Beranda Headline Nasib Pengusaha Batubata

Nasib Pengusaha Batubata

BERBAGI

‘‘Permintaan pesanan batu-bata yang dulu sempat menembus Sumatra Utara, kini hanya disekitar banda aceh dan aceh besar saja,’’ungkap Mustakim (30), pengusaha batubata di desa Mireuk Lam Reudep, Aceh besar.

Pasca tsunami, ketika rehabilitasi dan renkontruksi di Aceh.permintaan batubata melonjak drastis bahkan mareka kewalahan menerima order, sehingga mendatangkan banyak perajin batu bata lain dari luar Aceh, khususnya Medan.
Harga per batu batu pun sempat berkisar Rp. 500 s/d Rp.1000 per batang. Harga yang lumayan mahal saat itu. Seiring berjalannya waktu, Harga batu batapun mulai tak stabil.

Ketika tim DETaK mengunjungi salah satu desa sentral perajin batubata di Aceh Besar. Banyak tempat yang dulunya dijadikan usaha perajin batu batu kini berubah bentuk, tidak sedikit dari mereka gulung tikar. “Batubata setiap hari dipasarkan 15.00 batang, namun yang terjual hanya 500 saja, akibatnya pengusaha merugi.” Cerita Mustakin yang biasa disapa Chek Mad.

Iklan Souvenir DETaK

Banyak pengusaha batu bata yang beralih profesi, seperti yang dilakukan Chek Mad, yang memilih bertenak sapi. Saat ini harga batu hanya Rp.250 perbatang. Jika dihitung-hitung biaya produksi, justru Chek Mad rugi.

Kayu mentah sebagai bahan dasar pembakaran batu bata basah pun, kini sulit didapatkan. Setiap kali pembakaran batubata, dibutuhkan puluhan ton kayu. Biasanya kayu-kayu ini didatangkan dari belantaran hutan Lam Teuba dan Seulawah.

Dengan disahkannya undang-undang jeda tebang 2007 secara permanen. Maka kesulitan semakin dirasakan para perajin batu bata ini. Bagaimana tidak mareka akan kekurangan pasokan kayu-kayu mentah. Bila tak dicarikan solusi untuk bahan penganti kayu untuk proses pembakaran, perlahan-lahan pengusaha batubata akan gulung tikar semuanya. Dan pastinya, ribuan tenaga kerja menjadi pengangguran.

Ferdian Ananda