang karena bertemu Akbar. Dia anak kampung sebelah dan baru pindah dari kota karena Abunya sakit-sakitan. Ibunya pun sudah pergi meninggalkan mereka semenjak Abunya sakit dan kehilangan pekerjaan, bahkan pulang ke kampung saja mereka harus berhutang. Akbar memungut botol-botol bekas untuk dijual ke tempat daur ulang, selama ini hanya dia yang bekerja serabutan di jalanan seperti itu. Abunya sakit dan harus terbaring di rumah,” sahut Hamid menjelaskan tentang Akbar yang semalam dijumpainya.

“Lalu kamu kenal dia dimana, Nak?” sepertinya Umi sudah mulai mengerti kenapa Hamid terlambat pulang semalam.

“Semalam Umi, sepulang mengaji Hamid menemukan bungkusan obat di jalan dan itu milik Akbar, saat itu dia sedang mencari bungkusan obat malam-malam, untung saja Hamid langsung kembalikan, kalau tidak mungkin dia bisa sampai pagi di jalan dan Abunya kembali kumat,” jawab Hamid.

“Dia masih kecil sekali Umi. Mungkin baru kelas I SD. Tapi sayangnya, dia tidak sekolah lagi,” sambung Hamid.

Seketika Umi termenung. Diam-diam Umi terharu pada anaknya ini. Ia begitu sering menolong, Hamid benar-benar anak yang baik budi meskipun kebaikannya telah membuat dia sendiri lebam-lebam sampai ke rumah.

“Umi…” panggil Hamid.

Umi terkejut dan terbangun dari lamunannya, “iya, kenapa, Nak? Ada yang sakit?”

“Tidak Umi, Umi kenapa melamun?” Hamid balik bertanya.

“Oh itu, Umi tidak apa-apa. Kamu tahu rumahnya Akbar?” Umi kelihatan salah tingkah.

”Tau Mi, di samping masjid kampung sebelah. Umi tau kan?”

”Oh di situ. Umi pernah beberapa kali mengikuti pengajian di masjid tersebut,” jawab Umi.

”Kenapa Umi tanya alamat Akbar?” tanya Hamid heran.

“Umi mau jenguk dia, kamu kan lagi sakit tidak bisa menjenguk”

“Benar Umi? Alhamdulillah Hamid senang sekali!” ia setengah tak percaya.

“Tidur saja lagi nak, Umi mau wudhu’ dulu.”

Umi beranjak dari tempat tidur sambil memperbaiki letak selimut Hamid.

“Umi….”

Umi membalas panggilan Hamid dengan tatapan penuh kelembutan.

“Umi tolong jelaskan pada Abu kenapa Hamid telat pulang semalam. Setidaknya Abu tahu kalau Hamid tidak sengaja kelayapan. Hamid tidak mau jadi anak durhaka,” dengan nada pilu, ia menangis.

“Itu biar Umi yang urus, tidak usah takut,” jawab Umi menenangkan.

***

Sepertinya Umi sudah menjelaskan kejadian semalam pada Abu. Ya, setidaknya Abu tahu kalau Hamid lagi-lagi melanggar peraturan untuk menolong orang.

Abu masuk ke kamar Hamid, “Kau tidur Hamid?”

“Tidak Abu, Hamid minta maaf,” ujar Hamid ragu-ragu.

Abu duduk di samping Hamid, “Hmm, Abu sudah mendengar ceritanya dari Umi, mana yang sakit? Abu juga meminta maaf karena telah membuat punggungmu lebam-lebam seperti ini,” ucap Abu menyesal.

“Tidak Abu, Hamid memang salah.”.

“Kau baik-baik saja ya, Abu hendak mengantar Umi.”

Abu bangun dan mengusap-usap kepala Hamid, lalu keluar.

***

Assalamu’alaikum,” Umi memberi salam sambil mengetuk pintu.

Wa’alaikumsalam,” jawab Akbar dari dalam. Lalu membuka pintu dan menyalami kedua orang tua Hamid.

“Kami orang tuanya Hamid, nak.” ucap Umi melihat Akbar yang bingung karena tidak mengenali siapa yang singgah ke rumahnya.

“Masuk Miwa, Abuwa, silahkan duduk.”

Mereka pun duduk di lantai yang beralaskan tikar usang. Rumah ini benar-benar memprihatinkan.

“Bang Hamid tidak ikut kesini Miwa?” tanya Akbar sambil menjamu mereka dengan teh manis hangat. Ia memang terlihat sangat sopan, mandiri dan bersahaja. Sikap Akbar sangat berbeda dengan umurnya.

“Hamid sakit nak, Insya Allah besok kalau sudah pulih dia pasti kesini.”

Umi memang tidak mengatakan kalau Hamid sakit karena dipukul Abu supaya Akbar tidak merasa bersalah.

“Nak, mana Abumu? Benar dia sedang sakit parah?” Abunya Hamid yang sedari tadi diam pun mulai bicara.

“Ada di kamar, sebentar Akbar panggilkan.”

“Tapi Abumu kan sedang sakit, apa dia sanggup berjalan? Biar saja dia istirahat.”

“Tidak apa-apa Abu sudah membaik karena sudah minum obat semalam.”

Tak lama kemudian, Akbar menuntun Abunya berjalan ke ruang tamu sederhana. “Abu, ini Abu dan Umi bang Hamid yang semalam Akbar ceritakan.”

