Beranda Artikel Bangun Karakter Manusia Penyangga Leuser Melalui Seni

Bangun Karakter Manusia Penyangga Leuser Melalui Seni

BERBAGI
Para penari hanyut dalam gerakan saman pada perhelatan saman massal 10.001 di Kabupaten Gayo Lues. (Riska Iwantoni/DETaK)

Maisyarah Rita | DETaK

Gayo Lues – Ekosistem Leuser merupakan salah satu ekosistem hutan hujan tropis alami yang masih tersisa dengan bentangan alam yang luas dan kekayaan alam yang sangat besar diantara hutan hujan tropis di belahan bumi lain. Terkenal dengan fungsi ekosistem hutan sebagai satu kawasan bagi satwa seperti harimau sumatera, gajah sumatera, dan orangutan sumatera terakhir di bumi. Meskipun telah mendapat pengakuan dan pemberdayaan konservasi sejak tahun 1997 lalu melalui SK Menteri Kehutanan pada 23 Mei 1997 (KepMenHut No.276/Kpts-VI/1997), sementara Ekosistem Leuser dilindungi Keputusan Presiden No.33 tahun 199 tentang Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser, Ekosistem Leuser tidak luput dari semarak polemik perambahan hutan, seperti deforestasi hutan.

Deforestasi dapat didefiniskan sebagai perubahan penutupan lahan dari hutan menjadi bukan hutan. Deforestasi hutan menjadi momok menakutkan yang dihadapi kawasan Ekosistem Hutan Leuser yang membentang strategis dengan potensi alam yang menjanjikan. Deforestasi yang disinyalir sebagai biang lahirnya aksi pembakaran hutan, konversi lahan untuk tujuan perkebunan skala besar, illegal logging dan aktivitas pengrusakan hutan lainnya secara berkelanjutan dapat mengurangi fungsi hutan.

Iklan Souvenir DETaK

Hutan diketahui berperan penting dalam mengatur iklim bumi melalui siklus karbon; menyerap karbon dari atmosfer seiring pertumbuhannya, dan menyimpan karbon dalam dedaunan, jaringan berkayu, perakaran, dan materi organik dalam tanah. Hutan dunia menyerap 2,4 miliar ton karbondioksida setiap tahunnya, atau sekitar sepertiga dari karbondioksida yang dilepaskan akibat pembakaran bahan bakar fosil. Hutan juga menjadi tempat penyimpanan karbon terestrial dunia yang paling penting, yang terdiri atas sekitar 77 persen dari semua karbon yang tersimpan dalam vegetasi dan 39 persen dari semua karbon yang tersimpan dalam tanah; dua kali lebih banyak jumlahnya dari karbon yang terdapat di atmosfer.

Deforestasi dan degradasi hutan bertanggung jawab atas sekitar 10 hingga 15 persen dari emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dunia yang disebabkan oleh kegiatan manusia3 dan pembakaran lahan gambut yang terkait dengan pembabatan hutan menyebabkan terjadinya 3 persen emisi berikutnya. Emisi ini lebih besar dari sektor transportasi global. Delapan puluh persen dari emisi ini berasal hanya dari 10 negara, terutama di negara-negara berkembang. Di beberapa negara, seperti Indonesia, deforestasi dan degradasi hutan merupakan sumber emisi utama. Kehilangan tutupan hutan global juga berarti kehilangan kemampuan alami hutan untuk menyerap karbon dan kapasitas penyimpanannya, yang berarti memperbesar emisi dari sumber-sumber lain.

Deforestasi kerap dikaitkan dengan penggiat usaha indusri perkebunan atau pertambangan luas yang dinilai bersifat desktruktif terhadap keberadaan dan pelestarian hutan konservasi. Ditengah polemik isu deforestasi hutan akibat aktivitas industri besar perkebunan kelapa sawit yang komplit, antara pertaruhan integritas dan juga perubahan lingkungan yang diduga berasal dari pergerakan sektor perkebunan yang merambah kawasan hutan non-konsesi hingga isu pergolakan politik dagang yang terindikasi dalam upaya propaganda penggulingan usaha perkebunan sawit di Indonesia.

