Beranda Headline Pro Kontra Pergantian Nama Jurusan PBSI-PBI Unsyiah

Pro Kontra Pergantian Nama Jurusan PBSI-PBI Unsyiah

BERBAGI
(Ist.)

Nurul Hasanah | DETaK

Darussalam – Pergantian nama jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) menjadi Pendidikan Bahasa Indonesia (PBI) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) menghadirkan pro-kontra dari sejumlah narasumber terkait yang ditemui detakusk.com pada Kamis, 12 April 2018.

Tanggapan kontra dilontarkan oleh Mohd. Harun selaku ketua jurusan PBSI saat dijumpai di professor room  Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unsyiah pada hari yang sama.

Iklan Souvenir DETaK

Harun menyebutkan bahwa dirinya selaku perwakilan jurusan PBSI Unsyiah kurang setuju dengan usulan perubahan nama jurusan yang dipimpinnya saat ini, dengan alasan  timbulnya kekhawatiran fokus ke bidang sastra akan berkurang.

“Sebenarnya, kita yang di jurusan PBSI ini mengharapkan jangan diubah, karena kalau sudah diubah nanti, boleh jadi pendidikan sastranya akan sedikit tidak sama seperti sekarang, meskipun dalam bidang ilmu dikatakan, sastra itu bagian dalam bahasa, ada juga yang mengatakan demikian, tetapi sebenarnya hal yang berbeda, karena sastra itu adalah dunia kreatif. Jadi lebih bagus memang, jurusan PBSI tetap dipertahankan,” jelasnya.

Ia mengatakan bahwa perubahan nama baru itu merupakan ide atau saran dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) pada akhir Maret 2018 lalu, termasuk di dalamnya perubahan nama jurusan PBSI, meskipun perubahan nama jurusan PBSI ini bukan pertama kalinya berganti menjadi nama yang baru, namun ia mengaku keberatan untuk pemberlakuan perubahan yang dicanangkan tahun ini.

“Kalau bicara masalah jurusan Bahasa Indonesia sudah dari dulu bermasalah,  jadi dulu ada namanya Bahasa Indonesia, kemudian berubah menjadi jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, berubah lagi menjadi jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah, kemudian berubah lagi menjadi Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, nah sekarang mau diubah lagi menjadi jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia,” ungkap Harun.

Harun juga menjelaskan adanya pengubahan nama baru itu tidak akan berdampak terhadap kurikulum dan akreditasi jurusan.

“Kurikulum tidak akan berubah, mata-mata kuliah tetap seperti biasa, akreditasi juga tidak akan bermasalah, karena cara mereka berpikir bahwa sastra ini masuk ke dalam bidang bahasa, jadi seperti orang mengubah namanya saja, tapi orangnya tetap itu,” pungkas ketua Jurusan PBSI itu.

Di samping itu, senada dengan Harun, mahasiswa jurusan PBSI Unsyiah Septia Nita, juga menyampaikan ketidaksetujuan terhadap pengubahan nama jurusannya.

“Kalau menjadi PBI kan, seharusnya mata kuliah yang berkaitan dengan sastra itu kan nggak ada lagi. Saya sih lebih mempertahankan nama Bahasa dan Sastra Indonesia, karena seimbang ilmunya, tapi kalau udah jadi bahasa saja sudah berkurang ilmu kita di bagian sastra,” ungkapnya dengan nada kecewa.

Nada persetujuan justru datang dari salah seorang alumni PBSI Unsyiah, Khairatin Nisak, ia mengatakan bahwa ia tidak terlalu mempermasalahkan pengubahan nama jurusan itu.

“Saya sebenarnya tidak terlalu mempermasalahkan perubahan nama PBSI menjadi PBI, karena selama ini pun ketika mengikuti yudisium dan mengikuti wisuda itu di penamaan nama itu sudah diganti menjadi PBI. Nah, terkait dengan pengubahan nama itu tidak ada isu bahwa dengan berubahnya nama itu akan ada penghilangan beberapa mata kuliah. Jadi pasti ketika disarankan pengubahan nama itu ada pertimbangan-pertimbangan yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu,” terangnya.

Ia juga menambahkan bahwa dirinya berpikir positif saja, karena pengubahan nama mungkin akan memberikan sesuatu yang lebih bagi jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

“Ya memang menurut saya dengan adanya nama PBSI itu secara tidak langsung memberikan penilaian orang lain bahwa kita mempelajari dua bidang, bahasa dan sastra Indonesia. Tetapi kita tidak pernah tahu alasan di balik pengubahan nama tersebut, kita bisa berkomentar seperti itu apabila kita sudah tahu bahwa alasannya tidak logis,” tambahnya.[]

Editor: Missanur Refasesa