Beranda Opini Demokrasi, Hoax, dan Ancamannya Terhadap Jurnalisme di Bumi Pertiwi

Demokrasi, Hoax, dan Ancamannya Terhadap Jurnalisme di Bumi Pertiwi

Ilustrasi (Sumber: Google)
loading...

Opini | DETaK

Demokrasi (democracy) adalah sepenggal kata yang sering dipahami oleh masyarakatt dengan makna dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Semenjak kemerdekaan, Indonesia adalah sebuah negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi. Adapun ciri-cirinya antara lain adanya kebebasan berpendapat, kebebasan pers dan adanya Pemillihan umum (Pemilu). Demokrasi  adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi baik secara langsung atau melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum.

Kebebasan pers merupakan salah satu ciri negara demokrasi. Bahkan dalam trias politica, pers menjadi pilar keempat demokrasi dan menjadi bagian Hak Asasi Manusia (HAM), setiap orang bebas memberikan pendapat, gagasan maupun kritikan. Indonesia pernah berada di titik terendah kebebasan pers pada masa Orde Baru (Orba) di bawah kepemimpinan Soeharto. Pers pada saat itu harus tunduk dan patuh terhadap segala kebijakan pemerintah. Pers atau publik dilarang mengkritik kebijakan pemerintah, meskipun keputusan penguasa tidak berpihak pada masyarakat kecil. Bila membangkang, pers bisa saja dibredel, bahkan pemerintah menutup paksa perusahaan pers tersebut. Kasus lain juga sering didapatkan ketika rakyat kecil membangkang atau menolak kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang tidak segan-segan untuk di penjarakan.

loading...

Setelah kekuatan mahasiswa, masyarakat, dan komponen lainnya menurunkan Soeharto tahun 1998. Barulah angin segar kebebasan pers itu terwujud. Kemudian disahkanlah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers tanggal 23 September 1998, menjadi era baru kebebasan pers bagi Indonesia. Media mulai bisa menulis berita independen, tanpa lagi dikontrol pemerintah.

Tujuan kebebasan pers sebenarnya adalah untuk menjalin suatu negara demokrasi, menghargai HAM, keadilan, kesetaraan, budaya, serta kearifan yang tumbuh dan berkembang di Nusantara ini. Hal ini tercantum dalam pokok-pokok pikiran Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999. Yaitu asas, fungsi, hak, kewajiban dan peranan pers. Diatur juga bagaimana cara kerja, berserikat dan mematuhi kode etik jurnalistik serta perlindungan terhadap jurnalis. Dampak positif lahirnya UU Pers, adanya keterbukaan informasi publik yang sudah terjamin, semua warga negara bisa menyampaikan gagasan maupun kritikan melalui media massa secara bebas. Ini sesuai dengan semangat UU Pers Pasal 3 ayat 1, bahwa fungsi pers sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial.

Kebebasan pers memberi ruang kepada masyarakat menginformasikan segala sesuatu yang memiliki nilai kepentingan publik. Sehingga bisa memberikan ruang ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas. Informasi yang terbuka, banyak yang mengawasi, potensi kecurangan  yang dilakukan penguasa bisa diminimalisir. Juga menjadi peringatan dini pemerintah agar kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan berpihak kepada masyarakat.

Namun dari banyaknya dampak positif kebebasan pers, perlu juga diperhatikan bahwa masih ada juga dampak negatif  dalam memanfaatkan kebebasan yang diberikan negara yang sering disalahgunakan. Sering sudah kita melihat akhir-akhir ini banyak pelanggaran-pelanggaran yang diakibatkan karena menyalahgunakan kebebasan berdemokrasi, pun dengan kebebasan berpendapat atau pers. Tak sedikit digunakan untuk membuat makian-makian di sosial media atau melontarkan ujaran kebencian (hate speech) untuk segelintir orang baik itu untuk masyarakat biasa maupun untuk pemimpin negara.

