Beranda Headline Mahasiswa Unsyiah, dari Puncak Gunung Dukung KPK

Mahasiswa Unsyiah, dari Puncak Gunung Dukung KPK

BERBAGI

Reja Hidayat | DETaK

Banda Aceh – Aksi gerakan mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus disuarakan. Salah satunya seperti yang dilakukan oleh mahasiswa Unsyiah, Minggu (07/10/2012) kemarin.

Lima mahasiswa Fakultas Hukum Unsyiah yang tergabung dalam komunitas pecinta alam Aneuk Nanggroe Expedition menyuarakan dukungan terhadap KPK terkait dugaan pelemahan lembaga antirasuah itu. Aksi pun terbilang unik karena dilakukan di atas ketinggian 800 meter dari permukaan laut (mdpl) di puncak Gunung Goh Leumo, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar.

Iklan Souvenir DETaK

Ari, salah satu mahasiswa yang ikut mendaki ke puncak Goh Leumo menyebut aksi itu sebagai bentuk dukungan nyata mahasiswa terhadap KPK dalam kasus dugaan korupsi simulator Surat Izin Mengemudi (SIM) di tubuh Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

Dalam kasus itu, KPK telah menetapkan Djoko Susilo, jenderal bintang II, sebagai tersangka. Namun di sisi yang lain, Polri juga sempat keukeuh meminta agar kasus dugaan korupsi itu diselidiki dan ditangani oleh kepolisian. Namun oleh presiden, kasus itu akhirnya diinstruksikan agar tetap ditangani KPK.

Terkait hal itu, menurut Ari yang merupakan mahasiwa Fakultas Hukum itu, memang selayaknya kasus simulator SIM tetap ditangani KPK.  “Hal ini sudah jelas tertulis dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang No.30 tahun 2002 tentang KPK,” kata Ari.

Undang-undang yang dimaksud Ari memang mengatur kewenangan lembaga pengawas hukum Negara dalam menangani perkara tindak pidana korupsi. Ayat (1) UU no 50 tentang korupsi menginstruksikan kejaksaan atau polisi wajib memberitahukan perkara penyidikan kasus tindak pidana korupsi ke KPK jika memang kasus itu belum ditangani oleh KPK. Pemberitahuan paling telat dilakukan 14 hari dalm masa hari kerja terhitung sejak tanggal dimulai penyidikan.

Kemudian setelah kasus diserahkan ke KPK, kepolisian atau kejaksaan tak lagi berhak melakukan penyidikan terhadap kasus tersebut (diatur oleh ayat 3). Sedangkan apa bila kasus tersebut ditangani secara bersamaan oleh KPK bersama kepolisian dan kejaksaan, maka oleh dua lembaga yang disebutkan terakhir, kasus harus segera dihentikan dan diserahkan ke KPK (ayat 4).

Maka berdasarkan intruksi dalam undang-undang tersebut, Ari menilai memang sewajarnya kasus alat simulator SIM ini tetap berada dalam wewenang KPK.

Selain itu, Ari juga menyoroti penjemputan paksa Novel Baswedan, penyidik kepolisian yang dipekerjakan di KPK, Jumat pekan lalu. Saat itu, sejumlah anggota kepolisian mengepung gedung KPK untuk menjemput paksa Novel terkait dengan dugaan penyiksaan pencuri walet di Bengkulu pada 2004 lalu.  Belakangan diketahui bahwa penjemputan paksa itu dilakukan tanpa izin resmi Kapolri.

“Lucu ketika Polri menurunkan puluhan anggotanya berbaju safari dan provost (untuk menjemput paksa Novel). Memangnya mau tangkap teroris,” katanya.

Ari juga mengaku terus mengikuti perkembangan kasus ini melalui tayangan media massa. Ia berharap lembaga yang dibentuk Desember 2003 itu maju terus dalam memberantas korupsi .  “Rakyat akan mendukung sepenuhnya,” katanya, yakin.

Sementara itu, soal aksi yang terbilang unik karena dilakukan di puncak gunung, Ari menyebut mereka hanya ingin tampil beda dengan aksi-aksi serupa lainnya. “Kalau di kantor atau pun di ruang publik terbuka kan sudah biasa, makanya kami lakukan di gunung, supaya berbeda,” ujarnya.