Beranda Buku Perang RI-GAM Versi Indra Piliang

Perang RI-GAM Versi Indra Piliang

BERBAGI

Judul : Bouraq-Singa Kontra Garuda
Penulis : Indra Jaya Piliang
Penerbit : Penerbit Ombak
Cetakan : I, Maret 2010
Tebal : xxiv + 184 Hal.
ISBN : 978-602-8335-40-9

Menilik sejarah panjang Indonesia yang banyak tersandung konflik masa silam hingga menimbulkan reaksi-reaksi perlawanan dan pemberontakan beberapa gerakan di daerah karena asumsi ketimpangan dan ketidakadilan yang mereka rasakan, seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua, Republik Maluku Selatan (RMS) di Maluku Selatan serta Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh sendiri yang masih menyisakan ribuan misteri yang belum sepenuhnya terpecahkan.

Aceh memang sudah tak bernafsu lagi mengumbar perang. Setelah kesepakatan MoU Helsinski 6 tahun silam, maka tonggak perdamaian pun telah kokoh dipancang dalam harapan baru peradaban. Namun apa yang pernah terjadi selama fase konflik di masa silam setidaknya telah menyisakan beragam rentetan kisah dan sejarah yang rumit dan cukup panjang. Salah satunya adalah perang simbol antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Republik Indonesia (RI).

Iklan Souvenir DETaK

Jika OPM melambangkan dirinya dengan simbol burung cenderawasih dan RMS dengan burung pondo-nya, maka GAM menunjukkan kedigdayaannya dengan simbolisasi bouraq dan singa. Hal ini tentu sangat berbeda dengan pemilihan burung rajawali garuda yang diusung RI sebagai lambang negara.

Melihat semangat perlawanan GAM melalui genderang perang simbol ini mengungkap beberapa fakta yang tak sekedar kebetulan belaka. Lambang GAM yang terdiri dari bouraq-singa dengan mahkota masing-masing, bintang dan bulan sabit, bendera biru, kuning dan hitam, dua rencong, tulisan Arab Melayu: Udep Saree, Matee Sajan, Sioen Kafan, Saboh Keureunda serta 8 arah mata angin ini memiliki makna tertentu.

Seperti bouraq-singa yang bermahkota, misalnya. Bouraq adalah kenderaan Nabi Muhammad saw. ketika melakukan Isra’-Mi’raj, menurut pemahaman masyarakat Islam dan tentunya juga menjadi keyakinan pendiri GAM. Sementara singa adalah lambang dari raja rimba dalam banyak sekali mitologi yang dibangun di seluruh dunia, terutama di negara-negara Eropa (hal. 85).

Dalam hal ini, tergambar jelas bahwa GAM ingin menunjukkan bahwa Aceh berbeda dengan Indonesia, di mana bouraq yang identik dengan Islam sementara burung garuda rajawali sebagai lambang negara Indonesia yang merupakan kenderaan Dewa Wishnu diidentikkan dengan Hindu. Di sini jelas terdapat perbedaan dalam hal ideologi dan keyakinan antara kedua belah pihak. Sementara singa, secara simbolis dapat diartikan sebagai bentuk kerajaan Aceh, terutama karena diberi mahkota.

Selain perbedaan dan pertentangan, GAM juga juga hendak menunjukkan eksistensi serta kekuatannya dalam hal “menaklukkan” RI lewat perang lambang-nya. Dua rencong yang terdapat dalam lambang GAM, secara simbolik seolah hendak menikam keperkasaan burung garuda sebagai lambang RI. Hal ini diperkuat dengan mitos yang berkembang dalam masyarakat Aceh sendiri tentang asal-mula penciptaan rencong yang akan digunakan untuk membunuh seekor burung raksasa sejenis rajawali yang rakus dan tamak karena melahap semua jenis tanaman, buah-buahan dan ternak masyarakat. Orang Aceh menyebutnya Geureuda (hal. 139).

Lambang lainnya yang dikupas adalah bendera. Perbedaan bentuk dan warna bendera antara GAM dan RI ini juga memiliki nilai-nilai tertentu. Sang Saka Merah Putih sebagai bendera resmi RI mengandung dua makna sesuai dengan warnanya. Merah jelas berarti keberanian untuk melawan penjajahan dan bayang kolonialisme, sementara putih bermakna kesucian yang muncul dari sikap pengorbanan untuk bangsa dan negara. Bendera GAM sendiri yang terdiri dari bulan sabit dan triwarna (merah, putih dan hitam) hendak merepresentasikan keagungan dan kesucian syariat Islam di bumi Aceh.

Simbol ataupun lambang tak sekedar penegasan identitas, namun juga sebagai landasan awal penanaman ideologi serta pembuktian eksistensi. Sebagaimana GAM yang identik dengan separatisme karena kekecewaan terhadap pemerintah pusat dan RI dengan nasionalismenya dan menginginkan Aceh tetap dalam naungan RI. Semua bentuk, fungsi dan arti lambang-lambang tersebut dibedah dengan menggunakan pisau semiotika yang menempatkan lambang-lambang itu sebagai teks budaya untuk dicarikan penanda dan petandanya.

Buku ini hendak mengatakan kepada kita semua, bahwa perang GAM dan RI di masa silam tak berbatas pada senjata dan ideologi semata, namun juga lambang, yang kekuatannya jauh melampaui logika sehingga mampu menanamkan ideologi, mengerahkan massa untuk kemudian secara bersama mengangkat senjata.[]

Sammy Khalifa
Mahasiswa program Studi Psikologi Unsyiah, peminat masalah-masalah psikososiokultural.