Beranda Opini Dimanakah Anti Virus Korupsi

Dimanakah Anti Virus Korupsi

BERBAGI

Oleh:Zulfata

Ilustrasi. (Sumber: Google.com)

Momen peringatan hari anti korupsi sedunia pada 9 Desember 2014 lalu, secara tidak langsung telah memberikan isyarat kepada kita semua, untuk peduli terhadap masalah-masalah di Indonesia, yang selalu terinveksi oleh virus yang melumpuhkan negeri ini secara perlahan. Sepanjang sejarah manusia hidup di permukaan bumi, tidak lepas oleh kasus-kasus tentang korupsi, sehingga istilah budaya korupsi disebutkan budaya yang paling cepat mengalami perkembangan dan sangat cepat diterima oleh sebagian masyarakat.

Seiring perkembangan tersebut, artikel-artikel tentang korupsi pun tak terhingga, dan berbagai lembaga-lembaga yang bergerak di bidang pencegahan korupsi tumbuh bagaikan cendewan di musin hujan. Namun anehnya, semakin banyak tulisan tentang bahaya korupsi dan bertambahnya lembaga tentang pencegahan korupsi, ironisnya perkembangan korupsi semakin hari semakin “membaik”. Mungkin jika korupsi tersebut berbentuk seperti materi, kemungkinan tubuh korupsi tersebut tidak ada gangguan penyakit terhadap dirinya.

Iklan Souvenir DETaK

Media masa di Indonesia, naik elektronik maupun cetak, terus menyoroti upaya yang dilakukan KPK untuk mengkampanyekan tentang bahaya korupsi. Berbagai metode kreatif telah diterapkan, mulai pembimbingan dari kalangan anak-anak, remaja, hingga dewasa sekali pun. Namun hal itu tidaklah cukup untuk membendung kekuatan korupsi yang sangat terstruktur di negeri ini.

KPK pun telah melakukan pemetaan defenisi tentang korupsi agar semua lapisan masyarakat di Indonesia paham apa yang disebut korupsi melalui beberapa regulasi. Regulasi tersebut diantaranya adalah UU No.31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan korupsi yang intinya terdapat beberapa pembagian. Pertama, menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri dan dapat merugikan keuangan negara adalah korupsi. Kedua, menyuap pegawai negeri (PNS) adalah korupsi. Ketiga, memeberi hadiah (gratifikasi) kepada pegawai negeri karena jabatannya adalah korupsi. Keempat, pegawai negeri menerima suap adalah korupsi, dan kelima, menyuap hakim dan Advokad juga korupsi. Serta masih banyak turunan-turunan UU tersebut yang tidak meungkin penulis paparkan.

Sejatinya Pegawai negeri di negeri tercinta ini sangat konsisten dengan sumpah jabatannya, maka dengan sumpah itu dapat minimalisasi virus-virus korupsi. Walaupun masih ada para pegawai negeri yang mengapdi untuk bangsa dan negara ini yang meliliki komitmen besar untuk mencegah dan memberantas korupsi dilingkungan kerja mereka.

Perbincangan pegawai negeri ini sangat penting, karena secara logika ataupun akal sehat manusia apabila seluruh pegawai negeri bebas dari perilaku korupsi, maka virus-virus korupsi akan semakin berkurang, belum lagi ditambah dengan rekontruksi budaya masyarakat biasa yang jauh lebih besar untuk membasmi korupsi di permukaan bumi ini. Alasannya dapat diketahui bahwa masyarakat biasalah yang pertama dan yang paling paham tentang bagaimana pahitnya tentang efek dari perilaku koruptor yang tidak memiliki perasaan perikemanusiaan sedikitpun.

Dalam khanazah keilmuan interdisipliner multi interpretasi tentang pemaknaan korupsi pun terjadi, salah satunya interpretasi tentang korupsi dalam hal ini adalah segala sesuatu yang merugikan manusia atau mengurangi hak dan tanggung jawab manusia adalah korupsi. Dengan demikian tidak heran penulis menyimpulakn bahwa korupsi dinegeri ini bagaikan penyakit kutukan dan belum diketahui dimana keberadaan penyembuh dari kutukan yang berbentuk korupsi tersebut.

Walaupun tanggung jawab atas dampak korupsi yang merendahkan martabat bangsa, tetapi adalah tanggung jawab kita bersama. Perguruan Tinggi (PT) baik negeri baik maupun swasta maupun negeri juga ikut berperan dalam hal ini. Namun, di tempat generasi bangsa yang menuntut ilmu tak jarang universitas di negeri ini terindikasi sebagai ladangnya generasi para koruptor. Dalam kasus ini, universitas bukan cenderung korupsi mengenai uang negara, melainkan korupsi di bidang tanggung jawab untuk meningkatkan sumber daya manusia yang belum membuahkan hasil yang baik bagi negeri.

Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin?