Berbagai upaya pendampingan usaha untuk mempertahankan usaha kelapa sawit tetap eksis ditengah pergolakan isu lingkungan akibat sisitem monokultural yang dikaitkan dengan peralihan fungsi hutan mulai dari sektor ekologis hingga fungsi hutan sebagai kontibutor utama dalam dalih penyelamatan bumi dari ancaman perubahan iklim akibat emisi gas rumah kaca yang terus menghantui dunia. Berbagai pendampingan kegiatan dilakukan dalam rangka penyelamatan usaha industri kelapa sawit karena banyak faktor pertimbangan, dimulai dengan daya dukung lingkungan lahan perkebunan yang berubah atau proses suksesi hutan yang berlangsung dalam waktu lama hingga alasan batas ambang sentris sumbangsih perusahaan terhadap sektor pembangunan, baik dari sektor pengelolaan dan pemanfaatan potensi alam, penyerapan tenaga kerja dan tentunya pendapatan negara dari hasil perkebunan sawit.

Berdasarkan berbagai pertimbangan yang masih diperdebatkan. Sebagian komponen lain terus mencari banyak alternatif positif yang bertujuan untuk penyesuaian perusahaan kelapa sawit secara berkelanjutan tanpa menimbulkan deforestasi lebih banyak. Misalnya, menemukan sistem lahan ganti tanaman monokultural dalam media yang bekesusaian, upaya dan penemuan peningkatan hasil produksi buah kelapa sawit berdasarkan teknik tertentu atau lain sebagainya. Namun, sebagaian besar masyarakat jarang menaruh minat pada penanaman sikap dan pembentukan karakter tanggung jawab pada jiwa-jiwa manusia yang sepantasnya menjadi tonggak “Penyangga” terhadap sekelumit hutan yang tersisa yang disebut-sebut sebagai paru-paru dunia tersebut.

Beranjak dari permasalahan deforestasi hutan secara besar-besaran yang selama ini seolah-olah tampak dimotori oleh perusahaan-perusahaan besar, layaknya perusahaan tambang dan perkebunan kelapa sawit. Kepentingan ekonomi yang mendesak dan keserakahan masyarakat yang mendiami lereng pegunungan dalam kawasan ekosistem Leuser yang kurang pemahaman akan pentingnya konservasi hutan dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dunia, juga menjadi polemik jangka panjang selama bertahun-tahun yang tidak kasat mata. Pembukaan hutan untuk aktivitas ladang terbuka, konversi hutan untuk tujuan pertanian, aktivitas pembalakan liar, pembukaan jalan (pembangunan jaring jalan “Ladia Galaska”) yang hingga saat ini masih saja bergelut dengan masalah Perizinan Lingkungan.

Terkait dengan konversi lahan hutan untuk tujuan pertanian, dalam laporan Walhi Leuser yng dimuat pada website www.walhiaceh.or.id menyebutkan bahwasanya isu pembangunan perkebunan (dan pertanian) mempengaruhi motivasi sebagian besar masyarakat di sekitar ekosistem Leuser, terutama di Kabupaten Aceh Selatan dan Langkat untuk mengembangkan lahan usaha budidaya tanaman perkebunan (kelapa sawit, karet dan kakao) yang membutuhkan areal relatif luas. Dalam hal ini konflik antara kepentingan pengembangan lahan budidaya dengan aspek pelestaarian sumber daya alam Eksosistem Leuser  semakin dirasakan.

Gayo lues, sebagai salah satu daerah yang termasuk dalam daerah Kawasan Ekosistem Leuser yang diklaim sebagai daerah “Penyangga Leuser”. Dalam perhelatan akbar, tari saman yang 10.001 yang sukses diselenggarakan oleh Kabupaten Gayo Lues pada Minggu, 13 Agustus 2017 silam dengan mengusung tema “Saman Pengawal Leuser” selain menjadi ajang pertunjukan seni dalam menjaga budaya yang telah diakui oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia tak Benda pada tahun 2011 lalu, juga menjadi media kampanye aksi peduli lingkungan kepada masyarakat dalam menyelamatkan Ekosistem Leuser. Dalam bait syair yang dilagukan pada saat saman  berlangsung disebutkan bahwa ekosistem leuser merupakan harapan bagi masyarakat Gayo Lues dan masyarakat dunia dalam kasus pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang semakin mengkhawatirkan. Berikut petikan syairnya:

