Kelapa Sawit: Antara Keuntungan, Ancaman Ekosistem, dan Konflik Manusia-Hewan

0
Berbagi di Facebook
Tweet di Twitter
Foto: Ist.

Rio Alfinda | DETaK

Banda Aceh – Saat ini, perkebunan kelapa sawit merupakan industri perkebunan terbesar di Indonesia yang menjanjikan dengan pendapatan yang sangat besar dan dapat menyerap banyak tenaga kerja. Berdasarkan data yang dihimpun dari situs Kementerian Pertanian Republik Indonesia, luas areal perkebunan kelapa sawit pada tahun 2014 adalah 10.754.801 hektare dengan produksi mencapai lebih dari 29 juta ton. Bahkan, statistik tersebut jauh lebih besar dibandingkan luas areal industri perkebunan kelapa (3.609.812 Ha dengan produksi 3.005.916 ton) dan karet (3.606.245 Ha dengan produksi 3.153.186 ton) yang menempati posisi tiga besar di Indonesia.

Pendapatan dari ekspor kelapa sawit pun cukup besar. Terdapat 14 produk hasil olahan industri kelapa sawit yang diekspor ke berbagai negara berdasarkan data dari situs Kementerian Perindustrian. Salah satu produk utama hasil pengolahan kelapa sawit, yaitu Crude Palm Oil (CPO), memperoleh hasil penjualan mencapai 24 Juta Dolar (US$) atau sekitar 320 Milyar Rupiah dalam dalam kurun waktu 2012-2016.

Di Aceh, berdasarkan statistik Perkebunan Indonesia Komoditas Kelapa Sawit Direktorat Jenderal Perkebunan, terdapat 444.446 hektare lahan sawit yang dikelola pada tahun 2015. Dari luas tersebut, produksi dari perkebunan kelapa sawit dapat mencapai 1.080.377 ton dan mampu mempekerjakan 109.211 tenaga kerja dan 122.115 petani kebun. Tentunya ini merupakan suatu industri yang menjanjikan bagi semua pihak. Sehingga, perkembangan industri kelapa sawit semakin meluas.

Namun, dibalik keuntungan yang didapat dari perindustrian kelapa sawit, ada beberapa dampak yang didapat dari perkembangan industri perkebunan kelapa sawit tersebut, terutama di bidang lingkungan. Azhar, koordinator World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia Northern Sumatera Program, menjelaskan bahwa salah satu dampak yang didapat dari pengembangan lawan sawit tersebut adalah terganggunya ekosistem yang berakibat kepada konflik manusia dan satwa liar.

“Pada saat dilakukan pengembangan dengan memperluas area perkebunan kelapa sawit, hutan menjadi sasaran untuk dijadikan lahan perkebunan. Akibatnya, hewan liar yang ada di hutan seperti gajah, harimau, orangutan dan lain-lain tidak punya tempat. akhirnya mereka turun ke lahan-lahan perkebunan dan terjadilah konflik karena mereka berebut satu ruang yang sama,” Katanya.

Communication Officer WWF Indonesia Northern Sumatera Program, Chik Rini, membenarkan pernyataan terkait terganggunya ekosistem akibat dari perluasan lahan sawit yang menyebabkan konflik antara manusia dan satwa liar.

Dia mengatakan bahwa di wilayah Sumatera, khususnya Aceh, terdapat hewan – hewan liar dan fauna endemik yang harus dilindungi keberadaannya tetapi mengalami ancaman konflik akibat perluasan perkebunan kelapa sawit, salah satu contohnya adalah Gajah Sumatera.

“Gajah itu hewan yang suka berpindah – pindah sebelum akhirnya kembali ketempatnya semula. Nah, Gajah Sumatera­ mempunyai semacam jalur yang dari dulu memang ada dan digunakan oleh gajah lainnya hingga sekarang. Namun, karena adanya pembukaan lahan perkebunan sawit, hutan yang harusnya menjadi jalur gajah tersebut akhirnya hilang. Akibatnya, gajah – gajah itu terpaksa melewati perkebunan kelapa sawit tersebut,” Jelasnya.

Dia menambahkan, saat melewati kawasan perkebunan tersebut, gajah-gajah tersebut memakan buah dari kelapa sawit karena itu juga merupakan sumber makanan bagi mereka.

“Pada akhirnya, perusahaan kelapa sawit atau petani kebun membunuh gajah-gajah yang melewati area perkebunan karena telah menganggap gajah tersebut sebagai hama,” Katanya.

Populasi gajah yang tercatat pada tahun 2007 adalah sekitar 2700-2800 ekor di seluruh Sumatera. Angka tersebut terus berkurang secara drastis akibat deforestasi hutan, perburuan ilegal, dan konflik dengan manusia. Berdasarkan data WWF Indonesia terkait kematian gajah di Aceh, terdapat 50 ekor gajah yang mati sepanjang 2012-2017. Mirisnya lagi, hampir 50 persen atau 23 ekor diantaranya mati di perkebunan kelapa sawit.

Mengenai solusi terhadap dampak industri perkebunan kelapa sawit terhadap terganggunya ekosistem tersebut, Azhar mengatakan bahwa meskipun pembukaan lahan dengan penebangan hutan tersebut sudah dilegalisasi melalui prosuder-prosedur yang ada, pemerintah ataupun pemerintah daerah, perusahaan perkebunan kelapa, dan pihak – pihak terkait diharapkan untuk mengkaji lagi perluasan perkebunan kelapa sawit.

Dia menambahkan, pihak WWF Indonesia mempunyai standar yang dibuat ramah lingkungan bagi perusahaan atau petani kelapa sawit. Namun, dia menyayangkan masih ada pihak-pihak yang masih tidak mengindahkankannya.

“Pemerintah harusnya mengkaji dengan benar, jangan sembarangan memberi izin penggunaan lahan. Misalnya, Area Penggunaan Lain (APL) wilayah kabupaten ketika diberikan ya jangan diberikan begitu saja, walaupun sudah ada proses Analisis mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), tetapi harus dikaji lagi bersama dan pemerintah seharusnya meminta pendapat dengan beberapa pihak lain, misalnya ke kita (WWF),” Tegasnya.

Kedepannya, dia berharap pemerintah dapat mengembangkan perkebunan kelapa sawit tanpa harus memperluas dan tidak melakukan deforestasi hutan agar populasi hewan-hewan yang terancam punah seperti gajah semakin bertambah.

“Kami mendorong pemerintah dan berharap agar ekstensifikasi perkebunan sawit tersebut dihentikan. Lebih baik kita manfaatkan dan kembangkan dulu dengan area yang sudah ada dengan teknologi tepat guna dan metode yang ramah lingkungan, sehingga tidak mengganggu ekosistem hewan liar,” tutupnya.[]

Editor: Dinda Triani

Comments

comments

alterntif text

TIDAK ADA KOMENTAR

LEAVE A REPLY