Beranda Feature Buah Kelapa Hidupi Keluargaku

Buah Kelapa Hidupi Keluargaku

BERBAGI

Murti Ali Lingga | DETaK

Bagi sebagian orang, hidup adalah tentang kegetiran dan perjuangan. Di Rimo, Aceh Singkil, kisah Tarmizi Zebua adalah potret tentang keduanya.

Aktivitas Tarmizi Zebua sesaat sebelum melakukan rutinitasnya. Mulai memanjat kelapa, mengupas, hingga menjualnya. Jum’at 6 Februari 2015. (Murti Ali Lingga/DETaK)

Pria ini memang terlahir jauh dari Tanah Rencong. Tarmizi Zebua, namanya. Lahir dan tumbuh di Gunung Sitoli, Sumatera Utara, kini Joker, panggilan akrab Tarmizi ini menjadi tauke kelapa di Sianjo-anjo Meriah, Kecamatan Gunung Meriah, Kabuaten Aceh Singkil.

Iklan Souvenir DETaK

Kehidupan Tarmizi memang bergantung dari buah yang menjadi bahan baku santan itu. Rumah kontrakannya yang sempit dipenuhi dengan kelapa. Sehari-hari kerjaannya mencari, memanjat, dan berjualan kelapa. Dari situlah, ia menghidupi istri dan tiga anak-anaknya.

Lahir di Desa Onomele Satu Lot, Gunung Sitoli, pada 7 Januari 1980, kehidupan keras Tarmizi sudah dimulai sejak kecil. Karena alasan ekonomi, anak keempat dari enam bersaudara ini bahkan tak menamatkan sekolah dasarnya. Pada usia 17 tahun, ia memutuskan mencari penghidupan di luar tanah kelahirannya. Merantau.

“Saya merantau ke Sibolga. Bekerja sebagai nelayan. Namun hanya setahun di sana,” katanya.

Namun pekerjaan itu sepertinya tak cocok untuk Joker. Maka tak lama kemudian- tahun 1999, ia pun hijrah ke Riau, Pekan Baru. “Untuk mencari pekerjaan baru,” katanya. Di sana, ia menjadi buruh di sebuah perkebunanan sawit.

Hidup dari rantau ke rantau membuat Joker kenyang dengan pahit, manis, asam, asin kehidupan. Dalam perjalanan panjangnya itu, senang, susah, bahagia, dan saling menyaru dan menyatu.

Tarmizi Zebua sedang mengupas kelapa yang sudah menumpuk di perkarangan kontrakannya.

Garis hidup kembali membawanya ke tempat baru. Kali ini adalah Aceh Singkil, ujung barat Tanah Rencong- tempat yang ditinggalinya hingga kini. Pekerjaan pertama yang ia lakoni di tempat ini adalah menjadi buruh angkat kayu (kusen) di sebuah kilang kayu.

Setahun di kilang kayu, Joker menemukan tambatan hatinya. Perempuan itu Nurlia Lingga, juga bekerja di tempat yang sama. Mereka lalu menikah pada pertengahan 2001. Kini, kehidupan Joker dan Nurlia semakin ramai dengan kehadiran tiga buah hati: Nisputri Zebua, Agustina Zebua, dan Lyas Berkat Zebua.

Selasa sore, 18 Juli 2014 lalu saat kami berbincang, pernikahan Joker dan Nurlia telah memasuki 13 tahun. Namun hingga kini mereka masih belum memiliki rumah sendiri. Pendapatan yang tak menentu hanya cukup untuk kehidupan sehari-hari. “Gimana mau punya rumah, makan aja susah,” cetus Nurlia Lingga, senyum. Ada getir dalam senyumnya yang tulus itu.