Uten si lues enti i tebangi buge gayo ni renah ari emisi ku renah ari emisi

Hoya tir pantas tir, enti mulo-enti mulo

Cacak dang-dang sige, cacak dang-dang sige

Entah renye-enteh renye

Gayo Lues ni hawa e sejuk, uyem mu tumpuk nge lagu si seme, nge lagu siseme

Sayang gunung leuser, enti I kekunah, oya anugerah, ari Ilahi o ari Ilahi

Ike Gunung Leuser Turah kite jege,

Paru-paru dunie si nge terang nyata, si nge terang nyata

Flora dan fauna bermacam teridah

Mawas urum gajah, anggrek si lemi, o anggrek si lemi

Terjemahan:

Hutan yang luas jangan ditebangi, semoga Gayo Lues ini rnedah dari emisi, rendah dari emisi

Ayo segera ayo segera, sebentar-sebentar

Bersiap-siap dan berkemas, bersiap-siap dan berkemas

Ayolah-ayolah

Gayo Lues ini, hawanya sejuk, pinus bertumpuk, bagaikan disemai, bagaikan disemai

Sayangi Gunung Leuser, jangan diganggu-gugat, itu (Gunung Leuser) merupakan anugerah dari Ilahi, o dari Ilahi

Kalau Gunung Leuser ini harus kita jaga

Bahwa Gunung Leuser sudah jelas sebagai paru-paru dunia

Berbagai macam flora dan fauna yang tampak

Orangutan dan gajah, juga anggrek yang indah, o anggrek yang indah

Bait yang diserukan secara akbar oleh 12.277 penari yang juga berasal dari berbagai daerah kabupaten tetangga yang mengapit Kabupaten Gayo Lues sepeti Aceh Tenggara dan Aceh Tamiang dengan latar belakang golongan dan profesi serempak menyuarakan dan mempatrikan diri sebagai manusia-manusia penyangga dengan segenap jiwa terhadap aksi penyelamatan Ekosistem Leuser sebagai sebuah ekosistem kebanggan sekaligus menjadi harapan Indonesia dan Dunia.

Apakah kampanye melalui seni dirasa cukup efektif dalam pembentukan karakter dan menanamkan semangat aksi peduli lingkungan? Tidak dapat diragukan lagi mengenai dampak kampanye melalui seni tersebut. Masyarakat Gayo Lues, sebagai salah satu masyarakat etnik yang memegang erat budaya dengan segala jenis kearifan lokal leluhur secara turun temurun amatlah patuh dan tergila-gila pada seni. Setiap pesan yang dituangkan secara sederhana berbalut melodi dalam bait syair yang dilagukan, diyakini sebagai pesan atau petuah yang harus diindahkan. Jadi, konsep kontekstual mengenai perubahan iklim akibat peningkatan emisi GRK yang tidak sepenuhnya dipahami oleh masyarakat secara kompleks, apalagi diperparah dengan kondisi masyarakat Gayo Lues yang sebahagian besar  masih berada pada taraf berpendidikan rendah juga buta huruf, akan dijiwai sebagai petuah yang disajikan dalam konsep modern dan diyakini lebih efektif dibanding dengan petuah larangan kearifan lokal ajaran yang sering dianggap kuno untuk membangun karakter oleh masyarakat modern dewasa ini.

Abukari Aman Jarum, salah seorang tokoh adat dari kecamatan Pining, Kabupaten Gayo Lues yang terkenal dari petisi “Tolak Tambang sampai Kiamat” akhir Mei 2016 lalu. Dalam aksi provokasinya, ia menyatakan bahwa Pining merupakan salah satu wilayah yang termasuk dalam kawasan Ekosistem Leuser secara keras menentang aktivitas pertambangan dalam hutan di Kawasan Ekosistem Leuser, karena menurutnya aktivitas petambangan atau aktivitas eksploitasi hutan lainnya dapat menimbulkan konsekuensi yang buruk bagi masyarakat dan juga alam. Ia bersama masyarakat Pining lainnya yang telah lama mendedikasikan diri untuk mengelola hutan dengan bijaksana secara turun-temurun yang harus dipegang erat sampai kiamat. Disamping dedikasi dan integritas Aman Jarum dan masyarakat Pining yang tampil heroik dalam aksi penolakan aktivitas tambang tersebut, sejatinya ia merupakan salah seorang bagian masyarakat Gayo yang menaruh apresiasi dan kecintaan yang besar terhadap seni. Dalam sebuah artikel pemberitaan yang mencantumkan pendapatnya tekait berita pelaksanaan perhelatan Saman 10.001 Penari lalu, Aman Jarum menyebutkan, dirinya sangat senang pada pesan menjaga hutan Leuser dimasukkan dalam syair tarian saman yang digelar secara massal itu. Ia menyatakan bahwa semua pihak harus dingatkan bahwa menjaga hutan Leuser sangat penting.

