Beranda Feature Dilema Sang Bocah Bengkel

Dilema Sang Bocah Bengkel

BERBAGI

Judul di atas sama sekali tidak bermaksud untuk mengeksplorasi eksistensi seorang anak yang akan saya nukilkan dalam tulisan ini. Semua hal yang akan saya ceritakan ini terjadi secara kebetulan saja tanpa pernah saya rencanakan sebelumnya. Kejadian ini bermula pada sebuah siang yang sangat terik di suatu hari.

Hari itu, Rabu (5/5) sekitar jam 12 tengah hari, saya baru saja menghirup udara segar di luar ruangan kampus setelah sebelumnya mengikuti proses perkuliahan selama lebih kurang hampir tiga jam. Begitu menuju ke pelataran parkir dengan rencana awal ingin bergegas pulang mengendarai sepeda motor, saya mendapati realita yang membuat saya harus menarik nafas panjang di bawah gerahnya cuaca siang hari; ban depan sepeda motor saya bocor.

Diam bukanlah cara yang bijak menyikapi musibah yang sedang dihadapi, maka dengan langkah gontai yang dipaksakan, saya mendorong paksa sepeda motor tersebut sejauh lebih kurang 300 meter dari kampus ke sebuah bengkel yang berada di seputaran kampus Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Darussalam. Dengan peluh yang terus membasahi sepanjang jarak 300 meter sembari mendorong sepeda motor itu menuju ke bengkel, mata semakin berkunang-kunang dan stamina kian menurun, namun ikhtiar harus tuntas diperjuangkan, mengingat 2 jam berikutnya mata kuliah lain akan segera menyusul untuk ditransferkan via ceramah dosen ataupun referensi buku psikologi yang akan didiskusikan bersama-sama.

Iklan Souvenir DETaK

Setibanya di sana, saya melihat seorang mekanis sedang mereparasi sepeda motor seorang bapak. Demi melihat saya yang sedang kepayahan dan banjir peluh, mekanis tersebut langsung menanyakan gerangan apa yang membuat saya mengunjunginya hari itu. Begitu saya katakan bahwa ban depan sepeda motor yang mengalami musibah, ia langsung memanggil seseorang. “Dek, tolong tambal ban kereta ini bentar,” ujarnya sambil tetap konsentrasi memperbaiki sepeda motor yang menjadi tanggung jawabnya itu.

Tidak lama waktu berselang, seorang bocah kecil (dalam taksiran saya, umur anak tersebut sekitar 10 tahun) keluar dari sebuah kios di samping bengkel tersebut dan menghampiri kami. “Kenapa, bang?” tanyanya sambil memerhatikan kedua ban sepeda motor saya. Sang mekanis kemudian mengatakan kepada si bocah untuk menambal ban depan sepeda motor saya yang sudah cacat itu. Saya, dalam keadaan yang masih terkejut, heran, bingung dan tak percaya masih saja terus memandang kaku ke arah bocah tersebut. Agaknya anak kecil itu pun merasa sedikit risih saya pandangi terus. Hal itu terlihat dari kegrogiannya yang kaku dalam menangani kecacatan sepeda motor saya.

Tapi saya masih ragu juga dengan asumsi tersebut mengingat apa yang saya lihat dari bocah itu. Bisa jadi memang dia merasa kurang nyaman dengan sikap saya sehingga membuatnya salah tingkah. Dan, kemungkinan yang kedua, mungkin saja ia memang baru menggeluti bidang perbengkelan itu, sehingga harus banyak melakukan penyesuaian diri dengan profesi baru tersebut. Namun, bagaimanapun kedua asumsi itu bisa menyatu-padu mengingat umur bocah tersebut yang (menurut saya) memang belum layak dipekerjakan, ditambah lagi dengan alasan kegrogian tadi.

Saya bisa melihat bagaimana ketika sang bocah berusaha keras menambal ban depan sepeda motor saya itu. Sungguh ia begitu kewalahan walau hanya sekedar mencongkel (melepaskan) ban luar depan dari himpitan roda yang sudah diatur sedemikian rupa, hingga membuatnya harus meminta tolong si mekanis untuk itu. Begitu juga ketika bocah itu sekali lagi meminta si mekanis untuk memeriksa di mana sebenarnya lubang angin yang membuat ban sepeda motor bocor dengan cara membenamkan ban tersebut ke dalam sebuah bejana yang berisi air. Sisi terdalam dari jiwa saya bergejolak hebat demi melihat realita yang tersaji di hadapan.

***

Pikiran saya mulai menerawang jauh, menyibak belantara semak kasus pekerja anak yang terjadi di negeri ini. Menurut Huriuci (1996), pekerja anak merupakan anak-anak yang bekerja kurang lebih seperti pekerja pada umumnya yang bertujuan membiayai diri dan keluarganya. Tujuan ini memang sudah menjadi semacam mekanisme pertahanan yang paling klasik untuk dijadikan pegangan, sama juga dengan modus pekerja-pekerja lain. Anak-anak yang masuk ke pasar kerja menjadi pekerja anak merupakan rasionalisasi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga yang dilanda kemiskinan. Konstalasi ini menjadi legitimasi mempekerjakan anak-anak, bahkan dengan pekerjaan yang eksploitatif, upah murah, dan pekerjaan yang berbahaya (Joni, 1997). Realita ini membuat kita harus menelan pil pahit dan tak tahu harus berbuat apa. Ibarat disuguhi buah simalakama; serba dilematis!

