Beranda Headline Demokrasi Terancam, Stop Pengesahan RUU Intelijen

Demokrasi Terancam, Stop Pengesahan RUU Intelijen

BERBAGI

DETaK | Jakarta – Publik dikejutkan dengan rencana pengesahan Rancangan Undang Undang (RUU) Intelijen pada 11 Oktober 2011 dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI).

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dalam pernyataan sikapnya yang diterima DETaK, Senin (10/10/2011), meminta DPR dan pemerintah tidak serta merta mengesahkan RUU Intelijen mengingat masih banyak hal yang berpotensi membahayakan kehidupan masyarakat
sipil, mengancam profesi jurnalis, dan menabrak peraturan perundangan lain.

Adalah benar bahwa Komisi I DPR telah mengeluarkan draf RUU Intelijen terbaru dan mengubah sejumlah materi krusial seperti wewenang penangkapan/penahanan, wewenang penyadapan, dan sanksi pidana bagi pembocor rahasia intelijen.

Iklan Souvenir DETaK

Namun, semua itu belum cukup, mengingat masih ada pasal-pasal lain yang apabila diterapkan dapat membahayakan kehidupan demokrasi dan kebebasan pers. Misalnya Pasal 32 tentang penyadapan. Kewenangan penyadapan kepada aparat intelijen seharusnya diterapkan dalam situasi khusus dengan payung hukum yang jelas, seperti situasi darurat sipil, darurat militer, atau darurat perang yang pemberlakuannya melalui payung hukum dan pertanggungjawaban negara yang jelas.

AJI berpendapat pembatasan atau restriksi terhadap kebebasan melalui “penyadapan” perlu dijabarkan lebih detil dan tidak bisa diterima dalam kondisi negara tertib sipil atau dalam kondisi negara aman damai.

Terkait Isu Pers Pasal 26 RUU Intelijen menyebutkan : “Setiap orang atau badan hukum dilarang membuka dan/atau membocorkan rahasia intelijen”. Artinya, siapapun yang terbukti membuka atau membocorkan rahasia intelijen dapat dikenai sanksi pidana.

Sanksi pidana untuk pembocor intelijen diatur dalam pasal 44 dan 45 RUU Intelijen, yakni 10 tahun penjara dan 7 tahun penjara dan atau denda ratusan juta rupiah.

AJI menilai pasal 26 RUU Intelijen cenderung subjektif, terlalu luas, dan cenderung bertabrakan dengan makna lain. Beberapa definisi “rahasia intelijen” sebagaimana dirincikan dalam pasal 25 bertabrakan dengan definisi “informasi negara”.

AJI menilai pasal 26 RUU Intelijen rawan disalahgunakan aparatur negara terutama untuk melindungi kekuasaannya. Terutama pasal ini bisa dikenakan kepada jurnalis atau pegiat pers yang memublikasikan informasi atau melakukan tugas jurnalisme investigasi dan menyebarkan
laporannya kepada publik. AJI menilai rumusan pasal ini berpotensi mengancam kebebasan pers.

UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 telah mengatur tugas dan fungsi pers, khususnya Pasal 4, berbunyi : (2) Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan penyiaran. (3) Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. (4) Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak .

Harus diingat tugas jurnalis itu dilindungi dua Undang-Undang sekaligus, yakni UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) Nomor 14 Tahun 2008.

Masih pasal yang sama (pasal 26 RUU Intelijen), AJI melihat definisi
“rahasia negara” ini bertabrakan dengan UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Dalam pasal
17 UU Nomor 14/2008 disebutkan ada dua jenis informasi yang harus diberikan Badan Publik, yaitu informasi yang dikecualikan dan informasi terbuka.

Informasi yang dikecualikan sudah diatur dalam UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP), yakni
informasi yang dapat membahayakan keamanan dan ketahanan nasional.

Untuk apa mengatur materi yang sama dalam UU yang berbeda? Atas dasar pemikiran di atas, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyatakan hal-hal sebagai berikut :

1. Meminta Komisi I DPR, Pemerintah, dan masyarakat sipil menyamakan, memperjelas persepsi dan definisi tentang “rahasia negara” dan membedakannya dengan “informasi negara”. Hal ini sangat penting mengingat definisi itu terutama akan berkaitan dengan pekerjaan jurnalis dalam mewartakan kebenaran kepada publik.

2. Mengingatkan DPR-RI dan pemerintah agar mendengarkan pendapat rakyat, termasuk kalangan sipil yang memiliki kepedulian masa depan bangsa dan negara Indonesia. Setiap pembuatan Undang Undang hendaknya disesuaikan dengan kondisi zaman dan tidak digunakan untuk kepentingan penguasa. Indonesia sudah meninggalkan rejim tertutup karena ketertutupan itu selalu berpeluang untuk penyalahgunaan kekuasaan.

Sejak 1999 Indonesia sudah mengadopsi pers bebas dan beretika, sehingga peraturan lain yang mengancam kebebasan pers dan keterbukaan informasi publik harus ditinjau kembali.

3. Mengajak para jurnalis dan masyarakat umum agar senantiasa menggunakan kebebasan pers dan kebebasan memperoleh informasi dengan panduan etika jurnalistik serta dapat dipertanggungjawabkan secara profesional. Setiap warga negara senantiasa menjaga ruang kebebasan berekspresi agar terhindar dari berbagai ekses pelanggaran peraturan perundangan yang berlaku.

Jakarta, 10 Oktober 2011

Ketua Umum AJI
Nezar Patria

Sekretaris Jenderal
Jajang Jamaludin

(Pers Rilis)