Beranda Artikel Bung, Saudara Serevolusi

Bung, Saudara Serevolusi

Ilustrasi

Panggilan “Bung” dalam Revolusi Indonesia sejajar dengan “warganegara” (citizen) dalam Revolusi Prancis atau “kamerad” dalam Revolusi Rusia.

Oleh: Hendri F. Isnaeni
Ilustrasi
Ilustrasi.  (Foto: Istimewa)

Pada zaman revolusi kemerdekaan, sesama pejuang saling memanggil “bung”. Ia mengandung makna kesetaraan dan persaudaraan. Kata “bung” diambil dari varian bahasa Betawi, “abang” yang berarti “kakak laki-laki.” Kata “abang” juga umum dipakai di masyarakat Jawa. Sedangkan bagi kaum perempuan, panggilannya “zus”, dari bahasa Belanda untuk sapaan kawan atau teman wanita.

“Bung Karnolah yang mula-mula mempopulerkan nama panggilan dan sebutan ‘bung’ untuk panggilan kepada setiap insan Indonesia yang revolusioner yang bercita-citakan melenyapkan imperialisme-kolonialisme dan kapitalisme dan bercita-citakan Indonesia merdeka,” tulis Achmad Notosoetardjo dalam Revolusi Indonesia Berdasarkan Adjaran Bung Karno. 

Suatu waktu, Sukarno menginginkan sebuah poster sederhana namun kuat sebagai propaganda membangkitkan semangat pemuda. Pelukis Affandi membuat poster dengan model pelukis Dullah sedang memegang bendera merah putih dan memutuskan rantai yang mengikat kedua tangannya. Pada poster itu, penyair Chairil Anwar memberinya kata-kata: “Boeng, Ajo Boeng!” Poster propaganda itu tersebar kemana-mana. Siapa nyana, Chairil memperoleh kata-kata itu dari para wanita tuna susila di Senen ketika mereka menawarkan jasa: “Boeng, ajo boeng…”

Menurut Parakitri T. Simbolon dalam Menjadi Indonesia, Sukarno memperkenalkan sapaan “bung” sejak terbentuknya Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) pada 17-18 Desember 1927. “Dipanggil ‘Bung’ (panggilan akrab kepada saudara) sesuai anjurannya, Soekarno berhasil menjadikan semboyan seluruh cita-cita pergerakan, dan kebetulan juga ideologi PNI, yakni ‘merdeka’. Semboyan ini sangat gampang diteriakkan oleh, dan sangat kuat pesonanya pada, massa,” tulis Parakitri.

George McTurnan Kahin dalam Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, menjelaskan bahwa kata “bung” yang dapat diterjemahkan sebagai “saudara” dapat disejajarkan dengan kata “warganegara” (citizen) dalam Revolusi Prancis tahun 1789 atau “kamerad” dalam Revolusi Rusia pada 1917. Gagasan yang mungkin dikandung kata “Bung” adalah sebuah sintesis dari istilah “saudara serevolusi”, “saudara nasionalis Indonesia”, dan “saudara serepublik”.

“Tua-muda, kaya-miskin, presiden ataupun petani boleh saja –dan memang biasanya– saling memanggil dengan menggunakan kata ‘bung’,” tulis Kahin.

Maksud menyapa dengan “bung”, menurut Notosoetardjo, “untuk mempererat hubungan satu dengan lainnya, merasa semua satu keluarga, senasib dan sepenanggungan, sama rata sama rasa, tanpa perbedaan tingkatan maupun kedudukan.”

Setelah revolusi selesai, sapaan “bung” perlahan memudar. Dalam pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki, 6 April 1977, Mochtar Lubis, pendiri koran Indonesia Raya, menyatakan keprihatinannya, “‘Saudara’ atau ‘bung’, kata-kata menyapa yang begitu populer dan penuh kebanggaan dalam perjuangan kebangsaan hingga revolusi kemerdekaan, dianggap tak cukup hormat lagi untuk menyapa penguasa-penguasa kita sejak belasan tahun terakhir ini.”

“Menegur atasan dengan ‘bung’ tiba-tiba kini kurang sopan. Harus memakai bapak, meskipun sang atasan baru berumur dua puluhan tahun, dan bawahan sudah berumur 60 tahun. [Sehingga] atasan bersikap ideologicalpatronizing, dan authoritarian ke bawah,” kata Lubis.

Bagaimana kalau kita galakkan lagi saling menyapa “bung”?.[]

Sumber: historia.co.id

Comments

comments