Sering kali yang terjadi saat ini adalah banyaknya berita hoax yang menyebar di tengah masyarakat lewat media sosial bahkan portal berita sekalipun. hal itu menimbulkan keresahan bahkan kebimbangangan dalam memutuskan sesuatu hal hingga memunculkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah atau kuasa hukum. Kemunculannya menimbulkan segregasi kuat di tengah masyarakat yang berakibat menghabiskan energi cukup besar dengan sekadar berdebat di dunia maya.

Dikutip dari detiknews pada 15 Maret 2018, Robert Nares menyebutkan istilah hoax muncul pada akhir abad ke-18 yang bermakna menipu. Dalam konteks permainan yang menyenangkan, hoax bisa ditemui dalam tradisi april mop, seseorang melakukan tindakan penipuan untuk kepentingan menggoda dan humor. Namun, dalam konteks politik, hoax bertujuan untuk membuat lawan tenggelam dalam stigma yang menghancurkan posisinya. Hoax berasal dari bahasa inggris yang bermakna berita palsu atau berita bohong atau hoaks adalah informasi yang sesunggguhnya tidak benar tetapi dibuat seolah-olah benar adanya.

Informasi yang menyebar cepat saat ini dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk menyebarkan berita hoax. Berita hoax dapat tersebar cepat karena tingkat penetrasi pengguna internet di Indonesia yang tinggi, mencapai 132 juta pengguna pada 2016 menurut data dari APJII (Asosiasi Penyelengara Jasa Internet Indonesia), budaya orang Indonesia yang bangga ketika mereka dapat menyebarkan berita pertama kali, baik itu berita benar atau tidak, juga menjadi salah satu penyebabnya.

Saat ini berita hoax sudah diolah sedemikian rupa menyerupai berita asli, dilengkapi dengan data-data yang seolah-olah itu adalah fakta. Kemunculan berita hoax ini disebabkan ada pihak-pihak yang ingin membuat situasi menjadi kacau dan mengambil keuntungan dari sana. Akan sangat disayangkan apabila pembaca langsung mengamininya tanpa adanya verifikasi lebih lanjut. Keinginan terbesar yang dicari oleh portal-portal berita hoax adalah mencari keuntungan materil, semakin banyak orang yang mengakses maka semakin tinggi pula keuntungan yang didapat. Selain keuntungan berbentuk meteri, hal lainnya seperti ingin menjatuhkan pihak-pihak tertentu karena dendam atau iri juga sangat mungkin menjadi alasan seseorang menciptakan sebuah kabar atau berita hoax.

Dampak lainnya yang diakibatkan dengan adanya kebebasan pers yang longgar, terdapat ribuan perusahaan pers menjamur di Indonesia. Terutama media daring yang cukup mudah dan murah pendiriannya. Pemberitaan di media daring yang mengejar kecepatan, telah mengabaikan kode etik jurnalistik. Proses verifikasi lemah, berita yang ditayangkan sepenggal-penggal hingga masyarakat bingung dan berpotensi salah penafsiran. bisa terjadi pergeseran sosial budaya. apabila masyarakat tidak memilah-milah informasi yang dibaca maupun ditonton. Hal ini dapat mempengaruhi terhadap tingkah laku, pola pikir dan bisa mengubah gaya hidup seseorang.

Kebebasan pers sekarang yang sudah dipengaruhi arus globalisasi bisa menimbulkan pola konsumtif pada seseorang. Banyaknya iklan di media massa dapat memantik minat seseorang untuk berbelanja secara berlebihan.

Agar tidak menimbulkan dampak negatif, generasi muda harus diimbangi dengan pola pikir yang logis. Masyarakat harus memperkuat jati diri agar tidak terpengaruh dengan budaya asing, karena tidak semua yang dari luar itu baik untuk diterapkan di Indonesia.

Kebebasan pers yang baik adalah ketika semua komponen dapat menebarkan aura positif, harus memenuhi syarat-syaratnya seperti pers yang jujur, kredibel, transparan serta menjunjung tinggi kode etik jurnalistik, norma dan nilai-nilai sosial budaya. Hal ini bisa mencegah dampak negatif kebebasan pers di Indonesia.