Kontrakan mereka itu berada di Desa Sianjo-anjo Meriah. Namun itu bukanlah ‘istana’ pertama yang mereka huni. “Entah berapa jumlah kontrakan yang sudah pernah saya tempati. Semenjak saya menikah hingga saat ini masih ngontrak juga,” jelasnya

Setelah menikah, Joker memulai hidup baru sebagai pedagang kelapa. Pekerjaan yang lama tak bisa memberi cukup penghasilan untuk ia dan keluarganya. “Pertama, tidak ada pekerjaan lain yang cocok buat saya. Kedua, pekerjaan ini memiliki prospek yang baik, khususnya di Gunung Meriah, dan yang terakhir ialah, karena saya juga memiliki keahlian memanjat batang kelapa sejak saya berusia belasan tahun.”

Saban hari, Joker bisa berkeliling Kecamatan Gunung Meriah dengan becaknya untuk mencari kelapa-kelapa di kebun warga. Begitu ada yang cocok, langsung ditawar kepada si empunya kebun. Jika sepakat, jual-beli pun terjadi. Lalu Joker akan memanjat dan mengupasinya sendiri sebelum kembali dijual.

Buah Kelapa

“Dulu, saya cuma punya modal Rp.500.000, untuk memulai bisnis ini. Alhamdulillah sekarang sudah lumayan lah untuk mengembangkannya,” kenang Tarmizi berkaca-kaca.

Kelapa-kelapa itu kemudian dibawa pulang dan ditumpuk di rumah kontrakannya. Padahal, rumah yang hanya seukuran 6X4 meter itu pun sudah terasa sempit untuk lima beranak-pinak itu. Namun Joker tak punya pilihan lain yang lebih baik. Perbincangan kami pun berlansung tepat di samping buah kelapa yang menumpuk. Tumpukan kulit kelapa sudah menggunung di samping kontrakannya.

Kata Joker, pekerjaannya itu kenapa dipandang sinis. “Kalau cemohan sudah banyak di memori kepala ini. Tapi tak mengapa,” timpalnya dengan tenang. “Biar saja orang berkata apa tentang pekerjaan saya ini, yang penting buah kelapa ini terjual dan bisa menghidupi anak dan istri saya. Yang penting halal,” kata dia sambil tersenyum.

Sindiran juga kadang diterima Nurlia. “Banyak kalau yang gituan, tapi saya biasa aja. Saya gak malu punya suami seperti dia,” tutur perempuan kelahiran Cingkam ini. Ia kadang-kadang bahkan ikut membantu suaminya mencari dan berjualan kelapa.

Di sekolah, Nisputri Zebua, putri sulung Joker juga kadang diejek teman-temannya. “Saya sering diejek, tapi saya tak malu memiliki seorang bapak, yang memilki pekerjaan sebagai pengepul buah kelapa,” kata Nisputri sembari tersenyum polos.

Tapi seperti kata pepatah, roda kehidupan membawa Joker perlahan merangkak ke atas. Kehidupannya terus berangsur membaik. Saat ini, dua hari dalam sepekan (Rabu dan Minggu), ia mampu menjual masing-masing 800 kelapa. Itu belum termasuk pembeli yang datang langsung membeli kelapa sehari-hari ke rumah kontrakan Joker.

“Biasanya saya menghargai buah kelapa Rp.1.500 per buahnya. Dan saya jual ke pembeli Rp. 2.500 per buah,” katanya.

Untung yang didapat dari penjualan kelapa ini berkisar 500 ribu sekali penjualan. Jadi, dengan untung penjualaanya itu, ia dapat memperoleh laba empat juta per bulan. Tak disangka-sangka memang, dalam satu tahun ia dapat mengumpulkan uang sebanyak 48 juta satu tahun.

“Dengan kondisi ini saya lebih tenang. Walaupun saya dengan usaha seperti ini dan meski pun masih tinggal di rumah kontrakan. Yang penting saya dan kelurga makannya gak terlantar,” kata pria yang hobi menyeruput kopi ini.

Hari semakin beranjak sore saat kami larut berbincang. Jauh di atas sana, awan mulai memberi tanda cuaca tak bersahabat. Saya pamit sebelum malam merambat.[]

Editor: Riska Iwantoni