Seketika Abunya Hamid tercengang, begitu juga dengan Umi. “Kau Hamdan?” tanya Umi dengan mata tak berkedip.

Abunya Akbar pun ikut tercengang dan tak percaya. “Abu, Umi!”

Ia menyebut kata itu dengan lutut gemetar, lalu jatuh melutut di hadapan Abunya Hamid yang matanya merah menahan air mata. Bibirnya ikut bergetar, “Abu, maafkan Hamdan! Hamdan telah menerima balasan atas semua yang Hamdan perbuat dan Hamdan menyesal, Abu! Tolong maafkan Hamdan!”

Abunya Akbar ternyata adalah Hamdan, anak sulung Abunya Hamid yang pergi beberapa tahun lalu. Ia menangis sesenggukan sambil mencium lutut Abunya. Tapi Abu tak bergerak, pandangan matanya masih tajam menatap lurus kedepan.

Umi langsung memeluk Akbar “Ya Allah! Akbar cucuku!” Umi memeluk Akbar erat dan menciumnya.

“Ini Mak cik! Ini benar-benar Mak cik, sayang!” ucap Umi mencoba menjelaskan pada cucu kecilnya itu.

“Mak cik!” panggil Akbar lirih. Mereka menangis haru, Akbar di pangkuan neneknya.

Namun di sisi lain Abu dengan Hamdan masih seperti tadi. Abu mengeluarkan air bening dari matanya karena tak sanggup menahan air mata meski sudah merah sedari tadi. Ya, air mata dan keharuan lebih kuat dari matanya.

Terdengar lagi suara lirih Hamdan “Abu, ampuni Hamdan! Hamdan sadar dan sudah berubah, semua nasehat Abu dulu harusnya Hamdan dengarkan!”

Abu masih diam, hanya matanya saja yang kian banyak mengeluarkan air. Lalu Abu bangkit dan berdiri di pintu rumah, memandang ke arah luar.

“Kau anakku, pulanglah ke rumah,” ucap Abu dengan gemetar.

Hamdan makin menangis di tempatnya. “Alhamdulillah, Ya Allah!” ucapnya lirih sembari bersujud sebagai rasa syukur terhadap kenyataan yang Allah takdirkan hari ini kepadanya.

“Umi, mari kita pulang dan bawa Akbar. Hamdan lekaslah berkemas, nanti kujemput kau kembali,” ujar Abu lagi-lagi dengan mata yang menatap ke arah luar.

“Akbar bantu Abu mengemas barang dulu, kasihan Abu bila sendirian mengemas barang sendiri. Biar Mak cik saja yang pulang duluan,” ucap Akbar, bocah kecil yang bersahaja itu.

“Baiklah, mari Umi!” Abu langsung menyalakan mesin motornya.

“Nak, cepat kau berkemas ya! Nanti Abu cik langsung menjemputmu,” sambil mencium kening Akbar.

“Hamdan!” tegur Umi sambil mengusap-usap rambut anak sulungnya itu.

“Umi!” Hamdan bangkit dari sujudnya lalu memeluk Umi kuat-kuat.

***

Driitt

Suara deritan pintu kamar Hamid yang dibuka pelan. Hamid yang sedang asik dengan hafalan Juz ‘Amma-nya melongok ke arah pintu.

“Siapa?” tanya Hamid. Ia mengira Abu dan Umi belum pulang, lagipula tidak tampak kepala orang yang membuka pintu, ia mencoba bangkit dan duduk.

Aaaww, Aduh sakit!”

“Ya Allah Akbar! Pantaslah tidak tampak kepala orang yang membuka pintu, ternyata orang kecil. Kemarilah!”

“Akbar sayang Cek Hamid!”

“Kenapa kau panggil abang Cek? Baru semalam kita bertemu lalu apakah sekarang abang sudah kelihatan tua?” kening Hamid mengerut.

Driit

Terdengar lagi suara deritan pintu dan kali ini dengan kepala orang yang langsung tampak tetapi Hamid sama sekali tidak mengenalnya. Abu dan Umi yang menuntun orang tak dikenal itu.

“Kau memang Cek Hamid dan ini keponakanmu, Hamid,” ujar Hamdan.

Hamid mulai bingung, sepertinya hanya dia yang tidak tahu apa-apa di sini. “Tunggu sebentar, berarti ini bang Hamdan?”

“Iya, ini Akbar anak abang,” sahut Hamdan dengan simpul senyum di wajah pucatnya.

“Ya Allah, bang Hamdan!” Hamid terperangah dan kaget seketika.

‘Iya, ini abangmu Hamid. Ayunan rotan di punggungnya telah membawanya pergi dari rumah dan dengan ayunan rotan di punggung adiknya dia kembali,” tukas Umi sambil senyum menggoda.

Alhamdulillah! Inilah alasannya kenapa setiap manusia harus tolong menolong setiap saat kan Abu?” Hamid berbalik menggoda Abu.[]

 

*Teungku adalah panggilan atau gelar kepakaran untuk seorang ulama atau ustadz atau guru ngaji.

 

Penulis bernama Nailur Rahmah. Ia merupakan mahasiswi jurusan Psikologi, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, angkatan 2016.

Editor: Mohammad Adzannie Bessania