Beranda Headline Jurnalis Kampus Babat Koruptor

Jurnalis Kampus Babat Koruptor

BERBAGI

Proses pemberantasan korupsi di Indonesia melewati jalan terjal. Hal ini akibat maraknya kebohongan di berbagai instansi penegak hukum sendiri, khususnya kepolisian dan kejaksaan. Ironisnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk era Megawati kini terkesan kehilangan taring. Institusi independent diobok-obok oleh aktor koruptor melalui berbagai kasus. Berawal dari dugaan pembunuhan yang dilakukan oleh Mantan Ketua KPK Antasari Azhar, hingga dugaan suap pimpinan KPK Chandra Hamzah dan Bibit Samadrianto.

Pasca kejadian tersebut, KPK terus dilindas masalah. Berbagai laporan dugaan korupsi terus membanjiri brankas laporan. Sayang, taringnya tak lagi tajam, sehingga upaya pemberantasan korupsi melemah. Padahal jauh sebelum kondisi ini timbul, para koruptor papan atas dibuat kapok oleh KPK.

Tidak sedikit mereka dijebolkan ke terali besi, meskipun termasuk besan Presiden SBY, Aulia Pohan mantan deputi Bank Indonesia (BI). Dan banyak aktor lain yang berada di bui, meski kemudian, hidup mereka di bui juga tak kalah menyenangkan karena begitu besarnya fasilitas mewah yang diberikan aparatur pemerintah sendiri.

Iklan Souvenir DETaK

Diakui atau tidak, kondisi melemahnya KPK juga berimbas pada upaya pemberantasan korupsi di seluruh provinsi di Indonesia. Para elit koruptor di berbagai provinsi kembali menunjukkan tajinya untuk memperkaya diri dan golongannya. Hal itu karena adanya anggapan bahwa korupsi tak bisa diberantas oleh pemerintah itu sendiri.
Provinsi Aceh juga mengalami hal senada. Penjamuran korupsi dan mafia kasus kembali marak. Misalnya saja, berdasarkan catatan Gerakan Anti Korupsi (Gerak) Aceh, 10 dari 17 kasus korupsi di Aceh divonis bebas. Gerak juga menuding peradilan di Aceh korup, sehingga banyak kasus korupsi divonis bebas.

Catatan dan pernyataan tersebut tentu tak bisa dibiarkan begitu saja. Tak ingin Provinsi Aceh kembali menjadi provinsi terkorup di Indonesia dengan gelimangan Sumber Daya Alam (SDA).

Di sektor kampus sendiri, indikasi korupsi tersebut bukanlah tak ada. Hanya saja, lembaga sekelas Gerak Aceh ataupun lembaga anti korupsi lain tak bisa menembus dimensi kampus. Hal itu akibat kampus memiliki otoritas sendiri sehingga audit pengelolaan keuangan kampus dilakukan oleh lembaga resmi pemerintah. Padahal kita ketahui bersama, advokasi dan investigasi lembaga non pemerintah menjadikan acuan pembanding untuk melihat efektivitas dan transparansi penggunaan uang kampus.

Dalam skala global, kita sadari peran pers sangat besar dalam rangka menguak kasus-kasus korupsi. Nah, bagaimana dengan pers kampus?

Sebenarnya, peran pers kampus juga sangat besar dalam pengentasan korupsi, khususnya di lingkungan kampus.
Apakah itu di rektorat, fakultas hingga lembaga mahasiswa sangat penting diawasi. Karena, peredaran uang di kampus memang sangat tinggi dan penyalahgunaan anggaran bisa saja terjadi. Sayangnya, hal ini sangat jarang terekspos bahkan tidak menjadi perhatian di kalangan pers, demikian halnya pers kampus.

Minimnya pemberitaan tentang keuangan kampus, tentu sangat memprihatinkan. Padahal, terlalu banyak anggaran yang seharusnya diketahui oleh publik, karena kampus merupakan milik bersama, anatara mahasiswa, orang tua, hingga pemerintah dan lembaga yang terkait dengan kampus.

Karena itu, peran pers kampus sangat penting dalam hal mengungkap kasus korupsi, minimal, untuk tingkat kampus.
Untuk mengungkap sebuah kasus korupsi di kampus, penulis mengakui, kemampuan mahasiswa untuk melakukan sebuah investigasi masih sangat lemah. Banyak faktor yang menyebabkan hal ini. Di antaranya, teman-teman pers kampus masih gamang terhadap peran dan statusnya sebagai jurnalis. Masih ada ketakutan, jika sebuah kasus korupsi diberitakan, maka, bukan hanya lembaga pers kampus yang terancam ditutup, status mahasiswa juga bisa terancam.

Permasalahan itu, secara tidak langsung telah menyebabkan lemahnya tekad untuk menulis dan mengungkap kasus korupsi di kampus.

Hingga kini, perlindungan terhadap pekerja pers kampus memang masih terasa lemah. Apalagi dengan kebijakan otonomi kampus, posisi mahasiswa sangat rentan dan nyaris tidak ada perlindungan.

Hal ini nyaris berbanding terbalik dengan kondisi pekerja pers sungguhan yang berada di bawah sebuah media. Mereka lebih leluasa karena ada jaminan. Baik dari pihak pimpinan redaksi hingga perusahaan dan perlindungan undang-undang.

Oleh karena itu, diperlukkan sebuah solusi, agar pekerja pers kampus memiliki keleluasan yang lebih, sehingga aktivitasnya sebagai mahasiswa juga tidak terancam. Jika hal ini tidak dipikirkan, maka, sampai kapanpun, peran pers kampus dalam hal memberantas korupsi akan tetap kecil.[]

Oleh Reja Hidayat