Dalam skala nasional, sampai saat ini Indonesia merupakan salah satu penyumbang pekerja anak terbesar di dunia dan bertahta di urutan ketiga setelah India dan Brazil. Di Indonesia, terdapat sekitar 2,5 juta anak yang aktif bekerja (Pekerja Anak, antara Pembelajaran dan Eksploitasi, M. Ghufran H. Kordi K. – http://metronews.fajar.co.id/read/88771/19/pekerja-anak-antara-pembelajaran-dan-eksploitasi). Suatu pencapaian yang fantastis di tengah kemelut negeri menghadapi berbagai hantaman multi-krisis.

Angka itu pun sebenarnya belum begitu valid mengingat kategori pekerja anak yang terdata di BPS (Badan Pusat Statistik) adalah mereka yang berumur 10-14 tahun yang aktif melakukan aktivitas secara ekonomi. Jumlah ini akan semakin membengkak jika kategorisasi diperluas, yaitu anak-anak yang menghabiskan sebagian waktunya untuk keperluan mencari upah. Selain itu, kategorisasi umur yang dijadikan pijakan BPS juga berbeda dengan apa yang tertuang dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 (UU No. 23/2002). Merujuk kepada UU tersebut, di sana dijelaskan definisi anak yaitu seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Hal ini jelas membuat kita semakin yakin bahwa jumlah anak-anak yang bekerja dengan orientasi ekonomi itu lebih dari angka 2,5 juta. Kembali fenomena gunung es menjelma menjadi misteri baru mengenai jumlah pekerja anak yang sesungguhnya di negeri ini.

Anak adalah amanah. Selaku orangtua yang dipercayakan untuk mengemban amanah, sudah seharusnya para orangtua menjaga, melindungi, mendidik serta membimbing anak-anaknya, bukan malah mempekerjakannya. Selain itu, anak juga memiliki fase tugas perkembangan (development tasks) yang tidak bisa dilangkahi begitu saja. Jika sang anak masih dalam fase bermain, maka jangan bebani ia dengan menguras fisik kecil itu menjadi mesin-mesin pekerja. Ini sudah melangkahi fase tugas perkembangan, dan jika hal ini dilanggar juga, yakinlah perkembangan fisik dan mental anak tersebut akan mengalami gangguan, walaupun sedikit. Kalau memang alasannya berkenaan dengan faktor ekonomi, di sinilah peran, fungsi serta tanggung jawab orangtua yang sesungguhnya diimplementasikan. Jangan sampai pemeo “meukawen loem, na aneuk moe (kawin lagi, sudah punya anak nanti nangis)” yang sering disitir masyarakat itu disesali setelah ikrar menikah dilaksanakan.

Pernikahan merupakan suatu ikrar setia antara seorang lelaki dan perempuan untuk membina ikatan suci dengan tujuan mendapatkan berkah dan ridha dari Allah SWT. Jadi, orientasi sebuah ikatan pernikahan ini bukan karena dilandasi oleh hasrat pemenuhan nafsu seksual semata, tetapi lebih kepada hasil kontemplasi serta evaluasi fisik dan psikis dan juga proses kalkulasi terhadap berbagai kemungkinan-kemungkinan serta konsekwensi yang akan diperoleh di masa yang akan datang. Dan, anak adalah salah satu pertimbangan konsekwensinya.

Fenomena pekerja anak ini hanyalah satu dari sekian banyak modus pemenuhan kebutuhan ekonomi sehari-hari, yang tak jarang luput dari pengamatan kita. Seperti juga saya, yang baru menyadari bahwa kasak-kusuk yang dulunya hanya saya tonton dari layar televisi, kini dengan sangat nyata bisa saya lihat dan dokumentasikan secara langsung. Ini bukan juga berarti karena saya seorang yang sangat peka terhadap isu-isu yang ada di lingkungan sekitar, tetapi sebagaimana yang saya tuliskan di atas, tak lebih karena faktor kebetulan semata. Ah, betapa saya begitu asing di lingkungan sendiri, tak pernah menyadari berbagai ketimpangan sosial yang sudah berlangsung dalam kurun waktu yang lama dan menjadi realita pinggiran itu. Ternyata saya memang egois…

***

“Sudah siap ni, bang.” Sebuah suara yang belum sedikitpun terjamah variasi bunyi serak-serak basah mengejutkan lamunan panjang saya. Rupanya si bocah bengkel sudah siap menambal ban depan sepeda motor saya. “Berapa, dek?” saya mencoba memberikan respons. “Delapan ribu aja, bang.” Setelah memberikan beberapa lembar uang sesuai dengan jumlah nominal yang disebutkan si bocah dan mengucapkan terima kasih, saya mohon diri untuk kembali ke kampus. Saya menatap bocah tersebut untuk terakhir kalinya, ibarat buah jeruk yang belum matang, namun sudah dijadikan pencuci mulut sehabis makan siang. Asam!

Hari ini, saya kembali mendapatkan sedikit pelajaran (mungkin juga teguran karena tak pernah meluangkan sejenak waktu untuk melihat realita sosial di sekitar) dari apa yang saya alami di sebuah bengkel itu. Hikmah, Rahmat dan Hidayah hanya akan diberikan kepada hamba-hamba yang dikehendaki-Nya. Semoga kita semua termasuk orang-orang yang tak pernah alfa bersyukur. Amien ya Rabbal ‘Alamien.

Detak | Sammy Khalifa