Mahasiswa sebagai agent of change, seharusnya bisa berkontribusi mengambil peran dalam mengurangi berita bohong. Penulis menguraikan setidaknya ada 3 peran generasi millenial untuk zaman sekarang dalam menangkal hoax yaitu menjadi mahasiswa yang punya kesadaran teologis, yaitu semua yang dilakukan harus jelas sumbernya. Seperti firman Allah dalam Al-Quran Al Isra’ : 36).

“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya”.

Kemudian menjadi mahasiswa mempunyai daya kritis dan obyektif, tidak tergiur dengan apa yang ada di sekitarnya. Serta menjadi mahasiswa yang memahami bahwa menyebarkan hoax adalah dosa besar karena itu masuk kedalam kategori fitnah.

“Sesungguhnya fitnah itu lebih fatal dari pembunuhan”. (QS. Al- Baqarah :219).

Penulis meyakini dengan adanya aktivitas-aktivitas seperti diskusi terkait apapun berita yang beredar pasti pembaca akan lebih paham dalam menyaring berita, tidak serta merta menelan mentah-mentah isu yang dikabarkan. Seperti diskusi kritis tentang  isu tertentu baik langsung bertatap muka atau melalui grup media sosial.

Pemerintah bisa mengambil peran sebagai penengah dalam waktu sesegera mungkin, dalam hal ini sebagai verifikator, baik lewat akun resmi milik pemerintah maupun akun yang bisa diajak bekerja sama. Setiap berita hoax yang menyerang kebijakan tertentu, tidak lagi memerlukan waktu lama untuk diklarifikasi. Klarifikasi tidak hanya dalam bentuk teks, tetapi juga dalam bentuk infografis maupun video yang diproduksi dalam waktu singkat dan didistribusikan lewat jalur konvensional maupun media sosial atau situs resmi.

Menilik kerja sama dengan google untuk menghapus konten hoax dari mesin pencari mereka dengan kondisi google bermasalah pajak, seharusnya pemerintah bisa melakukan proses lobi dengan posisi lebih kuat. Apalagi banyak web dan blogger penyebar konten hoax memakai platform berbasis blogspot atau blogger milik google. Terakhir, melibatkan masyarakat umum secara langsung dengan membuat suatu komunitas yang bertujuan untuk memerangi hoax karena peran serta masyarakat juga dibutuhkan bagi pemerintah dalam persoalan ini. Komunitas ini dapat membantu pemerintah dengan cara melaporkan berita-berita hoax yang beredar dan menyampaikan kebenaran atas sebuah kabar bohong.

Oleh karena itu, tetaplah bijak ketika menggunakan internet. Tidak mudah percaya dengan berita atau kabar yang dibaca adalah sebuah keharusan. Periksa kembali kebenaran suatu berita dengan membandingkannya dari sumber lain, dan jangan sebarkan ulang apabila dirasa berita itu tidak benar. Jangan pernah bangga menjadi orang pertama yang menyebarkan berita, jika di kemudian hari malah klarifikasi kebohongan yang didapatkan.

Segera lapor jika menemukan berita hoax agar ditindaklanjuti. Anggaplah internet itu sama dengan dunia nyata yang mana ada etika-etika kebaikan yang harus dipatuhi. Namun, masih banyak di antara rakyat Indonesia yang tidak berani melaporkan kepada pihak berwajib karena ada kegelisahan dan takut dibongkar indentitasnya. Peran pemerintah harus tegas dalam membasmi hoax. Karena apabila hoax masih merajalela, demokrasi di bumi pertiwit pun bukan tak mungkin bisa terancam. Di tengah-tengah minat literasi masyarakat Indonesia yang lemah. Apabila pemerintah tidak mengambil kebijakan, lalu siapa lagi yang mau mengatasinya. Mulailah dari diri sendiri, sadar akan penyebab yang terjadi, Nikmati kebebasan yang diberikan pemerintah, silakan berpendapat namun bukan berarti bisa mencaci maki dan membuat fakenews

Penulis bernama Alfi Nora. Ia merupakan mahasiswa Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala. Alfi juga aktif di UKM Pers DETaK Unsyiah

Editor: Della Novia Sandra