Beranda Feature Secercah Asa Di Belantara Lam Birah

Secercah Asa Di Belantara Lam Birah

BERBAGI

Miftahul Jannah [AM] | DETaK

2013-11-24 15.52.14
(foto: Anggita Riski Amalia/DETaK)

“Bersama untuk mendidik generasi cerdas, modern, berkarakter, dan islami.”

Kalimat itu tertulis di sudut dinding luar bangunanTaman Pendidikan Masyarakat (TPM) Tanyoe desa Lam Birah, Kecamatan Suka Makmur, Aceh Besar. Kalimat itu menjadi visi dari taman pendidikan tersebut.

Iklan Souvenir DETaK

Bangunan TPMT didominasi warna hijau cerah, senada dengan rimbun pepohonan sekitar. Cuaca menyengat bercampur semilir angin sawah yang membawa aroma tanah basah berlumpur, habis di bajak menambah kesan tersendiri. Di tengah buncah perasaan kagum akan panorama sekitar, detakusk.com disambut resmi oleh Amir Husni, wakil direktur TPM dengan ramah dan bersahabat. Kami pun diajak berkeliling melihat-lihat pekarangan TPM.

Dalam ruangan berukuran sekitar 4 x 4 meter yang disulap menjadi perputakaan tersebut, detakusk.com disambut oleh direktur TPMT, Husnul Khatimah. Kala itu, dengan berbalut pakaian merah muda, alumnus Fakultas Tarbiyah Jurusan Bahasa Inggris UIN Ar-Raniry ini tak sungkan bercerita panjang lebar perihal TPMT. Perempuan yang juga pernah belajar di Muharam Journalist College (MJC) ini merupakan penggagas serta pendiri dan kini diamanahi jabatan sebagai direktur utama Taman Pendidikan tersebut.

Menurut Husnul,  pendirian TPMT berawal dari keprihatinannya melihat anak-anak di desanya yang kecanduan terhadap play station. Husnul mencari cara untuk mengalihkan kebiasaan buruk tersebut menjadi hal positif. Terbesit dibenaknya untuk mendirikan sebuah taman baca yang dapat menarik perhatian anak-anak agar lebih gemar membaca dan meninggalkan kebiasaan buruk bermain play station.

Pada akhir 2011, Husnul mulai merealisasikan niatnya, ia mendekati anak-anak pengajian didikan ibunya. Suatu hari, ia mengutarakan niatnya untuk membuka taman baca atau perpustakaan kecil. Niat baik itu disambut dengan suka cita oleh anak-anak Desa Lam Birah.

Ia pun semakin yakin dengan tekadnya itu. Berkat dukungan dan bantuan dari tetua desa, rekan relawan, dan pemuda desa, tanggal 7 Agustus 2011, taman bacaan yang diimpikan Husnul resmi dibuka.   Kata “Tanyoe” yang diambil dari Bahasa Aceh bermakna “Kita” pun dinobatkan menjadi nama TPMT tersebut. Sehingga setiap tanggal 7 Agustus, diperingati sebagai hari jadi TPMT dengan mengadakan lomba antar murid setiap tahunnya.

TPMT kini telah memiliki ruang baca, ruang kesenian, dan ruang belajar yang masing-masing berjumlah satu ruang. Selain itu, sebuah balai pertemuan dengan gaya arsitektur Aceh juga berdiri dengan kokoh di halaman depan TPMT. Balai pertemuan itu juga difungsikan sebagai balai pengajian oleh masyarakat setempat pada malam hari. Lapangan bola voli, wahana permaian anak-anak, bank sampah, serta kolam ikan yang juga dipakai anak-anak untuk adu renang juga ikut melengkapi fasilitas pembelajaran.

Dulunya, bangunan yang sekarang difungsikan sebagai ruang baca dan belajar adalah bekas bangunan sementara Sekolah Dasar (SD) Lam Birah. Musibah gempa dan tsunami 2004 silam menyebabkan sebagian bangunan SD rubuh hingga perlu direnovasi. Ketika renovasi selesai, kegiatan belajar SD Lam Birah kembali ke bangunan semula. Hingga jadilah bangunan sementara terbengkalai tak terpakai. Karena itulah, Husnul berinisiatif mengalihfungsikan bangunan tersebut menjadi perpustakaan kecil yang nantinya akan dilengkapi koleksi buku-buku bacaan anak.

Kini, TPMT sudah memiliki banyak buku yang berasal dari hibah berbagai lembaga seperti Forum Lingkar Pena (FLP) Banda Aceh, komunitas kutu buku, dan beberapa komunitas lainnya  dengan program one man one book-nya, Tikar Pandan, Badan Arsip, RELO, dan sumbangan pribadi.

Mengenai relawan pengajar, Husnul bertutur bahwa mereka berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda. Mulai dari kalangan mahasiswa, siswa SMA yang tinggal di Desa Lam Birah, hingga desa-desa sekitar. Bahkan ada yang sudah lulus dari SMA.

Dalam memilih calon pengajar, Husnul tidak memberikan persyaratan khusus. Asal mereka punya komitmen untuk ikhlas berbagi dan berdedikasi serta mampu menyalurkan ilmunya kepada peserta didik, maka siapa saja dengan senang hati akan diterima untuk mengajar anak-anak dari tingkat SD hingga SMP yang belajar di TPMT ini. “Nggak butuh juga relawan banyak yang nggak komitmen. Kami butuh yang memang punya komitmen,” tegas dara kelahiran 3 Februari itu.

Siang itu, para relawan mengajari anak-anak dengan telaten dan penuh kesabaran. Di bawah sebuah pohon rindang, seorang relawan tengah mengajar bahasa Inggris pada anak-anak yang duduk di bangku kelas empat SD.

“Apa bahasa Inggrisnya Kucing? Ada yang tau?” guru bertanya dalam bahasa Aceh. Anak-anak mulai gaduh berbesik saling menanyai satu sama lain tentang jawaban dari pertanyaan yang diajukan. “Ayo, ada yang ingin menjawab?” Sang guru kembali mengajak anak-anak untuk menjawab.

Azan ashar menyudahi kisah belajar-mengajar yang penuh dengan tawa ceria dan semangat seperti potongan cerita di atas. Beramai-ramai, guru dan murid berwudhu untuk kemudian menunaikan ashar berjamaah. Senja hari itu, Minggu 24 November  2013.[]

 

Tulisan ini ditulis saat perjalanan hunting  ke TPMT di Desa Lam Birah, Aceh Besar