Beranda Feature Goresan kisah di Lu’ Mata Ie

Goresan kisah di Lu’ Mata Ie

BERBAGI


Ia duduk di lantai keramik putih, kedua kakinya dilipat kebelakang. Tanganya sibuk memegang sebuah pena dengan sebuah kertas. “ semangatnya yang mau pigi ni…,” ungkapnya sambil menggangkat sebuah kertas. Juzamalia namanya. Usia Sembilan belas tahun. Di hadapnya Julia, warga Negara Germany keturunan China. Ia volunteer internasional yang datang ke Aceh, bersama tujuh rekannya ia ikut berpartisipasi dalam acara Aceh Green Initiatives yang berlangsung dari tanggal 28 Desember sampai tanggal 1 januari 2010.

Malam itu pukul 07.00, Rabu 30 Desember 2009, Al Kahfi Faoundatiaon dipadati oleh volunteer lokal dan internasional. Ojha berada diantara mereka, ia seorang muslimah yang selalu memakai Jibaber.
“tidak ikut ,” tanyaku
“ tidak, anak cewek tidak boleh ikut. Tidak tikasih,” katanya sambil memandang ke arahku.

Ya, pada hari itu memang sedang diadakan acara kemah dari serangkaian acara dari Aceh Green Initiatives.
Norman PAN penggagas dari acara itu di dampinggi Fitri sebagai ketua project. Fitri terbilang baru sebagai volunteer di Al Kahfi, ia berasal dari Kisaran Medan. Sedangkan Norman PAN merupakan direktur dari Al Kahfi Foundation, tidak tahu apa kepanjangan PAN yang jelas bukan singkatan dari Partai Amanat Nasional. Dulu ia sering pergi ke beberapa Negara untuk urusan kepemudaan.
Menghijaukan lingkungan memang langkah cerdas yang dapat dilakukan, selain mendukung visi Aceh Green yang digagas pemerintahan Irwandi-Nazar ini juga merupakan wujud nyata sebagai komitmen bahwa pemuda pemudi Aceh juga peduli terhadap lingkungan. Berkerja sama dengan beberapa Negara seperti Thailand, Germany, French, Japan acara yang bermodalkan 5000 bibit pohon ini didukung sepenuhnya oleh Departemen Kehutanan.

Iklan Souvenir DETaK

Flow dari Germany, ia seorang mahasiswa kedokteran di salah satu universitas di Germany. Pria beramput pirang ini sudah Sembilan bulan di Thailand.

Anton dari French, ia seorang pria yang senang mendendangkan lagu-lagu French, suaranya bak lantunan lagu perjuangan, ia juga sudah lama di Thailand.

Taka dari Japan , pria berkulit putih ini sudah lama di Aceh, ia juga mahir berbahasa Indonesia. Di Aceh ia seorang guru bahasa jepang, sudah hampir satu tahun ia di Aceh.

Tock dari Thailand. Kulitnya putih, rambutnya lurus. Ia senang berpenampilan gaya Thailnad. Surban di kepalanya tak pernah ia tinggalkan jika ingin pergi jalan-jalan.

Sakarin dari Thailand. Tak berbeda jauh dengan Tock, ia juga senang berpenampilan gaya asli Thailand. Kamera Nikon selalu mendampingginya kemana pun ia pergi. Dalaa Association, itulah organisasi yang ia pimpin di Thailand sehingga membawa ia ke beberapa Negara di Asia. Ia juga disebut sebagai mbah surip, karena mungkin penampilannya mirip sekali dengan penyanyi lengendaris Indonesia itu.

Selaian kelima warga Negara asing tersebut, turut hadir pula Faisal dan Fauzan. meraka volunteer lokal dari Al Kahfi.
“Sue mak mak,” ( cantik sekali ) ungkap Tock ketika melihat dua gadis berhenti di samping jalan.
Perjalanan yang memakan waktu hampir satu jam setengah itu kami lalaui dengan innova. Belum hampir setengah perlajalan, kami bertemu Apu, ia juga volunteer di Al Kahfi. Apu dan kawan-kawannya rupanya sudah menunggu sejak tadi. Mereka memakai kereta, diantara mereka terlihat ada yang membawa satu kardus mie dan kuali. Semuanya tiga belas orang.
“wow…gankster,” ungkap Sakarin sambil menggangkat kamera kesayangganya.

Jam di Hp Iwan sudah menunjukan pukul 09.12 WIB, kami sampai di sebuah perkampungan di pinggir pantai. Dari kejauhan tercium bau kotoran ayam, dihadapan kami terlihat perkampungan dihiasi lampu yang dipisahkan oleh laut. Lantunan musik juga masih terdengar disitu, entah dari mana asalnya.
“Seharusnya kalian kalo mau pigi itu siang tadi, tidak sekarang,” jelas sopir yang membawa kami.
“ini bahaya ini,” tambah Taka.

