Beranda Headline Pustaka Unsyiah, Hidup Segan Mati Tak Mau

Pustaka Unsyiah, Hidup Segan Mati Tak Mau

BERBAGI

Juli 2009, tidak ada yang berubah dengan gedung. Beberapa mahasiswa terlihat memilih-milih buku di atas rak, ada yang tengah membaca, mencari judul buku di komputer hingga canda tawa beberapa mahasiswa. Masih seperti biasa. Tidak ada yang berubah.

Namun tidak bagi Dina. Mahasiswi Fakultas Pertanian ini terlihat bingung. Ia berpindah dari satu rak ke rak lainnya, namun apa yang dicari tidak juga ditemukan. Rasa kesal tidak dapat disembunyikan dari raut wajahnya.
“Saya sudah berkali-kali mencari buku untuk membuat skripsi, tetapi belum juga dapat,” kata Dina, kesal.
Dina tidak sendirian. Ternyata beberapa mahasiswa lainnya juga mengalami hal yang sama. Selain ketiadaan buku baru untuk keperluan kuliah dan skripsi, kondisi buku yang tidak lengkap dan tidak sesuai tempat dengan apa yang ada di komputer sering membuat mahasiswa kesal.

Inilah salah satu gambaran bagaimana kondisi perpustakaan di Unsyiah. Untuk ukuran perpustakaan kampus yang memiliki labelisasi Jantong Hatee Rakyat Aceh, kenyataannya justru tetap sama dari tahun ke tahun. Padahal, Pustaka Induk Unsyiah, selama ini menjadi pilihan utama mahasiswa untuk mencari buku.
“Walau bukunya banyak, di Pustaka Wilayah lebih nyaman dari pada pustaka disini,” ungkap seorang mahasiswa yang mengakui baru pertama kali mengunjungi pustaka ini.

Iklan Souvenir DETaK

“Kelihatannya tidak ada buku baru,” tambahnya.

Diseberang rak yang tersusun oleh buku-buku yang tidak terkesan baru, ada beberapa mahasiswa yang sedang belajar kelompok. Sebagian mahasiswa antri untuk mencari buku di Komputer. Pencarian buku di puksi Unsyiah menggunakan system Online Public Access Catalogue (OPAC). Namun begitu, sebagian mahasiswa itu tetap kecewa, karena daftar buku yang harus mereka baca ternyata tidak ada.

Selain masalah buku, Puksi juga tidak maksimal dalam menyediakan akses internet. Padahal, walau kelengkapan buku tidak maksimal, mahasiswa dapat melakukan searching di internet. Namun, dengan kondisi access yang lambat, tidak sedikit menambah kekesalan sebagian mahasiswa. “Acces internetnya memang gratis, tapi lemot (lambat-red),” kata Dina sambil tersenyum.

Kondisi ini, secara tidak langsung telah merubah fungsi pustaka. Sebagian mahasiswa justru datang ke puksi hanya untuk berdiskusi masalah non-kampus, bahkan tidak sedikit yang memang datang untuk bergosip ria.
Menanggapi hal ini, Kepala Perpustakaan Unsyiah, Dra Zunaimar mengakui pihaknya sering mendapat komplain dari pengunjung mengenai jaringan internet yang sangat lambat. “Komplain ini tidak lain karena adanya akses warnet milik rektorat yang beroperasi di lantai satu yang lumayan kencang,” kata Zunaimar.

Terkait kelengkapan Jurnal Ilmiah baik dalam dan luar negeri, pustaka Unsyiah telah memilahnya dan menempatkannya di lantai tiga dari bangunan itu. Sayangnya, dari pengumuman tentang daftar judul Journal terbaru, dari daftar tersebut, ternyata Journal terbaru hanya ada dari terbitan tahun 2004. Koleksi lima tahun yang lalu.

Menariknya, justru di lantai tiga ini sangat sedikit pengunjung. Hanya beberapa mahasiswa yang dapat dihitung dengan jari yang sibuk membaca buku-buku lama.

Kondisi yang terjadi di pustaka ini tentu sangat aneh. Salah satu pustaka terbesar di Aceh dengan bantuan khusus setiap tahunnya, justru sangat tertinggal untuk menyediakan buku-buku terbaru. Hal ini dapat dilihat dari ketersediaan jurnal ilmiah yang ada hanya untuk terbitan tahun 2004.