Ekosistem Leuser membutuhkan lebih banyak “Aman Jarum” lainnya, yang dapat menolak secara tegas segala bentuk aktivitas eksploitasi hutan, Leuser butuh “Aman Jarum” yang berintegritas tinggi pada komitmen menjaga petuah leluhur yang syarat akan makna. Petuah-petuah yang dibalut dalam seni yang menjadi denyut nadi dan kecintaan masyarakat Gayo Lues, diharapkan mampu menjadi inovasi yang segar dalam pelbagai upaya mitigasi iklim yang keruh, yang kemudian melahirkan individu-individu di tengah masyarakat dengan karakter tanggung jawab akan kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan, sehingga kedepannya lahirlah manusia-manusia penyangga yang berani menentang segala bentuk politik yang berujung pada aksi perambahan hutan.

Karakter masyarakat sebagai “Penyangga” dalam sebuah kawasan konservasi, disamping integritas sebagai penyangga kawasan inti (dalam hal ini adalah Ekosistem Leuser), kawasan penyangga biasanya masih bisa dimanfaatkan sebagai kawasan wisata dan penelitian yang tidak dapat dirambah lagi, maka harusnya karakter “Manusia Penyangga Leuser” dapat diselaraskan demikian, manusia penyangga dapat diindahkan melalui seni atau menjadi masyarakat yang ramah dalam hal pelestarian lingkungan, tetapi  tidak untuk beragam upaya “Kongkalikong” eksploitasi dan perambahan hutan. Manusia penyangga yang berkarakter adalah akar kekuaatan dari segala bentuk permulaan kegiatan yang terus menggerus lahan hutan, tunas muda pengantisipasian terjadinya deforestasi hutan berkelanjutan yang tidak dapat diduga-duga, serta menjadi tameng untuk menantisipasi emisi yang tak terkendali.[]

Sumber kutipan:

Cifor. Factsheet No. 17. www.cifor.org/forests-trees-agroforestry . Juni 2013.

  1. Pan, Y., dkk dalam Cifor. Factsheet No. 17. www.cifor.org/forests-trees-agroforestry . Juni 2013.
  2. The Eliasch Review 2008 Climate change: financing global forests dalam Cifor. Factsheet No. 17. www.cifor.org/forests-trees-agroforestry . Juni 2013.
  3. van der Werf, G.R., dkk dalam Cifor. Factsheet No. 17. www.cifor.org/forests-trees-agroforestry . Juni 2013.
  4. IPCC 2000 Land use, Land-use change and forestry dalam Cifor. Factsheet No. 17. www.cifor.org/forests-trees-agroforestry . Juni 2013.
  5. WRI 2008 CAIT: Climate Analysis Indicators Tool dalam Cifor. Factsheet No. 17. www.cifor.org/forests-trees-agroforestry . Juni 2013.

Rahmadi R. Foto: 12 Ribu Penari Saman Kampanye Hutan Leuser. www.google.co.id/amp/www.mongabay.co.id/2017/08/18/foto-12-ribu-penari-saman-kampanye-hutan-leuser/amp/. Diakses pada 18 Agustus 2017.

TCFA Sumatera. Leuser Ecosystem and Leuser National Park. www.tcfasumatera.org/leuser-ecosystem-and-leuser-national-park/. Diakses pada 17 Juli 2017.

Walhi Aceh. Tolak Tambang Sampai Kiamat. www.walhiaceh.or.id/771-2/ . Diakses pada 1 Juni 2016.

*Penulis tercatat sebagai salah seorang mahasiswa aktif jurusan FMIPA Biologi Unsyiah tahun angkatan 2014.

Editor: Fazrina Nabillah