Berbagai macam dampak sosio kultural yang disebabkan korupsi mulai dari kesenjangan sosial, kemiskinan, hingga meningkatnya angka pengangguran. Dalam tahapan ini terdapat dua kelompok yang merasakan bias dari perilaku korup tersebut, yakni kelompok yang merasa diuntungkan dan kelompok yang merasa dirugikan atau dikhianati. Kelompok yang diuntungkan merasa budaya korupsi tersebut adalah bagian dari sikap yang tidak dapat dipisahkan dalam lingkungan kerja. Sehingga dengan demikian, ketika terbiasa mempraktekkan perilaku korupsi di dunia kerja, secara tidak langsung telah melegalkan perilaku mereka tanpa merasa bersalah, dan sikap tersebut muncul didasari faktor kebiasaan. Sedangkan kelompok yang merasa dirugikan dari dampak korupsi, mereka merasa tersiksa melalui perilaku-perilaku koruptor yang telah mengambil hak mereka secara tidak langsung. Pada umumnya kelompok yang dirugikan ini terdiri dari masyarakat kelas menengah ke bawah yang setiap saat selalu menjadi tumbalnya perilaku dari para koruptor.

Tidak dipungkiri bisa bahwa rakyat Indonesia telah sepakat masalah terbesar yang dihadapi negeri ini adalah korupsi yang tiada habisnya. Hal ini dapat dipahami melalui realitas yang selalu menghiasi media masa. Perilaku ini timbul dari beberapa gejala. Pertama adalah sebagai sarana untuk pembodohan rakyat. Harus kita akui bahwa rakyat Indonesia masih dibalut dengan sisi-sisi kebodohan, fakta ini juga memberikan pengaruh kepda beberapa lembaga yang bergerak untuk mencegah agar rakyat Indonesia menjadi lebih baik secara keilmuan, namun usaha-usaha lembaga yang bergerak dalam pendidikan rakyat tersebut akan menjadi kewalahan dalam mendidik rakyat, jika perilaku korupsi terhadap kebijakan politik yang tidak pro terhadap nasib pendidikan bangsa.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa perilaku yang korup di bidang pendidikan ini terkesan hanya sebatas tontotan para elit politik yang hanya dapat mengkritik nasib negeri tanpa memberikan solusi yang stategis, hal ini juga didukung oleh sikap para cendikiawan yang hanya dapat memberikan konsep solusi yang strategis, namun solusi tersebut hilang ditelan masa begitu saja tanpa direspon dengan serius oleh birokrat negeri.

Kedua, semakin bertambahnya pengangguran dan masyarakat miskin, sering kali disampaikan dalam wacana-wacana politik bahwa politik tersebut bertujuan untuk mensejahterakan nasib rakyat, sehingga persoalan-persolan rakyat baik persoalan ekonomi, kesehatan, hingga pekerjaan adalah tanggung jawab para birokrat. Namun, cita-cita politik yang telah dikampanyekan tersebut hilang seketika. Bukti-bukti politik atau penerapan kebijakan untuk mensejahterakan rakyat yang miskin tersebut tidak akan tercapai, selama perilaku korupsi masih hidup dalam menentukan kebijakan untuk mensejahterakan rakyat. Tetapi hal sebaliknya justru terjadi, kelompok-kelompok yang membuat kebijakan untuk rakyat malah menjadi sejahtera dan rakyat yang ingin disejahterakan tersebut terus sengsara.

Serta yang kertiga adalah rusaknya hutan dan ekosistem alam. Persoalan ini sangat jelas terlihat dan ada di ingatan kita semua, bahwa hutan di Indonesia semakin hari kian berkurang dan akibat dari itu justru rakyat yang selalu pertama kalinya merasakan, misalnya, terjadinya banjir, lumpur lapindo, hingga pencemaran perairan yang diakibatkan oleh industri pertambangan yang tidak bertanggung jawab. Miris sekali ketika para pelaku korupsi yang sering disebut koruptor tersebut malah tidak pernah merasakan secara langsung terhadap dampak korupsi yang berhubungan dengan gejala murka alam itu.

Terdapat asumsi bahwa para koruptor dapat terhindar dari gejala murka alam dikarenakan para koruptor telah sukses mempraktekkan korupsi dengan sempurna, sehingga hasil korupsi tersebut para koruptor dapat berpindah tempat atau wilayah sesuai dengan keinginan mereka, walaupun para koruptor tersebut akan mendapat siksaan yang berat di hari akhir kelak.

Dari paparan di atas, penulis berpendapat bahwa Korupsi adalah sumber segala kesengsaraan bagi negara dan bangsa, yang dirasakan oleh rakyat sehingga sejatinya rakyat sebagai objek pertama untuk disejahterakan, namun hal ini dihalangi oleh korupsi yang telah mampu memutar dan membalikkan tujuan negara sebagai organisasi besar untuk mewujudkan kemakmuran rakyat menjadi negara sebgai pemakmur para koruptor.

Penulis adalah Zulfata, Aktif sebagai pengurus Sekolah Anti Korupsi Aceh dan Kadiv. Penelitian & kajian di LSM Aceh Independen. Email: [email protected][]

Editor: Murti Ali Lingga