Gurihnya kacang mente yang dibawa Flow dan desir ombak seolah-olah menggalahkan rasa takut kami. “ mari kita ber do’a menurut kepercayaan kita masing-masing,”ungkap Apu saat mengawali perjalanan kami ke hutan. Tak ada yang bersuara malam itu, semuanya berjalan satu baris. Dibelakangku Anton, ia memakai kaos putih bermerek “ Flat T-shirt”. Di depanku Tock, ia terlihat menggantungkan kamera di leher.

“be careful,” (hati-hati) teriak Anton.

Jalan setapak yang kami lalaui terdapat banyak batu, tanahnya becek dan disebelah kanannya ada jurang terjal. Hanya ranting kayu yang menjadi peganggan.

Kami istirahat dua kali, istirahat pertama di sebuah tempat yang terjal, semua telihat meminum air, tak ada yang tidak minum air, walaupun dalam kegelapan, tak ada yang tampak saat itu. Tetapi ketika istirahat kedua kami di sebuah tempat yang rindang, ditutupi oleh pepohonan, suara air menggalir menjadi lantunan indah malam itu.

Di tengah-tengah perjalanan ketika keluar dari kegelapan terlihat rembulan bersinar meneranggi perjalanan kami. Tak ingin buang waktu, Tock langsung mengabadikan moment itu. Hamparan sabana yang luas menjadi bingkai senyuman kami malam itu. “Sujot mak-mak,” (bagus sekali) kata Tock. Jebretan cahaya kameranya sesekali bersinar seperti cahaya mercusuar.
“lima menit lagi kita akan sampai,” teriak salah seorang terdengar dari arah depan.
Gemersik ombak terdengar samar-samar, lembutnya pasir telah terasa di setiap langkah kami. Dari kejauhan terlihat cahaya kapal yang seolah-olah menggirimkan pesan SOS.

Nama tempat itu Lu’ mata ie, sebuah pantai yang terletak di Ujung Pancu, objek wisata yang banyak dikunjungi oleh turis lokal. Salah satu daya tariknya adalah pemandangan yang menakjubkan dikala sore hari, kita dapat menyaksikan tenggelamnya matahari dengan bingkai pulau-pulau kecil yang dihiasi pohon kelapa. Tempat ini juga sering digunakan sebagai tempat memancing. katanya tempat ini banyak dihuni beberapa jenis ikan, bahkan hiu pun ada.

Kami tidak sendirian yang berada disitu, ketika kami sampai api rokok pemancing terlihat membara dari arah selatan, seolah-olah meraka sedang menyambut kami.

Waktu itu pukul 22.15 WIB, semua terlihat sibuk dengan tugas masing-masing, ada yang bertugas mencari kayu, mendirikan tenda dan menyiapkan makan malam.

Hanya sepotong roti dan sepiring mie racikan gankster (sebutan yang diberiakn Sakarin kepada teman-teman Apu) yang menganjal perut kami. Suasana diskusi semakin hangat ketika berada disekitar api unggun.
“Ini Tock dari Thailand dan ini Sakarin juga dari Thailand,” ungkap Norman. “ dan ini Flow dari Germany,” tambahku.
Tak terasa jam sudah menunjukakn pukul 01.25 WIB semua terlihat menyiapakan tempat tidur di pasir putih, hanya Taka dan beberapa orang yang masih bertahan.

Angin malam itu begitu kencang seolah-olah mengalahkan dinginnya kota Takengon. Iwan mencoba memaksakan tidur walau pun sesekali terbangun karena dinginya suasana malam itu, hanya balutan sajadah dan berkasurkan pasir yang menemaninya.
Pukul 06.15 WIB matahari belum tampak menyinari pantai, hanya seorang pemancing yang terlihat sholat di atas batu. Api unggun masih hidup pagi itu, hanya aku, Norman, Taka, Fauzan, Faisal yang masih terbangun. Sepotong roti sisa tadi malam menjadi santapan utama pagi itu.

Pantai Lo’ Mata Ie memang subuah pantai yang tidak kalah duanya dengan pantai yang ada di Pulau Weh. Hamparan hutan di kedua sisinya menjadi diding pelindung pantai itu, di hadapannya ada pulau-pulau kecil yang tidak berpenghuni, sesekali terlintas kapal-kapal nelayan, di setiap sudut-sudutnya ditebari oleh bebatuan besar. Hanya saja sampah masih terlihat bertebaran dibeberapa sisi yang merusak pemandangan. Kesadaran umat manusia yang ada di Aceh memang harus dipertanyakan, rasa kecintaan terhadap lingkungan sendiri haruslah ditanamakan sejak kecil bila ingin menciptakan Aceh yang hijau. Jika dirawat keasriannya, bukan tidak mungkin pantai Lo’ Mata Ie menjadi tujuan pertama turis-turis yang datang ke Aceh. (Iwan A)