Akhirnya, mahasiswa justru mencari jurnal-jurnal ilmiah di luar. Sebagaimana penuturan Dina, beberapa temannya justru memberi informasi ilmiah dari universitas-universitas di pulau Jawa. Dengan mengirim sedikit uang, maka salinan Journal Ilmiah terbaru yang diinginkan bisa diterima tepat waktu.

Menariknya, berdasarkan informasi yang diperoleh DETaK Mahasiswa, Pustaka Unsyiah mendapat sumbangan buku tiap tahunnya. Namun mengapa kondisi realnya sangat berbeda. Hal ini tentu menjadi tanda tanya.
Sebagaimana data yang didapati dari sumber terpercaya, Unsyiah menerima bantuan pengadaan buku untuk tahun 2009 ini sebesar Rp 200 juta. Dana pengadaan buku ini, sebagaimana informasi tersebut, setiap tahunnya disalurkan melalui dana Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA). Namun, besaran dana yang disalurkan berbeda-beda tiap tahunnya.

Selain itu, pemerintah juga menyalurkan banyak bantuan buku untuk universitas-universitas di Aceh secara umum, Pustaka Unsyiah juga memperoleh bantuan tersebut.

Lalu mengapa buku-buku yang ada di pustaka masih ala kadarnya. Hal inilah yang menjadi tanda tanya mahasiswa. Menurut Kepala Sub Bagian Tata Usaha, Drs Jalalluddin, M.Pd, hal itu juga yang tak dimengertinya. Pun demikian dia mengaku tidak adanya tranparansi mengenai pembangunan pustaka baik fisik, maupun buku-buku di pustaka. Besarnya dana dan kemana mengalir tidak diketahui secara pasti
Selain itu, dana perawatan untuk fasilitas perpustakaan juga tidak dianggarkan oleh pihak rektorat.

Akibatnya, fasilitas perpustakaan seperti lift yang biasa digunakan untuk menaikkan buku ke lantai 3 tidak dapat berfungsi. Kondisi alat pendingin, Air Conditioner (AC), hingga kini belum diperbaiki. Padahal, sejak tsunami sebagian AC sudah tidak dapat digunakan lagi. Padahal dia menyebutkan, pihak pustaka sudah berulangkali mengkonfirmasi masalah ini kepada rektorat namun tidak ada tanggapan yang serius untuk menindak lanjutinya.

“Masalah lainnya yang terjadi, tidak ada transparansi dana untuk puksi ini,” sebut Jalalluddin.
Berdasarkan informasi yang dihimpun DETaK, saat ini pustaka Unsyiah memiliki buku dengan jumlah judul sebanyak 49.616 judul, dengan jumlah eksemplar 88.266 buah. Terdiri dari, Referensi sebanyak 31.719 judul (65.350 eks), Skripsi sebanyak 8005 judul (4.282 eks), Thesis berjumlah 657 judul (657 eks) dan buku lain-lainnya.

Sedangkan untuk buku baru, Kepala Perpustakaan Unsyiah, Dra Zunaimar mengatakan, untuk anggaran 2008, ada sekitar 800-an buku baru yang masuk sekitar bulan Februari 2009. Namun, hingga sekarang buku tersebut masih digudangkan. Proses pengadaan buku terkesan lamban karena proses administrasi yang lama.

Namun realita seperti ini tidak mendapatkan penjelasan secara khusus dari Rektor Unsyiah Prof Darni M. Daud. Begitu juga klarifikasi dari PR II Unsyiah Dr. Eddy Nur Ilyas yang juga bertanggung jawab atas pengembangan pustaka, baik dari segi fisik maupun subtansial pustaka. Eddy yang dijumpai beberapa kali melalui sekretarisnya disebutkan sedang tidak bisa menerima tamu karena banyaknya agenda yang tak bisa digantikan meski hanya lima menit.

“Maaf, bapak sedang sangat sibuk. Agendanya nggak bisa digantikan meski hanya lima menit,” ungkap sekretaris muda itu.[]

Juliana Fisaini | DETaK